Senin, 23 Februari 2015

Benarkah ilmu kalam sunni tdk berdasarkan Al quran dan Assunnah??

Imam Asy'ari menjawab..!!

terjemah risalah istihsan alhaudl fi ilmil kalam[penilaian akan baiknya mendalami ilmu kalam] karya Imam Abul Hasan Al asyari

ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺍﺳﺘﺤﺴﺎﻥ ﺍﻟﺨﻮﺽ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺀﺍﻟﻪ ﺍﻟﻄﻴﺒﻴﻦ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﻨﺘﺨﺒﻴﻦ .
Amma ba'du,sungguh sekelompok manusia telah menjadikan kebodohan sebagai simpanan hartanya,sehingga mereka merasa berat utk nadhor;berfikir rasional dan membahas tentang isi kandungan agama [ad din],dan mereka condong kepada mempermudah dan taqlid, lalu mereka mencela orang2 yang menggali tentang pokok agama [ushuluddin] dengan menisbatkan vonis sesat kepada orang 2 tsbt, dan mereka mengira bahwa membahas tentang istilah bergerak-diam, arodl;sifat, warna, cosmos, juz, dan tentang sifat Allah aza wa jala adalah hal bid'ah dan dholalah...!!

1. Dan lalu mereka berkata: dan seandainya hal itu [nadhor;berfikir rasional dan membahas] dalam istilah2 yang ada dalam ilmu kalam adalah merupakan petunjuk, maka pasti Nabi akan mengatakan tntang hal itu, begitu juga para sahabatnya...

2. Dan mereka juga berkata: dan sesungguhnya Nabi sholallohu alaihi was salam tidaklah wafat sehingga beliau telah berbicara tentang setiap hal yang dibutuhkan dalam masalah agama dan beliau telah menjelaskan dengan penjelasan yang gamblang,dan tdklah beliau meninggalkan sesuatu perkataan kepada seorang pun untuk di jelaskan dalam masalah yang di butuhkan oleh kaum muslimin dalam urusan agama, juga hal2 yang dapat mendekatkan kepada Allah atau utk menjauhkan dari murkaNya setelah kewafatanya...maka karena mereka tdk meriwayatkan dari Nabi atas perkataan dalam masalah yang telah kami sebutkan sblmnya, maka kami tahu bahwa berbicara tentangnya dan membahasnya adalah bidah dan sesat,karena kalau hal itu baik,maka Nabi tdk akan luput utk mengatakannya, juga para shahabat2nya..

3. Dan mereka berkata: karena sesungguhnya hal yang tdk pernah di katakan Nabi dan sahabat itu tdk kosong dari dua keadaan; pertama kemungkinan mereka [Nabi dan sahabat] tau hal itu tetapi mereka diam dari membecirakannya, kedua mereka [Nabi dan sahabat] tdk tau hal itu shgg tdk membicarakannya ,nah jika mereka tau hal itu dan diam dari membicarakannya, maka kita pun selayaknya diam dari hal itu sebagaiman mereka diam darinya,dan kita tak usah
mendalaminya sebagaimana mereka tdk mendalaminya, KARENA seandainya hal itu termasuk dari agama, maka mereka para sahabat tdk akan di beri keluasan utk diam, Dan kedua jika mereka [Nabi dan sahabat] tdk tau hal itu, maka kita pun di beri keluasan utk tdk tau sebagaiman mereka tdk mengetahuinya,karena seandainya hal itu termasuk dari agama maka yakin mereka akan mengetahui hal itu,maka dengan dua keadaan ini , jelaslah bahwa ilmu kalam adalah bidah
dan mendalaminya adalah kesesatan....!!!

3 POIN INILAH DI ANTARA SERENTETAN HUJAH-HUJAH sebagian ULAMA UNTUK MELARANG MEMBAHAS [NADHOR] DALAM ILMU KALAM.

Maka syaikh Abul Hasan Al Asy'ari berkata: Jawaban 3 poin atas hujah mereka pun ada 3 :

Pertama : dengan membalikkan pertanyaan kepada mereka dgn mengatakan: Nabi SAW juga tdk pernah berkata dgn perkataan bahwa orang yang membahas tentang ilmu kalam dan berbicara tentangnya adalah ahli bidah dan golongan sesat, maka hal itu melazimkan kalian sebagai ahlu bidah dan golongan sesat juga ,karena kalian berbicara dgn sesuatu yang tdk pernah di katakan oleh nabi SAW dan meyesatkan orang yang tdk pernah dikatakan sesat oleh nabi SAW....

Ke dua: Katakan pada mereka: Sungguh Nabi SAW mengetahui apa yang telah kalian sebutkan tentang istilah dalam hal jisim,arodl;sifat,harokat;gerakan,sukun;diam,juz dst ,walaupun beliau tdk mengatakan setiap hal itu secara tertentu/detail,begitu juga para fuqoha dari kalangan sahabat,setiap hal yang telah di sebutkan oleh kalian tsbt dengan secara detail/tertentu, maka asal setiap hal itu ada dalam Al Quran As Sunnah secara garis besarnya dgn tdk di sebutkan secara terperinci..

Tentang istilah harokat dan assukun: bergerak dan diam dan bahasan tentangnya , maka asalnya ada dalam Al Quran,dan keduanya menunjukan terhadap tauhid,begitu juga ijtima;berkumpul dan iftirok;terpisah,Allah berfirman ketika mengkabarkan tentang Nabi Ibrahim AS dalam qisah terbenamnya matahari dan bintang dan pergerakan keduanya dari suatu tempat ke tempat lain adalah menjadikan petunjuk baginya bahwa tuhannya tdk bisa di sifati dengan sesuatu dari hal itu,dan sesuatu yang terkena sifat terbenam dan begerak/pindah dari suatu tempat ke tempat lain itu bukanlah sifat robb.

Adapun bahasan kalam tentang inti tauhid [KEESAAN], itu pun asalnya ada dalam al quran,Allah berfirman:
( ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺀﺍﻟﻬﺔٌ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻔﺴﺪﺗﺎ )
:seandainya dalam langit bumi ada tuhan2 selain Allah ,maka akan hancurlah keduanya"

Perkataan yang sangat simpel,DAN ini adalah hujah bahwa Allah itu satu dan tdk ada sekutu baginya,dan bahasan ulama mutakalimin tentang tamanu:saling menghalang dan tagolub;saling mengalahkan JIKA ada lebih dari satu tuhan, maka tempat kembalinya adalah ayat ini,Dan juga ayat dalam firman Allah:

( ﻣﺎ ﺍﺗﺨﺬ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻭﻟﺪ ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻪ ﻣِﻦ ﺇﻟﻪٍ ﺇﺫًﺍ ﻟﺬﻫﺐ ﻛﻞ ﺇﻟﻪ ﺑﻤﺎ ﺧﻠﻖ ﻭﻟﻌﻼ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu." (QS. Al-Mukminun: 91))....sampai ayat:

( ﺃﻡ ﺟﻌﻠﻮﺍ ﻟﻠﻪ ﺷﺮﻛﺎﺀ ﺧﻠﻘﻮﺍ ﻛﺨﻠﻘﻪ ﻓﺘﺸﺎﺑﻪ ﺍﻟﺨﻠﻖ
:apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaanNya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’ ) .

Dan pembahasan ulama mutakallimin dalam hujah aqli tentang mengesakan Allah,maka pengambilan mereka adalah ayat2 yang tadi telah di sebutkan, begitu juga pembahasan2 lain tentang memerinci cabang tauhid,itu sesungguhnya di ambil dari Al quran, begitu juga perkataan tentang adanya ba'as:di bangkitkan kembali jasad yang hancur dan mustahilnya hal itu yang mana telah terjadi perdebatan diantara kaum retorika logika arab dahulu dan orang2 sebelumnya,shgg mereka kagum atas rasionalnya hal itu pada ulama mutakallimin,mereka berkata:

( ﺀﺇﺫﺍ ﻣﺘﻨﺎ ﻭﻛﻨﺎ ﺗﺮﺍﺑًﺎ ’‘ ﺫﻟﻚ ﺭﺟﻊ ﺑﻌﻴﺪ ) ‘’
Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi), itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin’’. (QS. Qaaf :3):dan ayat: jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu, Al Mu'minuun (23):36] dan ayat: ia berkata:"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang hancur telah luluh?"Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati, dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu), (QS.23:35).

Dan ayat yang lainnya itu merupakan hujjah atas bisanya terjadi ba'as setelah wafat dalam alquran, hal itu menguatkan bisa terjadinya hal itu menurut aqal".
Dan Nabi telah mengajarkan dan juga mengingatkan mereka [kaum kafir] dengan hujjah aqli atas ingkarnya mereka terhadap ba'as dgn dua cara terhadap dua kelompok kaum kafir itu:

Kelompok pertama: mereka mengakui adanya penciptaan pada permulaan mahluk,tetapi mereka ingkar akan penciptaan ke dua [kebangkitan setelah wafat]

dan kelompok ke dua: mereka mengingkari penciptaan pada permulaan mahluk dan juga ingkar pada penciptaan ke dua [kebangkitan setelah wafat] " dgn hujah bahwa alam itu qodim:
tanpa permulaan.

Maka Rasul berhujjah terhadap yang meyakini adanya penciptaan pertama tetapi mengingkari adanya penciptaan kedua dgn ayat:

ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﺪﺅﺍ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﺛﻢ ﻳﻌﻴﺪُﻩ ﻭﻫﻮ ﺃﻫﻮﻥ ﻋﻠﻴﻪ )
Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali dan menghidupkannya kembali lebih mudah bagiNya. [Ar Rum : ( ﻛﻤﺎ ﺑﺪﺃﻛﻢ ﺗﻌﻮﺩﻭﻥ ) sebagaimana dia Telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)”. (QS. Al-A’raf [7] : 29)

Maka rasul mengingatkan dgn logika bahwa dzat yang mampu mencipta pada permulaan [pertama] dgn tanpa ada contoh sebelumnya,maka Dia lebih mampu utk memperbaharui sesuatu yang sebelumnya sudah ada,dan adapun bagi Allah itu tdk ada penciptaan yang lebih ringan atau lebih mampu,semuanya sama saja bagi Allah,dan di katakan bahwa HA pada kalimat alaihi itu adalah kinayah utk mahluk dengan qudrotnya,yakni sesungguhnya membangkitkan dan mengembalikan sesuatu itu lebih mudah bagi salah seorang di antara kalian dan lebih ringan
daripada mengawali pembuatan sesuatu itu.karena awal penciptaan adalah dgn melahirkan,mengasuh,memotong pusar,kemudian mengeluarkan gigi dll dan sedangkan mengembalikannya adalah dgn sekaligus tdk bertahap seperti permulaan mencipta,maka itu lebih mudah baginya daripada penciptaan pada permulaan,ini adalah hujjah bagi yang mengakui adanya penciptaan pada permulaan.

Adapun kelompok yang mengingkari penciptaan awal dan plus penciptaan kedua dan mereka berkata dengan qodimnya alam,itu terjadi karena mereka kerasukan subhat perkataan: kami menemukan kehidupan ini dgn watak basah dan hangat dan kematian adalah dingin dan kering yakni watak tanah,maka bagaiman bisa berkumpul antara kehidupan dan tanah dan belulang yang hancur kemudian jadi kembali utuh,hal yang berlawanan tdk akan pernah bersatu,maka mereka ingkar adanya ba'as dengan arah hujjah ini.

Demi umurku sesungguhnya dua hal yang berlawanan tdk bisa kumpul dalam satu tempat dan dalam satu arah dan tdk pada hal yang ada di suatu tempat,tetapi adanya dua hal yang berlawanan bisa sah terjadi dalam dua benda dgn secara bersandingan, sumber hujjah rasional ini bukti kandungan ayat:

ﺍﻟﺬﻱ ﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺠﺮ ﺍﻷﺧﻀﺮ ﻧﺎﺭًﺍ ﻓﺈﺫﺍ ﺃﻧﺘﻢ ﻣﻨﻪ ﺗﻮﻗﺪﻭﻥ
Dialah (Tuhan) Yang menjadikan untukmu api dari kayu hijau[basah], dan lihatlah! Kamu nyalakan (api) darinya.

Maka allah Membantah mereka dgn sesuatu yang mereka ketahui dan mereka saksikan [aqal] dari keadaan keluarnya api yang panas dan kering dari batang kayu yang dingin basah,maka bisa adanya penciptaan awal itu menunjukan bisanya terjadi penciptaan kedua,setelah hancurnya penciptaan pertama,karena keadaan keluarnya api yang panas dan kering dari batang kayu yang dingin basah bisa menjadi bukti bisa bersandingan antara kehidupan tanah dengan belulang yang hancur dgn di jadikan bentuk utuh,dan Allah berfirman:Sebagaimana Kami telah menciptakannya, demikian pula Kami mengembalikannya, sebagai janji atas Kami. Sesungguhnya Kami akan benar- benar melakukannya.’ (Al-Anbiya: 104).

Adapun apa yang di bahas oleh ulama ahli kalam bahwa setiap pembaharuan itu ada permulaan yang di pakai hujah utk membantah kaum materialis yang menyatakan bahwa tdklah ada gerakan kecuali sebelumnya ada gerakan ,dan tdklah ada hari kecuali sebelumnya ada hari terus sampai tdk ada permulaan,dan pembahasan terhadap orang yang berkata : tdklah suatu juz kecuali memiliki bagian ,maka hal dalil aqli itu [setiap pembaharuan itu ada permulaan ] di ambil
dari hadis Rasul SAW:

" ﻻ ﻋﺪﻭﻯ ﻭﻻ ﻃِﻴَﺮﺓ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻋﺮﺍﺑﻲ : ﻓﻤﺎ ﺑﺎﻝُ ﺍﻹﺑﻞ ﻛﺄﻧﻬﺎ ﺍﻟﻈِﺒﺎﺀ ﺗﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻹﺑﻞ ﺍﻟﺠﺮﺑﻰ ﻓﺘﺠﺮَﺏُ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺀﺍﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﻓﻤﻦ ﺃﻋﺪﻯ ﺍﻷﻭﻝ " ؟ 1]) )
"Tiada kejangkitan, dan juga tiada KESIALAN", kemudian seorang badui Arab berkata: "Wahai Rasulullah SAW, onta-onta yang ada di padang pasir yang bagaikan sekelompok kijang, kemudian dicampuri oleh Seekor onta betina berkudis, kenapa menjadi tertular oleh seekor onta betina yang berkudis tersebut ?".

Kemudian Rasulullah SAW menjawab: "Lalu siapakah yang membuat onta yang pertama berkudis?".[ HR Buhari], MAKA arab badui pun diam karena faham akan hujah aqli yang di katakan rasul SAW.

Begitu juga kami membantah hujah orang yang berkata bahwa tdk ada gerakan kecuali sebelumnya ada gerakan sampai tdk ada ujungnya",seandainya keadaannya seperti yang mereka katakan, maka tdk akan ada wujud sesuatu apa pun,karena sesuatu yang tdk ada ujungnya tdk akan ada pembaharuan sesuatu apa pun,toh masa sebelumnya ke belakang pun belum selesai, Oleh karena itu ada seorang laki-laki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Ya Rasulullah, isteriku melahirkan anak yang berkulit hitam”. Orang ini menuduh zina isterinya dengan menggunakan bahasa kiasan. Bagaimana mungkin anak yang lahir berkulit hitam padahal kedua orang tuanya berkulit putih. Nabi lantas bertanya kepadanya, ”Apakah anda memiliki banyak onta?” “Ya”, jawabnya. ”Apa warna kulit onta-onta tersebut?”, lanjut Nabi. ”Merah”, jawab orang tersebut.

”Apakah ada yang berwarna abu-abu?”, tukas Nabi. ”Ada”, jawab orang tersebut singkat. ”Dari mana kok ada yang berwarna abu-abu?”, lanjut Nabi. Orang tersebut menjawab dengan mengatakan, ”Boleh jadi karena faktor genetika”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Anakmu yang berkulit hitam itu boleh jadi karena faktor genetika” [HR Bukhari dan Muslim]. INI adalah yang diajarkan oleh Allah pada Nabinya dengan mengembalikan sesuatu yang sejenis pada pangkal jenisnya atau pada yang semacam dgn jenisnya......!!

Oleh sebab itu kami berhujjah SECARA AQAL terhadap orang yang berkata: sesungguhnya Allah boleh memiliki kesamaan dgn salah satu sisi mahluk yang beda cm ukuran saja yakni Allah adalah jisim, kita katakan padanya: Seandainya Allah menyerupai sesuatu dari salah satu sisi sesuatu tsbt,maka akan menimbulkan adanya kesamaan Allah dgn sesuatu itu dari seluruhnya atau dari sebagiannya dan jika Allah menyerupai sesuatu dari sebagiannya saja atau dari salah satu sisi saja,maka pasti Allah itu ada permulaan sebagaimana sesuatu itu, karena adanya keserupaan pada keduanya, dan setiap dua hal yang mengandung unsur keserupaan,maka hukum keduanya adalah satu dalam hal yang keduanya serupa ,dan mustahil sesuatu yang ada permulaan dan menerima pembaharuan menjadi qodim [tdk ada permulaan], begitu juga mustahil hal yang qodim: tdk ada permulaan menjadi ada permulaan dan pembaharuan,allah berfirman:

ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ '
tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan firmannya:

ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻪُ ﻛُﻔُﻮًﺍ ﺃَﺣَﺪٌ
. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Adapun asal tentang jisim ada ujungnya dan bahwa juz yang [2]tdk terbagi, maka dalilnya adalah firman Allah: Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

Dan mustahil mengumpulkan dan menghitung sesuatu yang tdk ada ujungnya,dan mustahil sesuatu yang satu bisa terbagi[2] karena akan memestikan menjadi dua,dan dua hal itu masing2 jadi hitungan,adapun asal tentang dzat yang mencipta alam mesti punya wewenang utk berbuat sekehendaknya dgn bebas dan tanpa ada keterpaksaan,maka terdapat dalam firman Allah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami-kah yang menciptakannya"(QS. al-Waqi'ah : 58]

Mereka tdk mampu utk berkata dgn hujjah: kami mencipta dgn berharap anak,maka tdk ada penciptaan karena keterpaksaan Allah,maka itu mengingatkan kita bahwa sang pencipta adalah yang berbuat terhadap segala ciptaan dgn sekehendaknya.

Adapun asal sandaran kami dalam membantah lawan perdebatan dgn dalil aqli dan naqli itu di ambil dari sunnah Nabi SAW,yakni dketika Allah mengajarkan pada baginda KETIKA BELIAU KETEMU dengan pendeta yang gemuk,maka nabi SAW berkata padanya:Aku memintamu demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa, tidakkah engkau mendapati dalam Taurat bahwa sesungguhnya Allah membenci pendeta yang gemuk ??,Orang Yahudi tersebut adalah seorang pendeta yang gemuk", maka ia marah ketika di permalukan dgn hal itu [3],dan berkata: Allah tdk menurunkan sesuatu apapun pada manusia, maka Allah berfirman pada baginda : Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia [Al An'am(6):91]

MAKA NABI MENJAWAB SEKETIKA ITU PULA dengan isarah logika yang di firmankan oleh Allah,karena taurot adalah sesuatu, musa adalah manusia, dan pendeta itu mengakui bahwa Allah menurunkan taurot pada musa AS. maka ia faham bahwa hujahnya salah..!!

Adapun jawaban ketiga:

Sesungguhnya masalah ini yakni yang mereka[orang yang melarang mendalami ilmu kalam] dan mempertanyakan tentang istilah2 di dalamnya, sebenarnya itu telah di ketahui oleh rasul SAW dgn terperinci,,akan tetapi tdk ada kejadian husus pada masa beliau yang menarik beliau berbicara hal itu atau pun utk tdk membicarakannya, walau pun asalnya istilah2 itu ada dalam Al quran dan as sunah,dan adapun masalah yang terjadi pada waktu itu dari sesuatu yang berkaitan dgn agama dari jihat syariat dan tidak ada nas husus,maka buktinya adalah para sahabat telah membahas tentangnya dan mendalaminya dan berhujjah dgnnya,seperti masalah aol dan jadaat dalam masalah faroid dan hukum yang lainnya,seperti talak bain,sprti jg masalah2 yang terjadi pada masa shahabat,padahal itu tdk ada nas dari Rasul SAW,SEBAB JIKA ADA NAS atas semua itu MAKA tdk akan terjadi perbedaan di antara mereka,dan perbedaan itu trs berjalan sampai sekarang.... maka masalah2 dalam istilah ilmu kalam ulama mutakalimin,walau pun tdk ada nas dari setiap hal itu scra husus dari Rasul SAW, Tetapi mereka mengembalikan dan mengkiyaskan terhadap masalah yang ada dalam nasnya dari kitabullah dan sunah rasulnya dan dgn ijtihad mereka, maka hukum2 kejadian dalam masalah cabang,itu kembali merujuk pada hukum syariat yang furu yang merupakan sesuatu yang tdk bs di dapat kecuali dgn jalan mendengar dari rasul, dan layak bagi setiap muslim yang beraqal mengembalikan hukumnya yang di sepakati dgn
aqal,perasaan dan hal2 yang jelas, karena hukum yang jalannya dgn mendengar [hadis] maka di kembalikan pada asal syariat dgn cara mendengar pula[hadis] dan hukum aqal dan hal yang di rasa maka harus di kembalikan pada babnya pula,maka tdk boleh mencampur antara syariat yang di dapat dgn cara mendengar [nas] yakni hal furu dgn hukum syariat yang di dapat dari akal,jadi aqidah dan furu itu berbeda, nah jika seandainya terjadi di masa Nabi pembahasan tentang kholqul quran,tentang juz,dan isrtilah lainnya dgn lafad2 tsbt,maka nabi akan membahas tentang itu sbgmn nabi menjelaskan hal2 yang terjadi di masa beliau dgn menentukan masalah masalah dgn rinci.

Kemudian katakan pada mereka: tdk ada satu hadis pun dari Nabi SAW yang menyebutkan tentang Alquran itu mahluk atau goer mahluk, kenapa kalian mengatakan alquran goer mahluk?????, kalau mereka menjawab: sungguh telah berkata sebagian sahabat dan tabiin, MAKA kita katakn padanya,maka dgn kaidah yang di buat anda sebelumnya maka itu melazimkan/mesti sahabat dan tabiin jugA sesat karena berkata dgn hal yang tdk di katakan Rasul SAW.

Kalau seseorang berkata: AKU tawaquf dalam hal itu dgn tdk mengatakan alquran mahluk atau goer mahluk,maka katakn padanya:anda dengan sikaf tawaquf itu pun sesat dan ahli bidah,karena Nabi SAW tdk berkata:jika terjadi pembahasan tentang hal ini setelahku,maka kalian mesti tawaquf dan jangan berkata apa2",dan juga beliau tdk berkata: sesatkanlah mereka yang berkata alquran mahluk atau goer mahluk"...!!

Dan kabarkanlah kepada kami jika ada orang berkata: Sungguh ilmu Allah itu mahluq:di ciptakan,apakah kalian akan diam saja [tawaquf] ????? jika mereka menjawab: tidak, maka katakanlah pada mereka Rasul SAW dan para sahabat tdk berkata apa2 tentang hal itu, dan begitu juga jika ada orang yang berkata:Tuhan kalian itu kenyang atau seger atau berpakaian,atau punya penyakit mag,atau jisim,atau arodl,atau menghirup udara,atau tdk menghirup udara,atau ada orang bertanya:apa tuhan kalian mempunyai hidung atau hati,apakah tuhan kalian berhaji
tiap tahun?,apakah menunggangi kuda atau tdk? apakah tuhan kalian suka bingung atau tdk? dan lain lain dari masalah2 yang ada,maka seyogyanya mereka diam dari semua itu,karena Rasul SAW tdk berbicara tentang hal itu,juga para sahabatnya. atau kalian tdk akan diam dari hal itu?? maka anda mgkn akan menjelaskan dgn perkataan anda bahwa sesuatu dari semua yang di sebutkan itu tdk boleh[mustahil] utk Allah dgn hujjah anu dan anu...
kalau SESEorang berkata:aku akan diam darinya dan tdk akan menjawabnya sdkt pun,atau aku akan mencuekkannya,atau tdk akan memberi salam padanya ,atau tdk melayadnya jika ia sakit,maka katakn padanya:maka hal itu melazimkan bagi kalian dalam setiap bentuk perkataan itu sebagai ahli bidah sesat,karena rasul SAW tdk berkata: "barang siapa bertanya tntg hal yang di sebutkan tadi,maka diamlah,dan Beliau juga tdk berkata: jgnlah kalian memberi salam padanya",dan tdk berkata: barang siapa berkata hal yang di sebutkan tadi maka ia ahlu bidah jika mengatakanny", kenapa kalian tdk diam dari orang yang berkata alquran adalah mahluk,atau knpa kalian mengkafirkannya padahal tdk datang dari Nabi SAW tentang kholqul quran atau menafikannya...????

Kalu mereka berkata: sungguh imam ahmad RA berkata dgn menafikan kemahlukan alquran dan mengkafirkannya,maka kataknlah pada mereka:knpa Imam ahmad tdk diam dari hal itu??malah beliau membahasnya?.... Kenapa tdk diam dari apa yang di diamkan oleh Rasul saw??

kalau mereka membolehkan hal itu terhadap para sahabat atau sebagian dari mereka,maka itu adalah bentuk kesombongan,maka katakn pada mereka:kenapa mereka [shahabat] tdk diam dari semua itu? padahal Nabi tdk mengatakannya,dan juga beliau tdk mengatakan: "kafirkanlah orang yang mengatakan itu?" jika mereka berkata: tdk boleh tdk bagi para ulama utk menjelaskan semua perkaataan yang muncul kemudian supaya orang awam bisa tau hukumnya", maka katakanlah pada mereka:inilah jawaban yang kami harapkan dari kalian,kenapa kalian melaramg
ilmu kalam?? kalian ketika mau, maka kalian berbicara dgn ilmu kalam,tetapi ketika hujah kalian kalah,kenapa kalian berkata: kami di larang berbicara dan membahas itu?? dan ketika mau berkata dgn ilmu kalam,kalian bertaqlid dgn orang2 yang ada sebelum kalian dgn tanpa hujjah dan bayan,inilah subhat2 dan tahakum kalian.. .

Kemudian katakan pada mereka:nabi tdk membahas dan membuat kitab tentang kafirnya orang yang berkata alquran mahluk,knpa mereka melakukan apa yang tdk di lakukan Nabi saw??

Maka cukuplah apa yang telah di sebutkan di atas sebagai penjelasan bagi orang yang berakal dan tdk keras kepala.......

[1] HR Bukhari kitab at thib

[2] maksud juz yang tdk terbagi adalah jauhar alfard

[3] HR al baihaqi dan yang lainnya lht al maqosid al hasanah
       karya as sakhowi 3/124.

Salah Memahami Ibadah Menyebabkan Kaum Wahabi Terkenal Ngawur


    ★★★★★
Asal Muasal Munculnya Pertanyaan: "MANA DALILNYA"

Kepada teman-teman Salafi Wahabi yang masih dalam kebingungan memahami persoalan ibadah sehingga masih tetap saja ngeyel membid'ahkan amal-amal shalih kaum muslimin....

Marilah kita belajar bersama. Simak dulu uraian berikut ini dan apabila masih ada yang belum paham silakan bertanya..., nanti teman-teman Ummati insyaallah akan memberikan jawabannya.

Baiklah, yuk kita mulai saja pelajarannya.... Kita ambil salah satu contoh kasus dari isu-isu bid'ah yang anda selalu menganngapnya bid'ah yang haram. Misalnya MAULID Nabi. Contoh kasus MAULID yang semenjak dulu sampai sekarang terus selalu saja anda menganggapnya berdosa jika melakukannya. Walaupun sudah banyak penjelasan dijelaskan oleh para pelaku Maulid, tetapi rupanya anda sekalian belum bisa paham-paham juga. Sebabnya mungkin karena hati yang keras atau mungkin hanya karena belum mengerti persoalan ibadah.

Apakah anda sudah pernah mengikuti acara peringatan MAULID NABI?

Jika pernah mengikutinya, tentunya anda tahu bahwa di dalam acara maulid itu berisi aktifitas yang isinya antara lain tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir, pembacaan biografi Nabi dan biasanya di akhir acara ada tausiyah keislaman. Nah... anda pastinya sangat hafal dengan dalil-dalil tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tausiyah, dalil-dalilnya sudah banyak tersebar di seantero Dunia Maya, silakan cari sendiri atau tanya saja kepada ustadz Google.

Oke, bisa ditebak apa yang ingin anda tanyakan disini dan ini bagi anda adalah sangat bermasalah yaitu adakah Dalil dari “Peringatan MAULID”? Benar-benar adakah dalilnya atau tidak ada? Hemmm, baiklah memang selama ini anda selalu bertanya: MANA DALILNYA? Seakan-akan menggambarkan isi kepala anda yang sudah yakin 100 persen bahwa MULID itu tidak ada dalilnya. Benar demikian kan keyakinan anda?

Sebelum menjawabnya, di sini sebaiknya akan dijelaskan sedikit tentang kaidah ushul fiqh. Kita mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yang sering digembar-gemborkan oleh teman-teman Salafi Wahabi bahwa:
“Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”.

Bermula dari kaidah ini suatu amalan yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan: “Mana Dalilnya?” Ini karena amalan dipersepsikan kepada sifat dari ibadah yang tauqif.

Permasalahannya adalah sudah tahukah anda, untuk ibadah yang jenis atau macam apakah kaidah tersebut seharusnya diterapkan?

Penjelasan dari Kitab
Kita akan coba mengambil penjelasan dari kitab ushul Fiqh:

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺃﻭﺩ ﺃﻥ ﺃﻗﻒ ﻋﻨﺪ ﻗﻀﻴﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺟﻤﻴﻌﺎً ﻭﻫﻲ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻣﻌﺮﻭﻓﺔ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ، " ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ " ﻛﻤﺎ "ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ"، ﻭﻫﺬﻩ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻧﻔﻴﺴﺔ ﻭﻣﻬﻤﺔ ﺟﺪﺍًﻭﻧﺎﻓﻌﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ، ﻓﺒﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓً ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ، ﺑﻞ ﻟﻮ ﻓﻌﻞ ﻟﻜﺎﻥ ﻗﺪ ﺷﺮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻠﻪ، ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻷﺣﺪٍ ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺞ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺃﻭ ﻧﻘﺼﺎً ﺃﻭ ﺗﻘﺪﻳﻤﺎً ﺃﻭ ﺗﺄﺧﻴﺮﺍً ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ، ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ، ﺑﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺘﻠﻘﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ، ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻟﻬﺎ ﺗﻌﻠﻴﻞ، ﺑﻞ ﻫﻲ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﻮﻥ: ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ، ﺃﻭ ﺗﻌﺒﺪﻳﺔ، ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻋﻘﻮﻟﻨﺎ ﻧﺤﻦ ﻣﺎ ﻳﺒﻴﻦ ﻟﻤﺎﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎً، ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎً، ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﺛﻼﺛﺎً، ﻭﺍﻟﻔﺠﺮ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ، ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺇﻻ ﺃﻧﻨﺎ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﻭﻋﻼ،ﻭﺻﺪّﻗﻨﺎ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﺠﺎﺀﻧﺎ ﺑﻬﺬﺍ ﻓﻘﺒﻠﻨﺎﻩ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﻘﺎﺋﺪ ﻭﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ، ﻓﻤﺒﻨﺎﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻟﻨﻘﻞ ﻻ ﻏﻴﺮ، ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔﻭﺍﻹﺫﻥ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻭﺭﺩ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻣﻨﻬﺎ، ﻓﻠﻮ ﻓﺮﺽ ﻣﺜﻼً ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺧﺘﺮﻋﻮﺍﻃﺮﻳﻘﺔ ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺀ ﻋﻘﺪﺍً ﺟﺪﻳﺪﺍً ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺟﻮﺩﺍًﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﻊ، ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺭﺑﺎً ﻭﻻ ﻏﺮﺭ ﻭﻻ ﺟﻬﺎﻟﺔﻭﻻ ﻇﻠﻢ ﻭﻻ ﺷﻲﺀ ﻳﺘﻌﺎﺭﺽ ﻣﻊ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬٍ ﻧﻘﻮﻝ: ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪﻣﺒﺎﺡ؛
Langsung ke maksudnya .... Bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif yaitu sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu….,

contohnya ibadah wajib shalat lima waktu, ibadah haji, dll. Tentunya ini berbeda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai adanya dalil yang melarangnya… Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif itu….

ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ، ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﺻﻔﺘﻬﺎ - ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ - ﻓﻼﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﻭ ﻳﻨﻘﺺ، ﻛﺄﻥ ﻳﺴﺠﺪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻛﻊ ﻣﺜﻼً ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﺠﺪ، ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ، ﻓﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻣﻨﻘﻮﻟﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
Tauqifi dalam sifat ibadah
Ibadah itu tauqifi dalam semua hal, dalam sifatnya....
Maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku', atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya... oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari' ( pembuat syari'ah yaitu Allah ).

ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻲ - ﺃﻳﻀﺎً - ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﺯﻣﺎﻧﺎً ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻢ ﺗﺮﺩ،ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﺜﻼً
Tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
Waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. Maka tidak boleh seseorang itu membuat-buat ibadah di waktu tertentu yang syari' tidak memerintahkannya.

ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻧﻮﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓﻛﺬﻟﻚ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ ﻓﻲ ﻧﻮﻋﻬﺎ، ﻭﺃﻋﻨﻲ ﺑﻨﻮﻋﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎً، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﺑﺄﻣﺮ ﻟﻢ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﺻﻼً، ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﺑﺎﻟﻮﻗﻮﻑ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ، ﺃﻭ ﻳﺤﻔﺮ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻳﺪﻓﻦ ﺑﻌﺾ ﺟﺴﺪﻩ ﻭﻳﻘﻮﻝ: ﺃﺭﻳﺪ ﺃﻥ ﺃﻫﺬﺏ ﻭﺃﺭﺑﻲ ﻭﺃﺭﻭﺽ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺜﻼً، ﻓﻬﺬﻩ ﺑﺪﻋﺔ !
Tauqifi dalam macamnya ibadah
Begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari'at....
Artinya termasuk dari macam / jenis ibadah yang disyari'atkan. Maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyari'atkan, seperti menyembah matahari. Atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata: aku ingin melatih badanku misalkan. Maka ini semua bid'ah.

ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓﻛﺬﻟﻚ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎً، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﻋﺒﺎﺩﺓﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﻜﺎﻧﻬﺎ، ﻓﻠﻮ ﻭﻗﻒ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ -ﻣﺜﻼً - ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺑﺎﻟـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺎً ﺃﻭ ﻭﻗﻒ ﺑـﻤﻨﻰ، ﺃﻭ ﺑﺎﺕ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺑـﻌﺮﻓﺔ، ﺃﻭ ﺑﺎﺕ ﻟﻴﺎﻟﻲ ﻣﻨﻰﺑﺎﻟـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺃﻭ ﺑـﻌﺮﻓﺔ، ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺩّﻯ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ، ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺰﻡ ﺑﺎﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺣﺪﺩﻩ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ .
Begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
Maka ini juga harus masyru'. Maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari'atkan. Seperti jika seseorang wukuf di Muzdalifah, maka ini bukan haji. Atau wuquf di Mina, atau bermalam ( muzdalifah ) di 'Arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru'. Kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari'atkan oleh syari'.

Ibadah Mahdhoh, Ghoiru Mahdhoh, Wasail dan Maqosid

Berdasarkan dari penjelasan kitab di atas dapat ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka di situ didapat kesimpulan bahwa ibadah yang sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdhoh… faham? Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah diterapkan untuk ibadah yang sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah.

Nah untuk bisa membedakannya, ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan). Untuk ibadah yang sifatny mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk ghoiru mahdhoh ada maqoshid juga ada wasail. Baiklah, langsung contoh saja…. biar gampang dan cepat mudeng, perhatikan baik-baik ya mas-mas Wahabi ...?

Ibadah Sholat, ini sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Misalnya Anda seorang penulis di blog, kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah. Tapi karena anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di blog makadalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah. Setuju kan? Padahal ini nggak ada lho contoh dari Rasulullah, ya kan? Wasailnya anda menulis diblog, maqoshidnya anda mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah. Pekerjaan menulis yang begini ini juga termasuk ibadah, tapi ibadah semacam ini tidak dicontohkan oleh Rasul Saw, juga tidak dicontohkan oleh Para Sahabat Nabi.

Nah, yang salah kaprah ketika anda menganggap kegiatan menulis ini disamakan dengan ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Kalau dipandang sedemikian maka seharusnya MENULIS dianggap bid’ah sesat (dholalah). Begitulah, karena salah anggapan seperti inilah, maka selama ini sedikit-sedikit anda bilang bid'ah! Tahlilan itu bid'ah, Maulid juga bid'ah, Yasinan itu bid'ah dan berdosa para pelakunya. Padahal semua ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh yang ada wasail dan maqosid-nya sebagaimana contoh di atas. Jadi kalau semua itu ditanya mana dalilnya pasti ada di maqosidnya, demikianlah.

Kita kasih contoh lagi biar semakin jelas ya? Di Indonesia ada macam-macam kegiatan Pengajian (kajian ilmiyyah) dan Tabligh Akbar. Awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari Rasul jadi hukumnya mubah. Tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah berupa tholabul ilmi dan tausiyah atau bahkan dakwah maka kegiatan pengajian dan tabligh akbar insyaallah berpahala, bernilai ibadah. (wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh akbar, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka tholabul ilmi dan berdakwah).

Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh maka sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah.

Demikian juga dengan Maulid, bahwa maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungkannya. Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabnny adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak dilakukan. Tapi kenapa menjadi sunah? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah). Karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maqoshid) - ini adalah kaidah ushul fiqh.

Pertanyaan yang Salah Bagaimana Bisa Dijawab?

Contoh gampangnya untuk penjelasan Lil Wasail hukmul Maoshid: anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau nggak, gak ada dosanya.
Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.

Kembali lagi ke Maulid. Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yang bid’ah (dholalah)? Ya, bisa jika anda menganggap Maulid adalah sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdhoh. Perlu digaris bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah ada dalilnya memperingati maulid Nabi? INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH.

Tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qoth'inya.

Contoh lagi biar lebih gampang mencerna: anda berangkat bersekolah, ini adalah wasail. Maqoshidnya adalah tholabul ilmi. Karena tholabul ilmi itu hukumnya wajib maka berangkat ke sekolah pun menjadi wajib dan bernilai ibadah. Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi. Jika ditanya: "Manakah dalil yang menyuruh kita berangkat ke sekolah?"
JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.

Begitu pula dengan Maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada dalilnya dong?
Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu memperingati Maulid? JELAS TIDAK ADA!! Karena ini adalaha wasail atau sarana.

Dalil Wajibnya Bermadzhab

Sedikit tambahan; ini juga dalil kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita, karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin bertanya langsug ke Rasul. Sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama Islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar (ini hukumnya ini wajib). Maka bermadzab menjadi wajib. Kalau anda tanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab? Yaa gak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail kok, Mas? Bagaimana teman-teman Wahabi.... apakah anda semua sudah paham?

Demikianlah, kita semua berharap setelah penjelasan ini anda-anda bisa belajar dan lebih mengerti sehingga tidak serampangan dalam bertanya.
Ingatlah, sebaiknya anda tidak lagi sering-sering membuat pertanyaan- pertanyaan yang salah . Kalau pertanyaannya saja salah, bagaimana menjawabnya?

Jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA” tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak. Sadarlah kalian, bagaimana pertanyaan bisa dijawab kalau pertanyaannya saja salah? Sejak sekarang mulailah belajar membedakan apakah sesuatu itu butuh dalil atau tidak. Sebab
tidak semua hal itu harus ada dalilnya.

Wallahu a'lam.....

NABI TIDAK MENGERJAKANNYA, APAKAH BERARTI ITU HARAM ?

Masif sekali beredar di kalangan masyarakat baik terpelajar atau pun juga tidak (dalam hal ini masalah syariah) terkait kaidah yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang Nabi s.a.w tidak kerjakan itu adalah perkara yang haram. Ini yang masyhur. Maka perlu ada pembahasan terkait ini, apakah memang demikian. Apakah memang benar apa yang ditinggalkan Nabi s.a.w atau Nabi s.a.w tidak mengerjakan itu berarti haram dan terlarang untuk dilakukan?
Untuk itu penting untuk dijelaskan terlebih dahulu adalah hakikat ‘meninggalkan’ itu.

Dalam bahasa Arab, meninggalkan disebut dengan al-Tarku [ ﺍﻟﺘﺮﻙ], yang secara bahasa memang mempunyai arti meninggalkan. Sedangkan al-Tarku [ﺍﻟﺘﺮﻙ] dalam pembahasan kita berarti “Meninggalkannya Nabi s.a.w suatu pekerjaan tanpa ada keterangan bahwa beliau melarangnya, baik secara lisan atau juga dengan isyarat serta pernyataannya.”

Disebutkan “tanpa ada keterangan … “ itu dimaksudkan bahwa kalau memang ada keterangan Nabi s.a.w melarangnya baik secara lisan atau pernyataan, maka itu tidak termasuk dalam kategori “meninggalkan”, akan tetapi itu adalah “Larangan!”, karena ada keterangan Nabi melarangnya.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah semua yang tidak dilakukan Nabi s.a.w itu berbuah haram dan terlarang untuk dikerjakan? Lebih sempit lagi apakah al-Tarku itu konsekuensinya adalah keharaman? Nyatanya tidak ada ulama uhsul fiqh yang menyatakan bahwa keharaman itu dihasilakn dari sebuah perkara yang ditinggalkan Nabi s.a.w, atau juga dari perkara yang Nabi
s.a.w tidak pernah lakukan!

Ketika membahas apa konsekuensi hukum dari al=Tarku (meninggalkannya Nabi sebuah perkara) dalam kitabnya Husnu al-tafahhumi wa al-Darki fi Masalati al-Tarki [ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺘﻔﻬﻢ ﻭﺍﻟﺪﺭﻙ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺘﺮﻙ ] hal. 11, Sheikh Abdullah al-Shiddiq al-Ghumariy mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm bahwa memang meninggalkannya Nabi s.a.w bukan berarti itu dalil keharaman;

ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺣَﺪِﻳﺚُ ﻋَﻠِﻲِّ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﻓَﻠَﺎ ﺣُﺠَّﺔَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺻْﻠًﺎ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﺇﻟَّﺎ ﺇﺧْﺒَﺎﺭُﻩُ – ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ – ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠِﻢَ؛ ﻣِﻦْ ﺃَﻧَّﻪُﻟَﻢْ ﻳَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ – ﺻَﻠَّﺎﻫُﻤَﺎ، ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕُ ﻓِﻲ ﻗَﻮْﻟِﻪِ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻧَﻬْﻲٌ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻭَﻟَﺎﻛَﺮَﺍﻫَﺔٌ ﻟَﻬُﻤَﺎ؛ ‏[ ﻭَﻣَﺎ‏] ﺻَﺎﻡَ – ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ – ﻗَﻂُّ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﻛَﺎﻣِﻠًﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ؛ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻫَﺬَﺍ ﺑِﻤُﻮﺟِﺐٍ ﻛَﺮَﺍﻫِﻴَﺔَ ﺻَﻮْﻡِ ‏[ ﺷَﻬْﺮٍﻛَﺎﻣِﻞٍ ﺗَﻄَﻮُّﻋًﺎ ]

“sedangkan hadits Ali, itu tidak menjadi dalil apa-apa, kecuali hanya pemberitahuan bahwa ia tidak pernah melihat Nabi melakukan shalat 2 rakaat (ba’da ashar), ia benar dengan perkataannya. Akan tetapi tidak ada dalil larangan sahalat 2 rakaat ba’da ashar, tidak juga dimakruhkan. Dan tidak puasanya Nabi sebulan penuh melainkan Ramadhan bukan dalil makruhnya puasa (sunnah) sebulan penuh di bulan lain” (Ibn Hazm / al-Muhalla; 2/36)

Dalam kutipan ini, kita menyaksikan bahwa Imam Ibnu Hazm sama sekali tidak menjalani kaidah “Yang tidak Nabi Kerjakan, berarti haram!”, itu tidak diamalkan oleh beliau. Karena memang al-Tarku itu tidak membuahkan hasil hukum apa-apa. dan sebuah keharaman tidak bisa dihasilkan oleh sesuatu yang ditinggalkan.

Kenapa Imam Ibnu Hazm?

Penulis mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm al-Andalusi ini bukan tanpa alasan, tapi justru guna memperkuat bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara bukan berarti keharaman.
Melihat bahwa Imam Ibn Hazm adalah ulama dari kalangan madzhab fiqh al-Dzahiriyah yang terkenal sangat ketat dalam menjalan sunnah-sunnah Nabi s.a.w dan sangat ketat sekali
memperhatikan tekstual sebuah ayat dan hadits.

Bahkan madzhab al-Dzohiriyah mengharamkan adanya qiyas dalam ushul mereka. jadi menurut mereka, qiyas tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum, karena qiyas tidak pernah ada dalam al-Quran dan juga hadits Nabi s.a.w.
intinya memang sangat tekstualis sekali, sampai-sampai mengharamkan qiyas dan hanya mengamalkan apa yang tertera secara eksplisit saja dalam al-Quran dan hadits.

Imam Ibn Hazm saja yang memang dikenal sangat ketat dan hanya melaksanakan apa yang ada dalam al-Quran dan hadits itu meyakini dengan sangat bahwa yang namanya al-tarku itu tidak membuahkan hukum apa-apa. dan zaman sekarang ini, yang mengatakan bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara berarti itu haram adalah kelompok yang selalu mengaku kepatuhan mereka akan mengikuti al-Quran dan sunnah dengan sangat ketat.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menguatkan pandangan ulama bahwa yang namanya al-Tarku atau meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara tidak berbuah keharaman;

1] Haram adalah Hukum Taklif

Hukum taklif dalam syariah ada 5; Wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Itu menurut Jumhur ulama, akan tetapi dalam madzhab Imam Abu Hanufah, hukum taklif ada 7; Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karahah Tanzih, Makruh Karahah, Haram dan Mubah.

Sama seperti hukum taklif lainnya, Haram pun tidak muncul begitu saja, sesuatu bisa dihukumi haram tentu dengan beberapa bukti dan dalil dari teks- teks syariah yang jelas nyata mengindikasikan larangan. Dan dalam litarasi Ushul fqih, ada beberapa ciri teks syariah yang berbuah hukum haram dalam syariah, yang dalam bahasa ulama Ushul disbeut dengan Shiyagh al-Tahrim [ ﺻﻴﻎ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ]. Di antaranya;

1. Al-Nahyu [ ﺍﻟﻨﻬﻲ] = Larangan

Salah satu ciri yang membuat sesuatu itu dihukumi haram adalah adanya teks syariah yang melarang atau yang dalam bahasa syariah disebut dengan al-Nahyu [ ﺍﻟﻨﻬﻲ]. Bahkan dalam madzhab Imam Abu Hanifah, sesuatu yang haram itu tidak mungkin muncul kecuali dari teks syariah (nash) yang mengindikasikan larangan dengan syarat ia harus qath’iy (pasti dan tidak multi tafsir) baik tsubut (sumber) - nya atau juga dilalah (indikasi) -nya. Contohnya;

ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮﺍ ﺍﻟﺰِّﻧَﺎ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻓَﺎﺣِﺸَﺔً ﻭَﺳَﺎﺀَ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra; 32)

ﻋﻦ ﺣﺬﻳﻔﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ “ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﺤَﺮِﻳﺮِ ﻭَﺍﻟﺪِّﻳﺒَﺎﺝِ ﻭَﺍﻟﺸُّﺮْﺏِ ﻓِﻲ ﺁﻧِﻴَﺔِ ﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ ﻭَﺍﻟْﻔِﻀَّﺔِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻫُﻦَّﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ”

Dari Huzaifah, Nabi s.a.w melarang kami (memakai) sutera dan (melarang kami) meminum dari bejana yang terbuat dari emas serta perak. Lalu beliau s.a.w mengatakan; “itu untuk mereka (wanita) di dunia dan untuk kalian (laki-laki) di akhirat”. (HR. al-Bukhari)

Dua tek syariah ini mengindikasikan keharaman yang nyata karena kandungan masing-masing nash itu larangan. Jadi hukum berzina haram karena ayat tersebut, dan memakai emas serta sutra haram bagi laki-laki karena adanya hadits tersebut.

1. Al-Tahrim [ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ] = Teks dengan Kalimat Haram

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔَ ﻭَﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﻟَﺤْﻢَ ﺍﻟْﺨِﻨْﺰِﻳﺮِ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻫِﻞَّ ﺑِﻪِ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (al-Baqarah; 173)

ﻭﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻟَﻤَّﺎ ﻧَﺰَﻟَﺖْ ﺁﻳَﺎﺕُ ﺳُﻮﺭَﺓِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ﻋَﻦْ ﺁﺧِﺮِﻫَﺎ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺣُﺮِّﻣَﺖْﺍﻟﺘِّﺠَﺎﺭَﺓُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮِ
Dari A’isyah r.a, ketika turun beberapa ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah, Rasul s.a.w keluar dan mengatakan; “telah diharamkan jual beli khamr”. (HR al-Bukhari)

Kedua teks syariah di atas menunjukan bahwa bangkai itu haram di makan, dan yang kedua haram menjual serta membeli khamr. Keduanya diharamkan karena ada teks (nash) syariah yang melarangnya tersebut.

1. Ancaman Melaksanakannya [ ﺍﻟﺘﻮﻋﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺑﺎﻟﻌﻘﺎﺏ ]

Kemudian, yang juga membuat sesuatu itu haram dilakukan dalam syariah ini adalah sesuatu yang teks-teks syariah mengancam kita untuk melakukannya atau jika dilakukan ada dosa yang akan didapatkan. Misalnya;

ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻕُ ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَﺎﻗْﻄَﻌُﻮﺍ ﺃَﻳْﺪِﻳَﻬُﻤَﺎ
“pencuri (laki-laki) dan pencuri (wanita), potonglah tangan-tangan mereka …” (al-Maidah; 38)

Dalam ayat ini, Allah s.w.t mengancam bahwa pencuri itu ganjarannya adalah potong tangan. Karena ada ancaman seperti itu, ini menjadikan pencurian itu sebagai sesuatu yang diharamkan.

Sejatinya shiyagh atau redaksi teks syariah yang menunjukkan sebuah kaharaman bukan hnaya 3 ini saja, banyak juga yang lainnya, akan tetapi 3 contoh di atas sebagai contoh yang paling sering muncul. Intinya bahwa kita tidak akan menemukan dalam literasi ushul para ulama Salaf yang mengatakan sesuatu itu haram karena Nabi s.a.w tidak mengerjakannya. Atau haram karena Nabi s.a.w meninggalkan itu.

Dan al-Tarku bukan al-Nahyu (larangan), bukan juga al-Tahrim (perngharaman), bukan juga Dzamm wa al-Tawa’ud ala al-Fi’li (ancaman melaksanakan). Al-Tarku adalah al-tarku yang tidak menghasilakn hukum apa-apa.

2] Yang Diharamkan adalah Yang Dilarang

Mari kita teliti ayat dan hadits berikut ini;

ﻭَﻣَﺎ ﺁَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
“apa yang dikerjakan, ambillah. Dan apa yang dilarang , maka tinggalkanlah” (al-Hasyr; 7)

ﻣَﺎ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ، ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ
“apa yang aku larang, maka tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian” (HR. Muslim)

Ayatnya jelas memerintahkan kita orang muslim untuk selalu mengikuti apa yang telah Nabi s.a.w kerjakan, dan meninggalkan apa yang beliau larang.

Begitu juga hadits setelahnya, perintah yang jelas sekali untuk umat Islam untuk mengikuti dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. dan meninggalkan dengan sepenuhnya apa yang beliau larang.

Namun perlu diperhatikan, bahwa yang diperintah untuk kita meninggalkannya adalah apa-apa yang dilarang, bukan apa yang ditinggalkan. Jelas melarang berbeda dengan meninggalkan. Dan karena inilah, para ulama ushul tidak ada yang mengatakan sesuatu itu haram dan wajib ditinggalkan hanya karena Nabi s.a.w. meniggalkannya. Yang jelas haram dan wajib ditinggalkan serta dijauhi adalah yang Nabi s.a.w. larang bukan yang beliau tinggalkan ( al-Tarku).

3] Meninggalkan itu Banyak Motifnya

Ini yang terpenting dalam perumusan hukum, para ulama ushul tidak menjadikan sebuah hukum dari sesuatu yang mempunyai multi tafsir atau punya banyak kemungkinan yang biasa disebut dengan Ihtimal [ ﺍﺣﺘﻤﺎﻝ].

Berhukum haruslah disandarkan kepada sesuatu/dalil yang pasti dan punya makna jelas tidak bersayap.

Dan dalam hal meninggalkan ( al-Tarku ) Nabi s.a.w. sebuah perkara, itu banyak motifnya (akan disebutkan selanjutnya), bisa karena lupa, atau juga karena khawatir menjadi wajib bagi ummatnya, atau juga karena memang –pada zamannya- tidak ada yang membuatnya untuk melakukan itu.

Karena banyak motifnya, banyak kemungkinannya, banyak tafsirnya, al-tarku ini tidak bisa dijadikan dalil. Dan ulama ushul telah menyepakati ini, sehingga mereka memunculkan sebuah kaidah dalam ilmu ushul Fiqh;

ﺇﺫﺍ ﺗﻄﺮﻕ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺳﻘﻂ ﺑﻪ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ
“kalau punya banyak kemungkinan (multi tafsir), maka tidak bisa dijadikan dalil.”

Dr. Muhammad SUlaiman al-Asyqar, dalam kitabnya yang juga disertasi beliau berjudul Af’al al-Rasul wa Dalalatuha ala al-Ahkam alSyar’iyyah [ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺩﻻﻟﺘﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ], yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa diartikan “Pekerjaan Nabi s.a.w. dan Indikasinya atas Hukum Syariah”. Dalam disertasinya ini, beliau menjelaskan secara rinci perihal
al-Tarku (meninggalkan) Nabi s.a.w. dalam satu bab khusus di jilid 2 dari halaman 45 sampai halaman 70.

Di dalamnya juga beliau menjelaskan beberapa motif Nabi s.a.w. di antaranya;

1. a) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Menjadi Wajib

Ini yang masyhur sekali di telinga kita, bahwa Nabi s.a.w. meningalkan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat, dan hanya melakukan jamaah tarawih bersama mereka di 3 atau 3 malam pertama saja. Ketika ditanya mengapa Nabi s.a.w. meninggalkannya, beliau menjawab; “Aku khawatir itu menjadi wajib bagi kalian, dan kalian tidak sanggup”. (Muttafaq ‘alayh)

1. b) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Dianggap Wajib

Ini hampir sama dengan yang di atas, akan tetapi Dr. al-Asyqar mengatakannya berbeda. Beliau mencontohkan perkara bahwa Nabi s.a.w. selalu melakukan wudhu untuk setiap shalat sebagai sebuah kesunahan. Kemudian pada peristiwa fathu Makkah, beliau hanya melakukan satu kali wudhu untuk shalat seharian penuh itu. Lalu sayyidina Umar menanyakan hal itu kepada Nabi,
kemudian Nabi menjawab bahwa beliau melakukannya sengaja.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari (jil. 1 hal. 316) mengutip serta menguatkan pendapat Imam Thahawi yang menafsirkan hadits tersebut, bahwa melakukan wudhu di setiap kali shalat adalah perkara yang sunnah, dan Nabi s.a.w. meninggalkan kebiasaan itu pada hari fathu Makkah agar umat tidak menganggap bahwa berwudhu di setiap kali shalat sebuah kewajiban, serta memberitahukan kepada umat bahwa ini sesuatu yang boleh.

1. c) Meninggalkan al-Raml dalam Thawaf Khawatir Menyulitkan

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab al-Hajj di masing-masing Kitab Shahih mereka, meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi s.a.w. meninggalkan al-Raml (lari-lari kecil) untuk thawaf di putaran ke-4 sampai seterusnya karena khawatir memberatkan umat.

ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻤْﻨَﻌْﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻣُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﺷْﻮَﺍﻁَ ﻛُﻠَّﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺈِﺑْﻘَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
Ibnu Abbas r.a.: “tidak ada yang mencegah Nabi untuk memerintahkan mereka agar raml di semua putaran Thawaf kecuali karena kasih sayangnya kepada umat”. (Muttafaq ‘alayh)

1. d) Meninggalkan Sesuatu Khawatir ada Mafsadah Yang Muncul

Nabi s.a.w. pernah meninggalkan sesuatu karena khawatir kalau itu dikerjakan, akan menimbulkan mafsadah/keburukan, atau juga stigma negative dari sekitar.

Salah satu contohnya, Nabi s.a.w. membiarkan dan tidak membunuh kaum Munafiq yan sudah jelas kerusakan dan keburukannya kepada ummat. Karena khawatir kalau beliau s.a.w. membunuh, orang-orang Kafir akan membuat opini negative bahwa Nabi s.a.w membunuh sahabatnya sendiri. Dengan kesan negative itu, akhirnya membuat yang lain enggan untuk memeluk Islam.

1. e) Meninggalkan Shalat Jenazah Yang Berhutang

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh shaikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Nabi s.a.w. menolak untuk menshalati jenazah yang masih punya hutang dan belu dilunasi. Nabi s.a.w. menolak untuk itu sebagai hukuman bagi mereka yang masih punya tanggungan namun belum juga diselesaikan agar umat yang lain tidak mengulangi hal yang sama.

Akan tetapi, walaupun beliau menolak shalat untuk orang yang punya hutang, beliau s.a.w. tidak melarang umatnya untuk menshalati jenazah yang punya hutang itu. Dan para ulama pun sama sekali tidak ada yang mengharamkan shalat untuk jenazah yang punya putang dengan alasan Nabi s.a.w menolak untuk menshalatinya.

1. f) Meninggalkan Karena Tidak Biasa

Dalam kitab shahih al-Bukhari dan juga Shahih Imam Muslim, Sahabat Abu Hurairah r.a. pernah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditawari daging panggang, ketika ingin mengambilnya, salah seorang sahabat mengatakan bahwa itu daging dhabb (sejenis kadal), mendengar itu, Nabi s.a.w. tidak jadi mengambilnya.

Ketika ditanya apakah itu haram? Nabi s.a.w. tidak mengatakan demikian, ia hanya tidak biasa saja dengan makanan yang emmang tidak ada di kampungnya itu, namun tidak melarang para sahabat yang lain untuk memakannya.

Itulah beberapa jenis al-tarku (meninggalkan) yang dilakukan oleh Nabi s.a.w., dan sejatinya masih banyak lagi, bahkan banyak sekali perkara-perkara yang memang tidak dilakukan Nabi s.a.w. dalam hidupnya baik berupa ibadah maupun ‘Adah (non-ibadah). Artinya memang motif meninggalkan sebuah perkara itu bisa bermacam-macam, karena memang banyak tafsirnya dan
motifnya, itu tidak bisa serta merta dijadikan dalil untuk sebuah keharaman.

Kalau Semua Yang Ditinggalkan Menjadi Haram …

Dr. Sulaiman al-Asyqar meneruskan bahwa kalau saja semua yang tidak Nabi s.a.w. kerjakan dihukumi sebagai hukum haram dan tidak boleh dilaksanakan, tentu ini akan menutup pintu ijtihad para ulama. Tidak ada juga kemudian Maslahah al-Mursalah, tidak ada juga qiyas yang banyak dijadikan dalil oleh ulama untuk menghukum perkara-perkara yang memang tidak dilakukan oleh Nabi s.a.w.

Dan menjadi haram juga mengamalkan keumuman [ﻋﻤﻮﻡ] ayat atau untuk setiap perkaranya, karena alasan Nabi s.a.w. tidak melakukan itu. Padahal ulama sejagad ini sepakat bahwa ayat dan hadits yang sifatnya umum tetap wajib diamalkan kecuali pada perkara yang sudah di-takhshish (dikhususkan).

Beliau menambahkan, itu juga berarti kita tidak diwajibkan zakat pertanian kecuali apa yang memang sudah Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya saja, yaitu’ Kurma, Gandum, Jelai, dan Kismis.

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺳَﻦَّ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ﻓﻲِ ﺍﻟﺤِﻨْﻄَﺔِ ﻭَﺍﻟﺸَّﻌِﻴْﺮِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻤْﺮِ ﻭَﺍﻟﺰَّﺑِﻴْﺐِ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan zakat pada gandum, jelai, kurma dan kismis.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)

Karena memang hanya 4 jenis tanaman itu saja yang nyata bahwa Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya. Selain jenis yang 4 itu tidak ada zakatnya. Apakah demikian? Nyatanya ulama 4 madzhab tidak mengatakan demikian. Mereka memasukkan segala jenis tanaman lain yang wajib dizakati tidak terbatas 4 jenis itu. Apakah berani kita mengatakan bahwa para ulama 4 madzhab itu melakukan sebuah keharaman? Melakukan sebuah bid’ah dalam agama karena
menambah-nambah kewajiban zakat yang sejatinya Nabi s.a.w. tidak mewajibkan itu? Begitukah?

Jangan Asal Mengharamkan

Maka perlu ada pembahasan yang detil dan terperinci perihal al-tarku ini, apakah konsekuensinya dalam syariah. Yang ditetapkan oleh para ulama ushul, bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w. sebuah perkara itu bisa membuahkan hukum haram dengan dalil atau qarinah yang menguatkan keharamannya tersebut. Sedangkan hanya al-tarku saja, itu tidak bisa dijadikan dalil
keharaman.

Dalam hal ini ulama sepakat bahwa al-tarku itu sama seperti sukut (diam)-nya Nabi s.a.w., dan diamnya Nabi tidak membuahkan hasil hukum apa-apa kecuali dikuatkan dengan dalil atau qarinah lain yang memang benar-benar mendukung.

Untuk itu baiknya tidak asal menuduh orang lain berbuat haram hanya karena kita tidak tahu bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukannya. Periksa dulu betul-betul dan jangan gegabah melempar status negative kepada saudara muslim lainnya yang sama sekali tidak berguna apa-apa kecuali hanya menimbulkan permusuhan belaka.

Wallahu a’lam

Selasa, 17 Februari 2015

KISAH NYATA PENUH HIKMAH [DIKUTIP DALAM KARYA PARA ULAMA KITA]

Hikayah ini dikutip oleh para ulama kita, di antaranya; Syaikh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Syaikh Yusuf Isma’il an-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Awliya’, Ibn al-Imad al-Hanbali dalam Syadzrat adz-Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab, dan lainnya.

Bahwa suatu ketika Wali Allah yang sangat saleh; Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dalam khalwatnya didatangi Iblis yang menyerupai sinar sangat indah.

Iblis berkata: “Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Allah, seluruh kewajiban telah aku gugurkan darimu, dan segala yang haram telah aku halalkan bagimu. Maka berbuatlah sesukamu, karena seluruh dosa-dosamu telah aku ampuni….”.

Saat itu pula Syaikh Abd al-Qadir manjawab: “Khasi’ta ya Iblis… Khasi’ta ya la’in… (Kurang ajar engkau wajai Iblis.. Kurang ajar engkau wahai makhluk terkutuk..).

Iblis kemudian mengaku bahwa dia adalah Iblis, ia berkata: “Wahai Abd al-Qadir, engkau telah mengalahkanku dengan ilmumu, padahal dengan cara ini aku telah menyesatkan 70 orang lebih ahli ibadah…”.

Dari kisah nyata ini para ulama kita menuliskan catatan penting, sebagai berikut:

1. Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang datang tersebut adalah Iblis, karena Iblis menyerupai sinar. padahal Allah bukan sinar. Allah yang menciptakan segala sinar, maka Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya tersebut.

Adapun nama Allah (dalam al-Asma’ al-Husna) “an-Nur”, bukan artinya bahwa Allah sebagai cahaya, tetapi artinya “Yang Maha memberi petunjuk”, sebagaimana telah dijelaskan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dalam penafsiran beliau terhadap firman Allah:
“Allahu Nur as-Samawati…”.

2.Bahwa yang datang tersebut Iblis, adalah karena ia berkata bahwa segala kewajiban telah digugurkan, dan segala yang diharamkan telah ia halalkan. jalas, klaim semacam ini bukan dari syari’at Allah dan rasul-Nya, karena seseorang, setinggi apapun derajatnya, tidak akan pernah gugur darinya kewajiban shalat 5 waktu, puasa ramadan, juga tidak akan pernah menjadi halal baginya untuk berzina, mencuri, membunuh, dan perkara haram lainnya.

Dengan demikian bila ada yang mengaku dirinya “wali”, sementara ia meninggalkan kewajiban2, atau mengerjakan perkara2 haram, maka ia bukan wali Allah , tapi wali Iblis.

3. Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena ia berkata-kata dengan huruf, suara, dan bahasa. padahal sifat Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, karena bila demikian maka Allah sama dengan makhluk-Nya. adapun kitab al-Qur’an; dalam bentuk tulisan-tulisan Arab, huruf-huruf, dibaca dengan lidah dan suara, ditulis di atas lembaran-lembaran, maka itu adalah UNGKAPAN (‘Ibarah) dari Kalam Dzat Allah. (lebih jelas baca tentang “al-Qur’an Kalam Allah”).

4. Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena Iblis berada di tempat syaikh Abd al-Qadir.

padahal Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Allah bukan benda yang dapat disentuh tangan (bukan Hajm Katsif; seperti manusia, tanah, tumbuhan, dll), dan Allah bukan benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan (bukan Hajm Lathif; seperti cahaya, udara, ruh, dll). Allah yang menciptakan Hajm Katsif dan Hajm lathif, maka Allah bukan sebagai hajm (benda). Dan oleh karena Allah bukan benda maka Dia tidak
boleh disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, turun, naik, memiliki tempat, memiliki arah, dan lainnya. karena setiap benda dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. oleh karenanya, ulama kita sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata: “ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﺍْﻵﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِﻛَﺎﻥَ ” “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang
(setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).

WAHABI ADALAH KHAWARIJ NEWS, INI BUKTINYA:

Sumber Kitab Tafsir Hasyiah As-Showi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain Juz 3 QS. Fathir: 7 hal. 78 Penerbit: Darr Ihya at-Turats Al-Arabi Cetakan pertama tahun 1419 H atau hal. 379 Penerbit: Al-Haramain.
Di dalam tafsir tersebut jelas tertulis kalimat seperti ini:

ﻫﺬﻩ ﺍﻻﻳﺔ ﺗﺰﻟﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺤﺮﻓﻮﻥ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ, ﻭﻳﺴﺘﺤﻠﻮﻥ ﺑﺬﺍﻟﻚ ﺩﻣﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺍﻣﻮﺍﻟﻬﻢ, ﻟﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﺸﺎﻫﺪ ﺃﻻﻥ ﻓﻰ ﻧﻈﺎﺋﺮﻫﻢ ﻭﻫﻢ ﻓﺮﻗﺔ ﺑﺄﺭﺽ ﺣﺠﺎﺯﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻳﺤﺴﺒﻮﻥ ﺍﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻴﺊ ﺃﻻ ﺍﻧﻬﻢ ﻫﻢ ﺍﻟﻜﺎﺫﺑﻮﻥ, ﺍﺳﺘﺤﻮﺫﻟﻬﻢ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ, ﻓﺄﻧﺴﺎﻫﻢ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ, ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺣﺰﺏ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ, ﺃﻻ ﺍﻥ ﺣﺰﺏ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻫﻢ ﺍﻟﺨﺎﺳﺮﻭﻥ, ﻧﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺃﻥ ﻳﻘﻄﻊ ﺩﺍﺑﺮﻫﻢ .
“Ini ayat turun berkenaan dengan khawarij yg merubah takwil al- Qur’an dan as-Sunnah, menghalalkan darah umat islam dan hartanya, jika mau mengetahui mereka sekarang yaitu mereka kelompok yang hidup di BUMI HIJAZ [ARAB SAUDI] mereka disebut WAHABIYAH, mereka mengira sesungguhnya mereka lah yang berada pada sesuatu yg benar [al-Qur’an dan as-Sunnah], ketahuilah sesungguhnya mereka adalah PARA PENDUSTA. Mereka telah digelincirkan setan, maka mereka lupa mengingat Allah, mereka adalah tentara setan, dan ketahuilah bahwa tentara setan adalah mereka org2 yang merugi. Kami memohon perlindungan kepada Allah yg Maha Mulia jika berada dibelakang mereka [Wahhabi ].”

Akan tetapi kaum KHAWARIJ ini bertindak nekat dengan mendistorsi kitab tersebut dgn menghilangkan kalimat ini:

, ﻟﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﺸﺎﻫﺪ ﺃﻻﻥ ﻓﻰ ﻧﻈﺎﺋﺮﻫﻢ ﻭﻫﻢ ﻓﺮﻗﺔ ﺑﺄﺭﺽ ﺣﺠﺎﺯ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻳﺤﺴﺒﻮﻥ ﺍﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻴﺊ ﺃﻻ ﺍﻧﻬﻢ ﻫﻢ ﺍﻟﻜﺎﺫﺑﻮﻥ
“jika mau mengetahui mereka sekarang adalah yaitu mereka kelompok yang hidup di BUMI HIJAZ [ARAB SAUDI] mereka disebut WAHABIYAH, mereka mengira sesungguhnya mereka lah yang
berada pada sesuatu yg benar [al-Qur’an dan as-Sunnah],ketahuilah sesungguhnya mereka adalah PARA PENDUSTA.”

DI ATAS ADALAH PERNYATAAN SYEIKH AS-SHOWI DARI KITAB ASLINYA MENGENAI WAHABI DAN BELIAU MENSIFATKAN BAHWA WAHABI SEBAGAI KHAWARIJ YANG TERBIT DI TANAH HIJAZ. BELIAU MENOLAK WAHABI, BAHKAN MENYATAKAN WAHABI SEBAGAI SETAN KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM, MEMBUNUH UMAT ISLAM DAN MERAMPAS SERTA MENGHALALKAN RAMPASAN HARTA TERHADAP UMAT ISLAM. LIHAT PADA KALIMAT
SELANJUTNYA YANG SUDAH SAYA WARNAI.

Inilah Wahhabi . Bila ulama membuka AIB KEJAHATANNYA mereka akan bertindak NEKAT dengan merubah kitab-kitab ulama Islam.

Awas…………….sudah terlalu banyak kitab ulama Islam dipalsukan oleh Wahabi kerana tidak sependapat dengan mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada Wahabi sehingga bertobat dan menetapkan iman orang Islam semuanya. Aamiin

wallohu a’lam

MEREKA MENYEBAR KEBOHONGAN AQIDAH DENGAN MEMBAWA NAMA IMAM ABU KHANIFAH

Mereka Menyebar Kebohongan Aqidah Dengan Membawa Nama Imam Abu Khanifah

Dalam berbagai media, sering kita dapati beberapa tulisan yang mendiskriditkan faham2 yg selama ini telah dijalankan dan di Yakini oleh Mayoritas Kaum Muslimin dengan menuqil2 dan bahkan memalsukan Nama Imam Madzhab tanpa adanya penyelidikan lebih lanjut sesuai slogan yg sering di kumandangkan yaitu “Kembali kepada Al Quran dan Hadits yang Sahih sesuai
Pemahaman salafussalih”.

Slogan itu seringkali hanya sebatas wacana kosong, jika saja kita tahu dan sedikit mengkoreksi Perkataan2 mereka yang hanya merupakan Doktrin gelap, tidak lebih apa yang mereka perjuangkan hanya sebatas keluar dari sikap fanatik buta dan Ghuluw kepada Ulama Faforit mereka saja.

Mereka sangat bersemangat untuk memporak porandakan tatanan yang sudah ada dengan dalih apapun yg di suka, Syirik, Khurofat, Bid’ah, Penyembah Kuburan, dll.

Terlebih dalam masalah Aqidah yg di cetuskan Oleh Imam Ibnu Taymiyyah, yang mana Aqidah yang di cetuskan ini hampir -+200 th tidak di terima oleh mayoritas Cendikiawan Muslimin seluruh Dunia kecuali sebagian dari Murid2 Beliau saja, dan di bangkitkan kembali Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dg motif perebutn kekuasaan, yang kemudian di sebut sebagai gerakan Wahabi.

Kali ini saya akan coba mengemukakan salah satu Fakta Doktrin Faforit mereka tentang “Allah ada di Langit” yang dalam hal ini, mereka tidak malu2 membawa kebohongan mengatasnamakan Imam Abu Khanifah , walaupun sebenarnya sudah ada di sini secara detail, namun pada kesempatan ini akan saya coba mengetengahkan dari sisi yang lain.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺠﻮﺯﻱ ﺹ 69 ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺩﻓﻊ ﺷﺒﻪ ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﺑﺄﻛﻒ ﺍﻟﺘﻨﺰﻳﻪ:ﺃﻥ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻻﻋﻈﻢ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ : ” ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺭﺑﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻡ ﻓﻲ ﺍﻻﺭﺽ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ . ﻻﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻘﻮﻝ : ‏( ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ‏) ﻭﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﺒﻊ ﺳﻤﻮﺍﺕ . . . “
“Al ‘Allamah Ibnu al Jauzi mengatakan pada hal 69 dalam Kitabnya Daf’u Syubahi al Tasybihi bi Akaffit Tanzih Bahwa Imam Abu Khanifah merngatakan: Barang siapa yg mengatakan Aku tidak tahu Tuhanku di Langit atau di Bumi, maka dia telah Kafir, Karena Allah ta’ala telah bersabda: ( ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ) dan ‘ArasyNya ada di atas Langit Tujuh”

Hal yang serupa juga ada di Kitab Faforit mereka yaitu Syarah Kitab ‘Aqidah Al Thokhawiyyah oleh Ibnu Abdil,izz hal 288 yang di tahqiq oleh Al Albani sebagai berikut:

ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﻠﻮ ﻛﺜﻴﺮ ﺟﺪﺍ: ﻓﻤﻨﻪ: ﻣﺎ ﺭﻭﻯ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﺑﻮﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ: ﺍﻟﻔﺎﺭﻭﻕ، ﺑﺴﻨﺪﻩ ﺇﻟﻰ ﻣﻄﻴﻊ ﺍﻟﺒﻠﺨﻲ: ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﺃﺑﺎ ﺣﻴﻨﻔﺔﻋﻤﻦ ﻗﺎﻝ: ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺭﺑﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﻗﺪ ﻛﻔﺮ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻘﻮﻝ:}ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ { ﻭﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﺒﻊ ﺳﻤﺎﻭﺍﺕ، ﻗﻠﺖ: ﻓﺈﻥ ﻗﺎﻝ: ﺇﻧﻪ ﻋﻠﻰﺍﻟﻌﺮﺵ، ﻭﻟﻜﻦ ﻳﻘﻮﻝ: ﻻ ﺃﺩﺭﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ؟ ﻗﺎﻝ: ﻫﻮ ﻛﺎﻓﺮ، ﻷﻧﻪ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ، ﻓﻤﻦ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ .
“Perkataan Para Salaf dalam menetapkan Sifat “Al ‘uluwwu” (maaf saya tidak berani menerjemahkannya sebagaiman mereka menerjemahkan Kalimat Al ‘Uluwwu itu dg ketinggian Dzat) sangat banyak, antara lain: Seperti apa yg di riayatkan oleh Syaikhul Islam Abu Isma,il Al Anshori dalam kitabnya “Al Faruq” dg sanad yg tersambung dengan Muthi, Al Balkhi, yang mana Beliau telah bertanya kepada Imam Abu Khanifah akan halnya orang yang mengatakan Aku tidak tahu Tuhanku di Langit atau di Bumi?, maka dia telah Kafir, Karena Allah ta’ala telah bersabda:
( ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ) dan ‘ArasyNya ada di atas Langit Tujuh, kemudian aku
bertanya: jika Orang itu berkata Sesungguhnya Allah di atas Arasy, tapi dia mengatakan Aku tidak tahu ‘Arasy itu di Langit atau di Bumi? Imam Abu Khanifah Mengatakan/menjawab: dia telah kafir, karena dia telah ingkar adanya ‘Arasy di langit, barang siapa yang Ingkar bahwa ‘Arasy itu ada di langit dia telah Kafir”

Sebenarnya masih panjang lebar dalam Kitab itu menerangkan yang intinya Allah ada di Langit/ ‘Arasy, namun kiranya saya cukupkan sekian saja, toh pada intinya saya cuma mau kasih bukti saja tanpa bermaksud melakukan pemotongan Teks Aslinya, sedangkan teks yang panjang lebar itu kesimpulannya juga saling berkaitan dan tidak ada perbedaan Maksud dari apa yang saya tuliskan di atas.

Nah sekarang bagaimana komentar para ‘ulama akan legalnya Perkataan Imam Abu Khanifah tersebut di tinjau dari sisi periwayatannya? bukankah dengan Hadits saja sesuai slogan mereka haruslah yang sahih, bagaimana dg perkataan ‘ulama?
apakah harus meninggalkan Manhaj sahih itu? mari kita cermati sebentar.

Ternyata di dalam perowi tersebut kebanyakan yang di nuqil dalam Kitab2 mereka sampai kepada yang namanya “ABU MUTHI, AL BALKHY” justru dari Al Khafidl Al Dzahabi sendiri mengatakan dalam Kitabnya “Al Mizan” juz1 hal 574 menyatakan:

” ﻗﺎﻝ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ : ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺮﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﺷﺊ ﻭﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻣﻌﻴﻦ : ﻟﻴﺲ ﺑﺸﺊ “
“Berkata Imam Ahmad: “Tidak seyogyanya meriwayatkan sesuatu darinya (ABU MUTHI, AL BALKHY), dan dari Yahya bin Ma,in: “Dia (ABU MUTHI, AL BALKHY) bukan siapa2 (tidak terhitung orang yg kridible pen)”

Sementara Al Hafidl Ibnu Hajar mengatakan dalam Kitabnya “Lisan Al Mizan” juz 2 hal 335 cet Al Hindiyyah:

. : ” ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ : ﻛﺎﻥ ﻣﺮﺟﺌﺎ ﻛﺬﺍﺑﺎ . . . . ” .
“Imam Al Rozi mengatakan: Kana (ABU MUTHI, AL BALKHY) adalah Murji’ah dan Pembohong”
Sekarang bagaimana mungkin dalam menetapkan Aqidah Al Jauzi justru mengambil dari pembohong? dan yang lebiih parah lagi Kaum Usiliyyun menelan mentah2 begitu saja apa yang di katakan Imam mereka?

Jika Berbohong dengan mengatasnamakn Rosulullah Shollallahu ‘alaihi w Sallam itu dosa besar, apakah berbohong dan menyebarkan kebohongan mengatas namakan Imam Abu Khanifah boleh2 saja?