HORMAT BENDERA MERAH PUTIH HORMAT HARGA DIRI BANGSA, BUKAN SYIRIK DAN BID’AH
(Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya)
Ada Fatwa ulama wahabi demikian :
Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada
bendera dan lagu kebangsaan. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus
diingkari dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam ataupun masa
Al-Khulafaaur-Raasyiduun radliyallaahu ’anhum. Ia juga bertentangan
dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan
hanya kepada Allah semata serta merupakan sarana menuju kesyirikan.Di
samping itu, ia merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir,
mentaqlidi tradisi mereka yang jelek, serta menyamai mereka dalam sikap
berlebih-lebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler
resmi. Padahal, Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah melarang kita
berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka.
(Fataawa
Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ hal. 149 melalui kitab
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fatawa ’Ulama
Al-Baladil-Haram oleh Khalid Al-Juraisy)..
Mari kita simak
Penjelasan Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mutabaroh An Nahdliyyah
(JATMAN) Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya -
Pekalongan.
Merah putih, bukan hanya sekadar warna dari
bendera Indonesia. Tetapi memiliki makna yang tinggi bagi kebanggaan dan
kewibawaan bangsa. Maka wajib hukumnya untuk dihormati.
”KALAU TIDAK MAU HORMAT PADA BENDERA MERAH PUTIH, SILAHKAN ENYAH DARI INDONESIA,”
Fanatisme terhadap Indonesia, lanjutnya, mutlak dimiliki oleh segenap
umat Islam Indonesia. Jangan hanya janji yang diucapkan tetapi buktikan,
kalau jiwa dan raga kita rela dikorbankan untuk Indonesia. ”Sangat aneh
kalau hormat bendera merah putih dikatakan musyrik, syirik. Mereka
tidak mengerti makna musyrik dan syirik, artinya perlu memperdalam lagi
belajar agama.
Kita tidak tahu hatinya orang lain, contohnya
memasang bendera merah putih saat akan memasang genting dikatakan
syirik, padahal itu ada sejarahnya, saat penjajahan dimana bendera merah
putih tidak boleh berkibar, ada strategi agar bendera tetap terpasang
salah satunya dengan memasang bendera bersama padi dan kelapa di wuwung,
setelah tiga hari baru ditutup dengan atap.
Harusnya,kita
malu pada para pendahulu kita yang telah menegakan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil dari hadiah. Tetapi melalui
perjuangan yang memakan banyak korban. ”Betapa tak terkira jumlahnya
syuhada bangsa yang telah mengorbakan jiwa raganya demi kemerdekaan
Indonesia.
Dikala kita sudah merdeka, kita tinggal mengisinya
dengan jalan membangun dan membangun bangsa sesuai dengan posisi dan
keahlian masing-masing. Kita harus merenung, bagaimana nasib sebutir
nasi yang kita makan. Tidak serta merta ada, tetapi banyak tangan-tangan
yang terlibat di dalamnya.
Di awali dengan ahli bibit
mengadakan penelitian untuk menghasilkan bibit unggul, petani
mencangkul, ibu-ibu memanggul, juragan menawarkan kepada bakul-bakul,
lalu digiling di rice mill dengan meninggalkan bekatul, barulah beras di
tanak menjadi nasi. ”Sebutir nasi, perlu beribu-ribu tangan keihlasan
untuk dimakan sebagai sarana menyehatkan badan kita.
Kita belum
sadar, kalau laut yang begitu luas mengandung sikap dan sifat yang
bersahaja dan tetap teguh pada pendirian, tak tergoyahkan. Kendati laut
di kirimi air dari berbagai anak sungai tetapi tetap saja terasa asin.
Begitupun dengan ikan, meski hidup di laut yang berair asin, tetapi
tetap saja ikan tidak terasa asin bila di makan, kecuali kalau kita
kasihkan garam. ”Peneguhan pendirian mutlak diperlukan, tidak berarti
kolot dan mementingkan diri sendiri. Tetapi sebagai tekad mempertahankan
prinsip dan ketetapan Allah SWT.
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar