Mas’alah :
Kalau ada kapal yang punya anak
seratus orang muslimin ditugaskan berlaya selama sebelas bulan misalnya. Apakah
mereka wajib iqomatul jum’ah di dalam kapal tersebut ? apakah sah ?
Jawab :
Tidak wajib iqomatu jum’ah. Dan
apabila melaksanakannya tidak sah dan tidak khilaf (perbedaan pendapat) di
antara Imam Madzhab empat.
Dasar
pengambilan :
1.
AL Mizan Al Kubro I
ومن ذلك قول الشافعي لا تصحّ الجمعة
إلا فى أبنية يستوطنها من تنعقد بهم الجمعة مع قول بعضهم لا تصحّ الجمعة إلاّ فى
قرية اتّصلت بيوتها ولها مسجد وسوق مع قول أبى حنيفة إنّّ جمعة لا تصحّ إلاّ فى
مصر لهم سلطان.
Terjemah :
Termasuk hal tersebut adalah
pendapat Imam Syafi’i yaitu : tidak sah jum’atan kecuali bagi orang yang
menetap (berumah tangga) pada suatu bangunan dan dianggap sah mereka untuk
memenuhi syarat jum’ah. Juga pendapat sebagaian ulama’ yaitu : tidak sah
jum’atan kecuali dala suatu desa yang rumahnya berdekatan dan ada masjid, dan
pasar di desa itu. Juga pendapat Abu Hanifah yang mengatakan : seseungguhnya
jum’atan tidak sah kecuali di suatu kota yang punya kepala negara.
2.
Hamisy Al Qulyuby I / 672
ولو لم يلازمه أبدا بأن انتقلوا عنه
فى الشتاء أو غيره فلا جمعة عليهم جزما ولا تصحّ منهم فى موضعهم.
Terjemah :
Meskipun mereka tidak menetap
selamanya, seperti halnya, mereka berpindah dari tempatnya pada waktu musim
hujan atau lainnya, maka bagi mereka tidak wajib jum’atan, dan tidak sah mereka
melakukan jum’atan di tempat mereka.
3.
Adalah Dien Wal Haj 58
اجتمعت الأئمة على أنّ المسافر لا تجب
عليه الجمعة إلاّ إذا نوى الإقامة أربعة أياّم تامّة، وإنّها لا تصحّ إلاّ فى دار
الإقامة، وعلى ذلك فلا تصحّ صلاة الجمعة فى الباخرة ولا فى غرفة لأنّهما ليسا بدار
الإقامة.
Terjemah :
Telah sepakat beberapa Imam bahwa,
musafir (orang yang bepergian) tidak wajib baginya jum’atan. Kecuali bila ia
niat bermukim selama empat hari penuh. Dan jum’atannya juga tidak sah, kecuali
di daerah pemukiman. Dengan demikian tidak sah jum’atan dilakukan di kapal laut
dan di kamar-kamaran, karena keduanya bukan termasuk bagian dari desa
pemukiman.
Mas’alah :
Masih hidupkah Nabi Khidlir itu ?
dan bagaimana orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidlir ? padahal di dalam
Al Qur’an ada ayat :
وما جعلنا لبشر من فلبك الخلد
Jawab :
Tentang masih hidup dan matinya Nabi
Khidlir AS terdapat perbedaan pendapat, akan tetapi kebanyakanUlama’ menyatakan
masih hidup. Adapun kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidlir AS itu bisa saja
terjadi.
Dasar
pengambilan :
1.
Tafsir Al Khozin III / 209
واختلف العلماء فى أنّ الخضر، أحيّ أم
ميّت، وقيل إنّه حيّ وهو قول الأكثرين من العلماء، وهو متفق عليه عند مشايخ
الصوفية وأهل الصلاح والمعرفة. والحكاية فى رؤيته والإجتماع به و وجوده فى المواضع
الشريفة و مواطن الخير أكثر من أن تحصى.
Terjemah :
Terjadi perselisihan di antar para
Ulama’ apakah Nabi Khidlir masih hidup atau sudah mati ? dikatakan bahwa Nabi
Khidlir masih hidup dan itu perkataan / pendapat kebanyakan para Ulama’. Dan
itu merupakan kesepakatan bagi para guru-guru sufi (ahli tasawuf) dan ahli
kebaikan serta ahli ma’rifat. Dan juga cerita tentang terlihatnya Nabi Khidlir
dan berkumpulnya. Dan masih nampak pada tempat-tempat yang mulya dan
tempat-tempat baik yang banyak tidak terhitung.
2.
Tafsir Munir II / 370
(وما جعلنا لبشر
من قبلك الخلد) البقاء فى الدنيا (أفإن مُتّ) يا أشرف الخلق (فهم خالدون) فى
الدنيا أي إن مُتّ أنت يا خاطم الرسل أفى يبقى هؤلاء حتّى سيموت بموتك. ومثاله ما
فى الصاوى ج 1 ص.
Terjemah :
Dan saya tidak menjadikan manusia
sebelum kamu (Muhammad) yang kekal di dunia, adakalanya kamu mati, wahai lebih
mulya makhluk, mereka adalah kekal di dunia, artinya : jika kamu mati wahai
Rasul terakhir apakah mereka kekal ? sampai mau mati dengan matimu.
Mas’alah :
Bagaimanakah hukumnya laki-laki yang
memakai sarung tenun yang seratus persen terdiri dari benang sutera. Dan
bagaimana pula sarung lelaki tetapi dipakai oleh wanita. Apakah tidak termasuk
tasyabuh bir rijal (menyerupai orang laki-laki) ?
Jawab :
Orang laki-laki memakai sarung tenun
(harir) seratus persen hukumnya haram. Orang perempuan memakai sarung laki-laki
tidak sebaliknya, jika di daerah yang biasanya tidak khusus bagi laki-laki atau
perempuan dan tidak sampai berlagak laki-laki atau perempuan. Tidak haram.
Dasar
pengambilan :
1.
Mughni Al Muhtaj I / 206
(فصل) يجكم على
الرجل استعمال الحرير بفراش وغيره إلى عن قال: ويحرم المركّب من إبريسم وغيره إن
زاد ذلك الإبريسم، ويحلّ عكسه، وكذا إن استوايا فى الأصحّ.
Terjemah :
(fasal) Haram bagi laki-laki memaki
sutera harir untuk alas atau selainnya … s/d … haram campuran sutera ibrosim
dan lainnya jika sutera ibrolsim lebih banyak, jika sebaliknya (sutera ibrosim
lebih sedikit) maka boleh. Begitu juga boleh bila sama menurut yang ashoh.
2.
Fathu Al Wahab I / 82
حرم على الرجل استعمال حرير ولو قزّا
Terjemah :
Haram bagi lelaki memakai sutera
harir meskipun berupa sutera quz
3.
Fathu Al Bari XII / 452
فأمّا هيئة اللباس فتختلف باختلاف
عادة كلّ ولد، فربّ قوم لا يفترق زيّ نسائهم من رجالهم فى اللبس لكن تمتاز النساء
بالإحتجاب والإستتار.
Terjemah :
Adapun kondisi / tingkah pakaian
berbeda dengan berbedanya kebiasaan setiap negara. Dan banyak sekali orang yang
tidak membedakan pakaian / hiasan perempuan dari laki-lakinya dalam berpakaian,
tetapi para wanita sama dibedakan dengan cara menutup atau bersembunyi.
Mas’alah :
Al Ismu Al A’dzom yang sengaja
ditulis dengan kalam ajam (selain arab) di dinding-dinding masjid, mushola,
kain-kain taplak meja, sapu tangan, dan keset-keset kaki. Bagaimana hukumnya ?
demikian pula plastik dan pembungkus-pembungkus makanan yang bertuliskan lafadz
Al Jalalah. Apakah hal semacam itu termasuk menulis lafadz Al Jalalah tidak
pada tempatnya ? dan bagaimana hukumnya ?
Jawab :
Al Ismu Al A’dzom yang ditulis
dengan kalam ajam (Al Khotul ajam) di dinding-dinding masjid, kain-kain, itu
boleh akan tetapi makruh, kalau mengandung unsur ihanah.
Dasar
pengambilan :
1.
I’anatu Al Tholibin I / 69
(قوله: ومدّ
الرّجل للمصحف ما لم يكن على مرتفع) بالرفع عطف على تمكين أيضا، أي ويحرم مدّ
الرجل لما فيه من الإزدراء به. وقال فى المغنى: ويحرم الوضع على فراس أو خشب نوقش
بالقرآن كما فى الأنوار (جز 1 ص: 33) أو بشيئ من أسمائه تعالى.
Terjemah :
(dan memanjangkan kaki ke arah
mushaf, selama mushaf tidak berada pada tempat yang tinggi). Artinya : haram
memanjangkan kaki ke arah Al Qur’an (mushaf) karena hal itu ada unsur
merendahkan Al Qur’an. Dalam kitab Nughni dikatakan : haram menginjak alas
(kambal) atau kayu papan yang diukir dengan Al Qur’an seperti keterangan dalam
kitab Al Anwar, jilid 1 hal 33 atau diukir dengan sesuatu dari Asma, Allah SWT.
2.
Al Iqna’ I / 95
ويكره كتب القرآن على حائط ولو لمسجد
وسياب وطعام ونحو ذلك ويحرم المشي على فراش أو خشب نوقش بشيئ من القرآن.
Terjemah :
Makruh menulis Al Qur’an di tembok
walaupun tembok masjid, pakaian dan makanan serta sesamanya. Dan haram berjalan
pada alas (lemek) atau papan yang diukir dengan sesuatu (lafadz) Al Qur’an.
3.
Ahkamu Al Fuqoha’ III / 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar