Rabu, 04 September 2013

Haram Hukumnya Ikut Hizbut Tahrir Indonesia


Rois 'Am Majelis Muzakaroh Muhtadi Cidahu Banten (M3CB) Abuya Muhtadi Dimyathi menyatakan, keinginan dan upaya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan salah satu bentuk pemberontakan.
Pernyataan disampaikan secara tertulis dalam satu surat pernyataan tertanggal 21 Agustus 2013. Surat pernyataan disampaikan langsung oleh beberapa murid Abuya Muhtadi ke kantor redaksi NU Online, Jakarta, Selasa (3/8) kemarin. Sebelumnya surat pernyataan itu juga sudah dikirimkan ke PBNU.
Abuya Muhtadi menyatakan, HTI adalah ormas Islam dari luar negeri yang datang ke Indonesia dan ingin menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara.
“Perbuatan tersebut salah satu macam dari pemberontakan, padahal memberontak negara itu dosa besar, maka dari itu HTI haram hukumnya dalam berbagai keadaan” demikian dalam pernyataan tersebut.
Abuya Muhtadi adalah seorang ulama kharismatik di Pandeglang dan mempunyai banyak murid di wilayah Banten. Terkait surat pernyataan ini, menurut beberapa muridnya, Abuya gerah dengan gerakan kelompok HTI di wilayah Banten. Selain itu, informasi yang diterima , putra tokoh besar Abuya Dimyathi ini merasa dirugikan oleh HTI karena namanya sering dicatut dalam berbagai aktifitas mereka.

DOKTRIN-DOKTRIN AL-MATURIDI

1. .Riwayat singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand,wilayah

trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. ia wafat pada tahun 333 H/944 M. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama nasyr bin yahya al-balakhi. ia wafat pada tahun 268 H. al-maturidiyah hidup pada masa khalifah al-mutawakil yang memerintah tahun 232-274/-861 M.
karir pendidikan al-maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih.
2. doktrin – doktrin teologi al-maturidi
a. akal dan wahyu
dalam pemikiran teologinya, al-maturidi mendasarkan pada al-quran dan akal. dalam hal ini, ia sama dengan al-asy’ari. namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang di berikan oleh al-asy’ari.
menurut al-maturidi,mengatuhi tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan dapat diketahui dengan akal. namun akal, mennurut al-maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
masalah baik dan buruk, al-maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
al-maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2. akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3. akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, al-maturidi sependapat dengan mu’tazilah.
b. perbutan manusia
menurut al-maturidi perbutan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaa-nya. khusus mengetahui perbutan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak tuhan mengaharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. daya – daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. dengan demikian, tidak ada pertentangan antar qudrat tuhan yang menciptakan perbutan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. kemudian, karena daya diciptakn dalam diri manusia dan perbutan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. berbeda dengan al-maturidi, al-asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan. berbeda pula dengan mu’tazilah yang memandang daya manusia yang telah ada sebelum perbutan itu sendiri.
juga atas kehendak tuhan, tetapi tidak atas karenanya. dengan demikian, berarti manusia dalam faham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam faham mu’tazilah.
c. kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan.
telah diuraikan diatas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan tuhan. akan tetapi, pernyataan ini menurut al-maturidi bukan berarti bahwa tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang – wenang serta kehendaknya semata. hal ini karena qudrat tuhan tidak sewenang –wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d. sifat tuhan
berkaitan dengan masalah sifat tuhan, terdapat persamaan antara pemikiran al-maturidi dan al-asy’ari. keduanya berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat – sifat,seperti sama,bashar, dan sebagainya. walaupun begitu, pengertian al-maturidi tentang sifat tuhan berbeda dengan al-asy’ari. al-asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainak melekat pada zat itu sendiri. sedangkan al-maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatan sebagai esensinya dan bukan pula lain dari esensinya.
e. melihat tuhan
al-maturidi mengatakn bahwa manusia dapat melihat tuhan. hal ini diberikan oleh al-quran, antara lain firman allah dalam surat al-qiyamah ayat 22 dan 23.
al-maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. namun melihat tuhan, kelak di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. kalam tuhan.
al-maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yangn tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi adalah sifat qadim bagi allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis).al-quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu(hadis). kalam, nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagai mana allah bersifat dengannya(bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan perantara.
g. perbuatan manusia
menurut al-maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak tuhan, dan tidak ada yang memaksanya atau membatasi kehendak tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. oleh karena itu, tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban – kewajiban yang dibebankan di kehendaakinya. kewajiban – kewajiban tersebut antara lain:
1. tuhan tidak akan membebankan kewajiban – kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah di tetapkannya.
h. pengutusan rasul
akan tidak selamanya mampu mengetahui kewaajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk dan serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibeban kepada manusia. oleh kare itu, menurut al-maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban – kewajiban tersebut. jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. tanpa mengikuti ajran wahyu yang di sampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berbeda di luar kemampuannya kepada akalnya.
pandangan al-maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah – tengah umatnya adalah kewajiban tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupan.
i. pelaku dosa besar (murtakib al-kabir)
almaturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. hal ini karrena tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelaku kekal di dalam neraka. oleh karena itu, perbutan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseoran kafir atau murtad. menurut al-maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempuranaan iman. oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.Tentang Kitab
Judul Kitab at-Tauhid
Penulis Abu Manshur al-Maturidi
Penerbit Bairut-Dar al-Masyriq
Cet Ke-3 tahun 1986 M
Tebal
411
bila ada kesalahan tolong di koreksi salam ukhuwah fillah

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=368063633325172&set=a.189179864546884.43262.100003646166340&type=1&relevant_count=1

Biografi dan Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

biografi Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy
Imam Asy'ari mempunyai nama lengkap Ali bin Ismail bin Abi Bisyr bin Ishaq, masih keturunan kepada sahabat yg Agung Abu Musa Al asy'ari, beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H, menjelang wafatnya ayah beliau mewasiatkan kepada Zakariya bin yahya Assaji untuk mendidiknya dg ilmu-ilmu agama. Dan dari sana beliau berguru kepada Abi Kholifah aljamhi, sahl bin nuh dan muhammad bin ya'qub serta abdurrahman bin khalf. Beliau belajar fiqih kepada Abu ishaq al marwazi , beliau adalah tokoh fuqoha' dizamannya. Dan disaat usia imam asy'ari genap 10 tahun, beliau telah menguasai berbagai disiplin ilmu agama islam yg didapat dari sumbernya yg jernih, hanya saja ayah tiri beliau(suami ibunya setelah ayah beliau wafat)Abu ali aljuba'i adalah tokoh mu'tazilah, itulah yg menjadikan beliau menganut mu'tazilah dan mahir dibidang ilmu kalam,serta menguasai sampai keakar-akar pemahaman mu'tazila, sehingga nantinya setelah beliau keluar dari mu'tazilah, beliau membongkar kesalahan pemahaman mu'tazilah dg hujjah mu'tazilah sendiri, dan beliau berguru kepada abu ali aljuba'i selama 30 tahun, tetapi akhirnya ada beberapa hal yg mengganjal difikiran imam asy'ari seputar paham mu'tazilah yg akhirnya sering terjadi diskusi antara beliau dan gurunya(ali aljuba'i).
Yang menyebabkan beliau keluar dari mu'tazilah adalah suatu hari beliau mengajukan pertanyaan kepada ali aljuba'i mengenai 3 orang, dimana dalam mu'tazilah ada paham "Al ishlah wal ashlah", beliau menayakan bagaimana dg 3 bersaudara yg pertama hidup sampai tua dan bertaqwa mati beriman , yg kedua dia kafir dan mati dalam keadaan kafir, yg ketiga mati masih kecil belum ada taklif? aljuba'i menjawab yg pertama itu disurga, yg kedua dineraka, adapun yg ketiga tidak disiksa dan tidak mendapat pahala, tetqapi dia selamat(berada di almannzilah baynal manzilatayni). maka imam asyari menyangga" bagaimana kalau yg kedua(dineraka) berkata " duhai tuhanku, kenapa aku tdk kau matikan waktu kecil saja sehingga aku mati tdk dalam kekafiran dan tidak diadzab karena belum ada taklif?, aljuba'i tdk bisa menjawab pertanyaan ini, padahal menjadi usul dari ajaran mu'tazilah. Lalu imam asy'ari pulang dan menelaah kembali kitab2 mu'tazilah sehingga beliau benar-benar yakin bahwa ajaran mu'tazilah selama ini menyalahi nahs lebih mengedepankan akal.
lalu pada hari jum'at beliau naik mimbar dan berkhutbah(Wahai sekalian manusia, siapa yg telah tau aku berarti telah mengenalku, dan siapa yg belum mengenalku maka aku akan memperkenalkan diri, dulu aku mengatakan bahwa alqur'an itu makhluq, dan Allah tidak dapat dilihat, dan bahwasanya perbuatan buruk adalah aku pelakunya, sekarang aku taubat dari pemahaman itu dan aku keluar dari mu'tazilah).
dan sebenarnya madzhab abul hasan al asy'ari ini juga sealur dg pandangan imam syafi'i yg menolak keras paham yg mengatakan bahwa alqur'an itu makhluq. Dan imam asy'ari menolak faham yg dianut mu'tazilah bahwa baik buruk yg menentukan adalah akal, sebab menurut asy'ariyah dan yg berdasarkan nash bahwa baik dasn buruk itu ditentukan oleh syara', adapun akal sekedar mediator untuk memahami nash
Dan diriwayat lain dikatakan dari imam subki mengatakan bahwa yg menyebabkan beliau pindah dari mu'tazilah ke ahlussunnah adalah ketika bulan Ramadhan beliau bermimpi 3 kali didatangi Rasulullah saw, pertama di sepuluh awal Ramadhan, kedua disepuluh Ramadhan kedua, ketiga disepuluh ramadhan terakhir, Rasulullah bersabda "Wahai Ali(abul hasan)..tolonglah madzhab yg diriwayatkan dariku, sesungguhnya ia adalah haq".
dan sebelum beliau lebih jauh membangun madzhab ahlussunnah, terlebih dahulu beliau beruzlah(khalwah) dari manusia selama 15 hari, dan setelah itu beliau mendapat ilham dan sudah mantab untuk meninggalkan mu'tazilah menuju ahlussunnah, lalu beliau keluar kepada manusia dan mengumumkan secara luas taubat beliau dari mu'tazilah pada tahun 300 H
Dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 324 H setelah menulis banyak karangan kitab, imam zarkasy menyebutkan kitab karangan beliau sebanyak 300 kitab

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-
لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.

Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap.
Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.

Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.

Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?
Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb

1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;

Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.

2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;

Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.

Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.

3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;

Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.

Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.

Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)

Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Daftar Pustaka

Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=368246506640218&set=a.189179864546884.43262.100003646166340&type=1&relevant_count=1

Selasa, 03 September 2013

Imam al-Ghazali Tentang Keutamaan Ilmu 3 Keutamaan Guru



بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Imam al-Ghazali Tentang Keutamaan Ilmu 3

Keutamaan Guru

Firman Allah ‘AzzaWa Jalla

Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At Taubah : 122)

Yang dimaksudkan adalah mengajar dan memberi petunjuk.

Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu) : “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya” (Ali Imran : 187)

Firman itu mewajibkan untuk mengajar.


Dan sesungguhnya sebahagian dari mereka menyembunyikan kebenaran pada hal mereka mengetahui(Al Baqarah : 146).

Ini menunjukkan haramnya menyembunyikan (ilmu) sebagaimana firman Allah Ta’ala mengenai saksi :

Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”. (Al Baqarah : 283).

Allah tidaklah memberikan ilmu kepada seorang ‘alim melainkan Allah mengambil janji atasnya seperti apa yang diambilNya dari para Nabi, yaitu agar mereka menerangkannya kepada manusia dsn tidak menyembunyikannya [Abu Na'im dari Hadits Ibnu Mas'ud dan seperti itu dari Abu Hurairah]

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal saleh” (Fushshilat : 33)

Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yane batil) dgn pelajaran yang baik” (An Nahl : 125)

Dan dia mengajari mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan hikmah” (Al Baqarah : 129)

Hadits-hadits

Adapun hadits-hadits maka sabda beliau SAW ketika mengutus Mu’dz ra ke Yaman: Sungguh Allah memberi petunjuk kepada seseorang karena kamu sdalah lebih baik dari pada dunia dan apa yang ada padanya [Ahmad dari hadits Mu'adz]

Barang siapa yang belajar satu bab dsri ilmu untuk diajarkan kepada manusia maka ia diberi pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang membenarkan Nabi) [Abu Manshur Ad Dailami dari Ibnu Mas'ud dengan sanad yang lemah]

Apabila datang hari Kiyamat maka Allah yang Maha Suci berfirman kepada orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang berjuang “Masuklah ke syurga !”. Lalu para ulama berkata : “Berkat kelebihan ilmu kami mereka beribadah dan berjuang”. Lalu Allah ,Azza Wa Jalla berfirman : “Kamu sekalian di sisiKu seperti sebahagian malaikatku, mensyafa’atilah maka syafa’atmu diterima !” Maka merekapun memberi syafa’at kemudian mereka masuk sYurga [Abul 'Abbas Adz Dzahabi dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah]

sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla tidak mencabut ilmu dari manusia setelah Allah memberikan ilmu itu kepada mereka. Tetapi ilmu itu pergi dengan kepergian (meninggalnya) ulama. Setiap kali seorang ‘alim pergi maka pergilah ilmu yang bersamaiya sehingga apabila tidak tinggal kecuali para pemimpin yang bodoh-bodoh yang apabila mereka ditanya maka mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka mereka sesat dan menyesatkan [Muttafaq 'alaih dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah]

Barang siapa yang mengetahui suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya maka pada hari Kiyamat Allah mengenakan kendali kepadanya dengan kendati dari api [Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al Hakim dari Abu Hurairah. Hakim menshahihkannya dan At Tirmidzi menhasankannya]

Sebaik-baik pemberian dun sebaik-baik hadiah adalah kata-kata hikmah yang kamu dengar kemudian kamu lipat (kamu simpan) kemudian kumu bawu kepada saudaramu yang muslim, yaitu kamu ajarkan kata-kata itu kepadanya, itu membandingi ibadah satu tahun [Ath Thabrani dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah.]

“Dunia itu terkutuk, terkutuk (pula) apa yang ada padanya kecuali ingat kepada Allah dan apa yang mengiringinya atau orang yang mengajar atau orang yang belajar [At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. At Tirmidzi mengatakan hadits hasan gharib.]

sesungguhnya Allah Yang Maha Suci, malaikutNya dan penghuni langit dan bumiNya sehingga semut di dalam liangnya dan ikan di lautan itu memohonkan rahmat (selain Allah, sedangkan Allah memberikan rahmat) kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia [At Tirmidzi dari Abu Umamah dan ia mengatakan gharib, dan pada naskah lain hasan shahih]

Tidaklah seorang muslim memberifaidah (kemanfa’atan) kepada saudaranya lebih utama dari pada pembicaraan yang baik yang sampai kepadanya lalu ia menyampaikannya [Ibnu Abdil Bam dari riwayat Muhammad bin Al Mungkadir, mursal]

Kata baik yantg didengar oleh orang mu’min lalu diajarkannya dan diamalkannya adalah lebih baginya dari pada ibadah setahu [Ibnul Mubarak dari riwayat Zaid bin Aslam, mursal]

Pada suatu hari Rasulullah SAW keluar lalu beliau melihat dua majlis, yaitu salah satunya mereka berdo’a kepada Allah dan cinta kepadaNya, dan yang kedua mereka mengajar manusia lalu beliau bersabda :

Adapun mereka adalah memohon kepada Allah maka jika Dia menghendaki maka Dia memberi mereka dan jika Dia menghendaki maka Dia mencegah mereka. Adapun mereka (majlis kedua) maka mereka mengajar manusia di mana aku diutus itu sebagai guru kemudian beliau beralih ke majlis itu dan duduk bersama mereka [Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang lemah]

Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang mana Allah ‘Azza Wa Jalla mengutusku udalah seperti huian lebat yang mengenai bumi. Dari padanya ada sebidang tanah yang menerima air lalu menumbuhkan padang rumput dan rerumputan yang banyak. Dari padanya ada sebidang tanah yang menahan air lalu Allah ‘Azza Wa Jalla memberikan manfa’at kepada manusia dengannya di mana mereka minum, memberi minum dan bercocok tanam dari padanys. Dan dari padanya ada sebidang tanah yang gerssng, tidak dapat menahan air dsn tidak menumbuhkan padsng rumput [Muttafaq 'alaih dari Abu'Musa]

Perumpamaan yang pertama beliau sebutkan bagi orang yang dapat mengambil manfa’at dengan ilmunya. Yang kedua bagi orang yang dapat memberikan manfa’at (kepada orang lain). Dan yang ketiga bagi orang yang terhalang dari dua ha-l itu (nomor dua dan tiga).

Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga, yaitu ilmu yang bermanfa’at …[Muslim dari Abu Hurairah]

orang yang menunjukkan atas kebaikan itu adalah seperti orang yang mengerjakannya [At Tirmidzi dari Anas dan ia mengatakan gharib, dan H.R. Muslim, Abu Dawud dan An Nasa'i dan ia menshahihkannya dari Abu Mas'ud]

Tidak ada iri kecuali terhadap dua orang, yaitu seseorang yang dianugerahi hikmah alehAllah ‘Azza Wa Jalla di mana ia’ menghukumi dengannya dan mengajarkannya kepada manusia, dan seseorang yang dianugerahi harta lalu harta itu dibelanjakan dalam kebaikan [Muttafaq 'alaih dari Ibnu Mas'ud]

Semoga rahmat Allah atas para khatifahku”. Ditanyakan : “Siapakah para khaldahmu ?,’. Beliau bersabda : “Yaitu orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada para hamba Allah [Al Hasan, ada yang mengatakan bin AIi ada juga yang mengatakan bin yasar Al Bashri. Hadits itu mursal]

Atsar-Atsar

Adapun atsar maka Umar ra berkata : “Barang siapa menceriterakan suatu hadits lalu ia mengamalkannya maka ia mendapat pahala seumpama pahala orang yang mengamalkan amal itu”.

Ibnu Abbas ra berkata : “Orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia adalah dimintakan ampunan oleh segala sesuatu sampaipun ikan di lautan”.

Sebagian hukama’ berkata : “Orang ‘alim itu masuk pada apa yang di antara Allah dan makhlukNya maka hendaklah ia melihat bagaimana ia masuk”.

Dan diriwayatkan bahwa Sufyan Ats Tsauri rahimahullah tiba di Asqalan lalu ia tinggal di mana ia tidak ada orang yang bertanya kepadanya, lalu ia berkata: “Bekalilah saya agar saya dapat keluar dari negeri ini. Ini adalah negeri yang di dalamnya ilmu itu mati”. Ia berkata demikian karena ia sangat ingin mengemukakan atas keutamaan ilmu dan kekalnya ilmu dengan pengajaran itu.

Atha’ ra berkata : “Saya masuk pada Sa’id bin Al Musayyab di mana ia sedang menangis lalu saya bertanya : “Apakah yang menjadikan kamu menangis ?”. Ia menjawab : “Tidak ada seorangpun yang tanya kepadaku tentang sesuatu”. Sebagian mereka berkata “Ulama itu pelita masa. Masing-masing dari mereka adalah pelita masanya di mana orang-orang pada masanya itu meminta penerangan kepadanya”.

Al Hasan rahimahullah berkata : “Seandainya tidak karena ulama maka manusia menjadi seperti binatang”, yakni dengan pengajaran para ulama mengeluarkan manusia dari batas hewan ke batas manusia”.

Ikrimah berkata : “sesungguhnya ilmu ini mempunyaiharga”. Ditanyakan : “Apakah harga itu ?” .Ia menjawab : “Kamu meletakkannya pada orang yang baik membawanya dan tidak menyianyiakannya”.

Yahya bin Mu’adz berkata : “Para ulama itu lebih sayang kepada ummat Muhammad SAW dari pada ayah dan ibu mereka”. Dikatakan : “Bagaimanakah demikian itu ?”. Ia menjawab : “Ayah dan ibu mereka menjaga mereka dari api dunia sedangkan para ulama menjaga mereka dari api (neraka) akhirat”.

Ada orang mengatakan : “Awal ilmu itu diam, kemudian mendengarkan, kemudian menghafalkan kemudian mengamalkan kemudian menyiarkannya”. Dan ada orang yang mengatakan : “Ajarkanlah ilmumu kepada orang yang bodoh (tidak tahu) dan belajarlah dari orang yang $erilmu apa yang kamu tidak tahu (bodoh). Jika kamu melakukan hal itu maka kamu mengetahui apa yang telah kamu ketahui”.

Mu’adz bin Jabal berkata mengenai pengajaran dan belajar, dan saya (Imam al Ghazali) memandangnya marfu’ :

Belajarlah ilmu karena sesungguhnya belajarnya karena Allah itu adalah takwa, menuntutnya itu adalah ibadah, mempelajarinya itu tasbih, membahasnya itu adalah jihad, mengajarkannya kepada 0rang yang belum mengetahuinya itu adalah sedekah, memberikannya kepada keluarganya itu adalah pendekatan diri (kepada Allah). Ilmu itu adalah penghibur di kala sendirian, teman di kala sepi, penunjuk kepada agama, pembuat sabar di kala suka dan duka, menteri di kala ada teman-teman, kerabat di kala dalam kalangan orang asing dan sebagai menara jalan ke syurga. Dengannya Allah mengangkat kaum-kaum lalu Dia menjadikan mereka sebagai ikutan, pemimpin dan penunjuk yang diikuti, penunjuk terhadap kebaikan, jejak mereka dijadikan kisah dan perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat senang terhadap peri laku mereka dan mengusap mereka dengan sayap mereka (malaikat). Setiap barang yang basah dan kering sehingga ikan di lautan, serangga, binatang buas dan binatsng jinak di daratan, dan langit dan binatang memohonksn ampunan bagi mereka

Karena ilmu itu kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan dari keleniahan yang menyampaikan hamba ke kedudukan orang-orang yang bajik dan derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu itu mengimbangi puasa, mempelajarinya mengimbangi mendirikan malam (dengan shalat dan sebagainya). Dengan ilmu, Allah ‘AzzaWa Jalla dita’ati, dengannya Allah itu disembah, dengannya hamba diberi janji, dengannya Dia ditauhidkan, dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara’, dengannya sanak kerabat disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya. Orang-orang yang berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang yang, celaka itu terhalang. Kita bermohon kepada Allah Ta’ala akan baiknya pertolongan.
..
wallahu a’lam.

Sumber: Ihya Ulumuddin, Jilid 1 Bab Keutamaan Ilmu, Imam Al Ghazali.

Tidak Untuk Di Obral

Pembahasan Shifat-shifat Khobariyah BUKAN untuk di Obral…!!

Sebenarnya sebelum artikel ini juga telah di bahas terkait dengan Peringatan Bagi Mereka Yang Hoby Membicarakan Ayat2 Mutasyabihat,
Namun ad baiknya tulisan Kang As’ad ini di baca sekali lagi, untuk menambah dan sekaligus memupuk kehati-hatian kita ntuk tidak menjawab Jika Anak Kita Bertanya Dimana Allah? ^_^ atau Orang Dewasa yang mempunyai pemikiran semisal. Sebab pada Zaman ini lagi marak-maraknya Orang yang Bergaya Ilmiyah Menfitnah Ilmuwan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh orang2 awam seperti kita berkaitan dengan peyikapan terhadap shifat2 khobariyah mutasyabihat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah menurut al-Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Iljam al-Awam ‘an Ilmil Kalam adalah sebagai berikut:
1.     At-Taqdis; yaitu mensucikan Allah dari hal2 yang berkaitan dengan penjisiman dan yang berkaitan dengannya, seperti: bertempat, berarah, terbatas, bergerak, diam, dll.
2.     At-Tashdiq; yaitu Mengimani apa adanya bahwasanya ayat2 trsbt adalah benar, yang menyampekan (Nabi) juga benar, dan meyakini makna ayat2 tsbt adalah benar yang sesuai dengan yg dikehendaki Allah Ta’ala.
3.     Al-I’tiraf bil Ajz; yaitu kita menyadari sepenuh hati akan keterbatasan diri kita bahwasanya untuk memahami ayat2 trsbt sesuai yg dikehendaki Allah adalah diluar kemampuan kita.
4.     As-Sukut; mendiamkan ayat2 trsbt apa adanya, tidak usah bertanya ttg maknanya, serta menyadari bahwasanya jika kita memaksakan diri untuk menggali maknanya (dengan bertanya misalnya) akan mengkhawatirkan keselamatan Iman kita.
5.     Al-Imsak; yaitu menahan diri untuk tidak merubah bentuk dari ayat2 tersebut, menambahinya, menguranginya, memisahkannya, mencampurkannya, mengganti sighot bahasanya, menfasirinya, juga MENTERJEMAHKANNYA kebahasa lain, dll.
6.     Al-Kaf; yaitu menjaga hati dan fikiran dari menghayalkan, membayangkan, menggambarkan, memikirkan semua yang tersebutkan dalam ayat-ayat dan hadits2 mutasyabihat.
7.     At-Taslim Li Ahlih; maksdnya adalah menyerahkan ttg pembahsan ayat2 tersebut kepada orang2 yg memang oleh Allah Ta’ala diberi karunia untuk itu (Ar-Rosikhun Fil ilm/Ulama).

Rabi’ah, yang memuja Tuhan karena cinta

RABI’AH AL-ADAWIYAH





Salah seorang Wali Allah pilihan pada zamannya, yang kedudukan ruhaninya mengungguli hampir semua Wali Allah. Meski beliau adalah perempuan, namun karena ketinggian kedudukan spiritualnya, para Sufi menjulukinya “Mahkota Kaum Pria” (Taj al-Rijal). Fariduddin Aththar memujinya sebagai “Zahid mulia yang tinggal di biar orang-orang Allah, wanita suci dalam selubung ketulusan, terbakar api cinta, tenggelam dalam kerinduan … utusan kesucian Maryam.” Bahkan Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa kedudukan Sayyidatuna Rabi’ah adalah sejajar dengan kedudukan Syekh Qutub al-Alam ABDUL QADIR AL-JAILANI.

Sayyidatuna Rabi’ah al-Adawiyah adalah termasuk kabilah Al-Atik, yang silsilah keturunannya berasal dari Nabi Nuh. Tidak diketahui dengan jelas kapan beliau lahir. Menurut salah satu riwayat, pada malam beliau dilahirkan, tidak ada sehelai kain, lampu atau setetes minyak untuk mengolesi pusarnya. Beliau adalah anak keempat dan karenanya dinamai Rabi’ah. Sang ayah telah lama berjanji untuk tidak meminta bantuan kepada siapapun. Karenanya, meski mereka butuh lampu dan minyak, sang ayah tidak mau meminta kepada tetangganya. Sang ayah merasa sedih, namun saat tertidur beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang berkata kepadanya, “Jangan bersedih. Engkau telah dianugerahi anak perempuan yang akan menjadi Wali Allah besar. Syafaatnya diharapkan oleh tujuh puluh ribu orang dari umatku.” Dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW berpesan agar ayah Rabi’ah berkirim surat kepada Isa Radan, pemimpin di Basrah. Pesannya adalah, “Besok kirimlah surat kepada Isa Radam. Setiap malam ia biasa bershalawat 100 kali dan setiap malam jum’at 400 kali. Namun pada malam Jum’at ini dia lupa bershalawat. Katakan kepadanya bahwa, sebagai tebusannya, dia harus memberimu 400 dinar.”

Setelah Isa Radan menerima surat itu, dia memerintahkan, “Uang sepuluh ribu dinar harus diberikan kepada orang-orang miskin sebagai rasa syukurku karena Nabi telah sudi menyebut namaku.” Dan ayah Rabi’ah pun diberi 400 dinar. Setelah orang tua Rabi’ah meninggal dunia, petaka kelaparan melanda Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar. Rabi’ah sendiri dijual sebagai budak. Selama menjadi budak, beliau senantiasa berpuasa dan shalat tahajud setiap malam tanpa melupakan tugas yang diberikan oleh tuannya. Suatu malam tuannya terbangun mendengar suara rintihan munajat Rabi’ah: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa satu-satunya yang kudambakan adalah mematuhi perintah-Mu … aku tidak akan berhenti menyembah-Mu walau sesaatpun. Namun Engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk. Karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.” Mendengar ucapan ini, sang tuan kemudian membebaskan Rabi’ah. Sejak saat itu Rabi’ah mengabdikan diri sepenuhnya dalam ibadah. Konon beliau shalat 1000 rakaat setiap harinya. Di setiap malam selepas Isya beliau biasa berdoa: “Ya Allah, semua telah sunyi, dan segala yang bergerak telah diam. Semua pecinta telah bersembunyi bersama kekasihnya. Kini aku menyendiri bersama-Mu. Wahai Kekasih, biarkan kesendirianku bersama-Mu malam ini akan menyelamatkanku dari api neraka kelak di akhirat. Ya Allah, bintang-gemintang telah nampak. Semua mata telah lelap. Di balik gerbang istana para pangeran telah tidur. Para pecinta telah bersama kekasihnya, bersuka ria. Namun dihadapan wajah-Mu aku berdiri sendirian.” Kemudian beliau akan meneruskan beribadah sampai tiba waktu subuh.

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai peniup seruling, namun kemudian bertaubat dan hidup dalam keadaan tunawisma di reruntuhan bangunan. Beliau membuat kamar untuk menyendiri dan beribadah. Akhirnya beliau pergi ke Mekah dan beruzlah ke gurun pasir. Tahun wafatnya Rabi’ah juga tidak diketahui dengan pasti. Sebagian menyebutkan beliau wafat pada tahun 135 H, sebagian menyebut tahun 180 H atau 185 H. Di saat-saat terakhir hidupnya, sekelompok Wali Allah berkumpul di sekitar peraduannya. Sayyidatuna Rabi’ah tiba-tiba berucap, “Berdirilah dan berilah jalan kepada para Nabi Allah.” Merekapun berdiri dan meninggalkan ruangan. Kemudian terdengar suara, “Wahai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai oleh-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku” (Q.S. 89: 27-30).

Ajaran dan Karamah
Sayyidatuna Rabi’ah umumnya dianggap sebagai Sufi awal yang memperkenalkan ajaran cinta Tuhan tanpa pamrih. Dalam sebuah riwayat yang terkenal, beliau mengatakan bahwa ibadahnya semata-mata demi cintanya kepada Allah, bukan lantaran takut neraka atau ingin sorga. Dalam salah satu cerita dikisahkan pada suatu hari beliau, mungkin dalam keadaan jadzab, tampak keluar rumah membawa seember air dan sebuah obor. Ketika ditanya untuk apa dua benda itu, beliau menjawab, “Aku akan melemparkan api ke dalam sorga dan mengguyurkan air ke dalam neraka agar jelas siapa yang memuja Tuhan karena cinta, bukan karena takut api neraka atau mengharapkan kenikmatan sorga.” Cinta Sayyidatuna Rabi’ah kepada Tuhan adalah cinta absolut, tak ada lagi ruang tersisa bagi selain-Nya. Karenanya konon beliau tak pernah menikah. Ketika ditanya mengapa beliau tidak menikah, beliau menjawab: “Aku khawatir akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiran itu, maka aku akan menikah. Pertama, di saat sekarat, akankah keimananku cukup untuk menyelamatkanku? Kedua, akankah buku amalku diberikan kepadaku di tangan kanan atau kiriku? Ketiga, saat sekelompok orang digiring ke sorga dan sekelompok lainnya digiring ke neraka, di kelompok manakah aku nanti akan berada?” Dalam riwayat lain dikemukakan satu tambahan, “Ketika aku ditanya oleh Malaikat Munkar dan Nakir, apakah nanti aku bisa menjawabnya?”
Sayyidatuna Rabi’ah juga dianggap sebagai pencetus konsep tentang Tuhan yang pencemburu: “Dia tidak akan memperkenankan apapun berbagi dengan-Nya.” Dalam cinta semacam ini seorang Sufi menyatu atau menjadi milik-Nya sepenuhnya. Dalam sebuah munajatnya, beliau berkata, “Ilahi, bagian apapun dari dunia ini yang Kau anugerahkan kepadaku, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan bagian apapun dari akhiratku berikanlah kepada para sahabat-Mu, sebab Engkau telah cukup bagiku.” Masih menurut beliau, “Orang yang mencintai Allah akan senantiasa menangis [karena rindu] sampai ia beristirahat dalam pelukan Sang Kekasih, yakni Allah SWT.”

Banyak kisah karamah yang dinisbahkan kepada beliau. Salah satu yang dahsyat adalah saat beliau mengarungi gurun pasir, mendadak Ka’bah datang langsung menyambutnya. Beliau juga dipatuhi oleh semua binatang liar dan buas. Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa beberapa sahabat mengunjunginya pada suatu malam. Namun Sayyidatuna Rabi’ah tidak punya lampu. Beliau kemudian meniup jari-jarinya dan seketika itu juga jemarinya menyala terang hingga pagi hari.Ketika orang menanyakan keajaiban ini, beliau menjawab, “Ini sama dengan putihnya telapak tangan Nabi Musa.” Ketika orang keberatan dengan jawaban itu karena Rabi’ah bukan Nabi, beliau menerangkan, “Para pengikut Nabi beroleh sedikit berkah berupa karamah. Anugerah Allah kepada Nabi berupa mukjizat, sedangkan para Awliya Allah diberkahi melalui keutamaan kepatuhan dan ketaatan kepada Nabi dengan kekuatan yang serupa, yang disebut karamah.”