Minggu, 18 Agustus 2013

BERHUKUM KEPADA SELAIN HUKUM ALLAH, KAFIRKAH ? :



Pengantar
Artikel ini sy dedikasikan kpd semua umat Islam yg mencintai kebanaran, khususnya saudara2ku yg -mungkin- terjangkiti virus khawarij, krn khawarij akan terus ada sampai datangnya dajjal sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini :

Dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah berkata:

لاَ يَزَالُوْنَ يَخْرُجُوْنَ حَتَّى يَخْرُجَ آخِرَهُمْ

“dan senantiasa mereka (kaum khawarij) akan muncul, hingga munculnya kelompok mereka yang terakhir.”

Pada hadits ini terdapat lafazh tambahan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (hadits no. 37917); Ahmad (IV/424); Al-Bazzar (IX/294, 305); An-Nasa‘i dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (hadits no. 3566), kemudian dalam kitab beliau Al-Mujtaba (hadits no. 4114); Ar-Ruyani (hadits no. 766), yang lafazhnya adalah:

حَتَّى يَخْرُجَ آخِرُهُمْ مَعَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

"…hingga munculnya kelompok terakhir dari mereka (kaum Khawarij ini) bersama Al-Masih Ad-Dajjal.”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ اْلأَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ، وَصَحْبِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوٍمِ الدِّيْنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

“Akan keluar pada akhir zaman, suatu kaum, umurnya masih muda, rusak akalnya, mereka bertutur dengan manis (=suka membahas masalah agama). Mereka membaca al-Qur’an, namun tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama bagai terlepasnya anak panah dari busurnya. Apabila kalian menemuinya, bunuhlah mereka, karena terdapat ganjaran bagi mereka yang membunuh kaum tersebut.” (HR. Bukhari: 3611, Muslim: 1066)

Hadits ini salah satu di antara dalil yang memberitakan perihal kelompok sesat Khawarij. Jargon yang senantiasa mereka dengung-dengungkan adalah kembali untuk kembali kepada hukum Allah. Seruan yang baik dan patut didakwahkan, namun apa yang mereka dengungkan ternyata berakibat fatal dan hal itu disebabkan beberapa faktor, entah kekeliruan dalam memahami berbagai dalil, mengikuti perasaan dan hawa nafsu semata atau minimnya usaha mereka untuk merujuk kepada perkataan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah.

Jargon utama mereka adalah kalimat:

لاَ حُكْمَ إِلاَّ لله

“Tidak ada hukum yang layak diikuti melainkan hukum Allah semata.”

Secara lahiriah tidak ada yang keliru pada kalimat tersebut. Namun permasalahan terletak pada tindakan Khawarij dalam mempraktekkan kalimat tersebut dengan mengusung dalil firman Allah ta’ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kalimat yang benar, namun dipraktekkan secara salah kaprah. Kalimat yang benar, namun menjadi momok tatkala kalimat tersebut diusung untuk memperkuat praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan oleh mereka. Oleh sebab itu sahabat Ali radhiyallahu ‘anhumengomentari jargon mereka tersebut dengan ucapan beliau:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْدَ بِهَا بَاطِلٌ

“Ucapan yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan.” (HR. Ibnu Hibban: 6939, Syaikh Su’aib Al-Arnauth berkomentar, “Sanad hadits ini shahih menurut kriteria Muslim.”)

Minimnya keinginan untuk merujuk pada pemahaman sahabat dalam memahami dalil merupakan awal kekeliruan mereka sekaligus hal ini menunjukkan urgensi untuk menggunakan pemahaman sahabat dalam mengetahui maksud suatu dalil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengetengahkan beberapa perkataan para ulama di berbagai kurun waktu mengenai tafsir ayat hukum, ayat yang sering dijadikan landasan untuk membenarkan praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan.

Tulisan yang berada di hadapan anda ini merupakan terjemahan dari sebuah artikel yang kami temukan tatkala kami sedang mencari-cari tulisan di sahab.org. Betapa senangnya kami melihat artikel ini karena di dalamnya termuat perkataan-perkataan para ulama pembawa petunjuk mengenai ayat hukum, mereka menjelaskan tafsir ayat tersebut serta batasan-batasan kapan seseorang itu dikatakan kafir dan keluar dari Islam apabila dia berhukum kepada selain hukum Allah.

Kami tergerak untuk menerjemahkannya mengingat kita sangat butuh pelurusan terhadap makna ayat ini, yang hal tersebut tidak dilakukan oleh saudara-saudara kita yang gampang mengafirkan sesama kaum muslimin ketika dia melihat mereka berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga tidak heran dapat kita lihat dengan mudahnya lisan mereka melontarkan kata-kata kafir kepada kaum muslimin. Wallahul musta’an

Kami berharap dengan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca, kami memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan taufik untuk tetap berada di atas agama-Nya.

Penjelasan Habrul Ummah dan Turjumanul Qur’an (Sang Penafsir al-Qur’an), Sahabat yang mulia Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma

‘Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir dari ayat,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44)

Beliau berkata:

مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللهُ، فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ، لَمْ يَحْكُمْ بِهِ فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ

“(Maksudnya) adalah barang siapa yang mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa yang mengakui kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah namun dia tidak berhukum dengannya maka dia adalah seorang zalim fasik.”

Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas tafsir beliau yang lain terhadap ayat ini, beliau (Ibnu Abbas) berkata:

لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ”. وَفِي لَفْظٍ: “كُفْرٌ لاَ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ”. وَفِي لَفْظٍ آخَرَ: “كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُوْنَ فِسْقٍ”. وَلَفْظٍ ثَالِثٍ: “هُوَ بِهِ كُفْرُهُ، وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.

“(Kekafiran yang dimaksud dalam ayat tersebut -pent) bukanlah kekafiran sebagaimana yang mereka pahami (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Dalam suatu lafazh dikatakan: Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Dan dalam lafazh yang lain: Kekufuran yang bukan kekufuran (kufrun duna kufrin), kedzoliman yang bukan kezaliman (zhulmun duna zhulmin) dan kefasikan yang bukan kefasikan (fisqun duna fisqin).”

Dan lafazh ketiga adalah: “Dia telah melakukan suatu bentuk kekufuran namun tidak sama dengan orang yang mengingkari (kufur) terhadap Allah, malaikat-Nya dan para rasul-Nya” (karena kekufuran yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari agama-pent).

Tafsir al-Qurthubi, ketika menjelaskan ayat di atas mengutip pendapat Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan adapun orang yang berhukum dengan dasar tauhid tetapi tidak menghukumi dengan sebagian syari’at tidak termasuk dalam ayat ini.

jadi selama orang berhukum dengan basis tauhid (mempercayai Tuhan dan mempercayai Muhamad sebagai rasul), dan masih belum berhukum dengan sebagain syariat tidak termasukd alam ayat ini; bahkan ayat ini ada yang menganggap khusus untuk orang Yahudi, karena memang rangkaian ayat sebelumnya dan ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani

Para Ulama Yang Menegaskan Akan Benarnya Penafsiran Ibnu Abbas Dan Berdalil Dengan Perkataan Beliau

Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/393) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/64) beliau berkata: Shahih menurut kriteria Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Al Imam Al Qudwah Muhammad bin Nashr Al Mawarzi dalam Ta’zhim Qadrish Shalat (2/520), Al Imam Abu Mizhfar As Sam’ani dalam Tafsirnya (2/42), Al Imam Al Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil (3/61), Al Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an (2/624), Al Imam Al Qurthubi dalam Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (6/190), Al Imam Al Baqa’I dalam Nizhmud Duror (2/460), Al Imam Al Wahidi dalam Al Wasith(2/191), Shiddiq Hasan Khan dalam Nailul Maram (2/472), Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqhithy dalam Adwa’ul Bayan (2/101), Al Allamah Abu Ubaid al Qosim bin Salam dalam Al Iman(hal.45), Al Allamah Abu Hayyan dalam Al Bahr Al Muhith (3/492), Ibnu Baththah dalam Al Ibanah(2/723), Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Allamah Al Khozin dalam Tafsirnya (1/310), As Sa’di dalam Tafsirnya (2/296), Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (7/312), Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah dalam Madarijus Salikin (1/335), dan Al Albani dalam Ash Shahihah (6/109).

Bahkan seorang tokoh wahhabi di abad ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir berkata (hal.68):

لَكِنْ لَمَا كَانَ هَذَا اْلأَثَرُ لاَ يُرْضِي هَؤُلاَءِ الْمَفْتُوْنِيْنَ بِالتَّكْفِيْرِ؛ صَارُوا يَقُولُونَ: هَذَا اْلأَثَرُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ! وَلاَ يَصِحُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ! فَيُقَالُ لَهُمْ: كَيْفَ لاَ يَصِحُّ؛ وَقَدْ تَلَقَّاهُ مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْكُمْ، وَأَفْضَلُ، وَأَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ؟! وَتَقُولُونَ: لاَ نَقْبَلُ فَيَكْفِيْنَا أَنَّ عُلَمَاءَ جَهَابِذَةَ؛ كَشَيْخِ اْلإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيِّةَ، وَابْنِ الْقَيِّمِوَغَيْرِهِمَاكُلُّهُمْ تَلَقُّوْهُ بِالْقَبُوْلِ وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِهِ، وَيَنْقُلُوْنُهُ؛ فَاْلأَثَرُ صَحِيْحٌ.

“Akan tetapi tatkala atsar ini tidak diterima oleh mereka yang terjangkiti penyakit takfir (pengkafiran kaum muslimin secara mutlak dan tidak memakai kaidah-kaidah dalam mengafirkan seseorang -pent), mereka mengatakan: Atsar ini tidak bisa diterima dan tidak berasal dari Ibnu Abbas. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana bisa atsar tersebut tidak shahih, padahal atsar tersebut telah diterima oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih banyak keutamaannya dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian? Namun anehnya kalian tetap mengatakan: Kami tidak akan menerimanya. Maka cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang benar-benar alim seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan lain-lain, semuanya menerima atsar tersebut, berpendapat dengannya dan menukilnya. Alhasil atsar tersebut shahih.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H)

Isma’il bin Sa’d berkata dalam Sualaat Ibn Haani (2/192): Aku bertanya kepada Imam Ahmad (tentang firman Allah Ta’ala -pent):

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Kekufuran apakah yang dimaksud (dalam ayat ini-pent)?, maka beliau menjawab:

كُفْرٌ لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْمِلَّةِ

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.”

Dan tatkala Abu Dawud As Sijistaniy bertanya kepada beliau dalam Sualaat (hal.114) tentang ayat tersebut, maka beliau menjawabnya dengan perkataan Thawus dan Atha’ yang terdahulu.

Ibnu Taimiyah menceritakan dalam Majmu’ Fatawaa (7/254), dan muridnya Ibnul Qayyim dalam (Hukmu Tarikish Shalat, hal 59-60): Bahwa Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang makna kufur yang disebutkan dalam ayat hukum, maka beliau berkata:

كُفْرٌ لاَ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ؛ مِثْلُ اْلإِيْمَانِ بَعْضُهُ دُوْنَ بَعْضٍ، فَكَذَلِكَ الْكُفْرُ، حَتَّى يَجِيءَ مِنَ ذَلِكَ أَمْرٌ لاَ يُخْتَلَفُ فِيْهِ

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana iman itu bertingkat-tingkat. Demikian pula kekufuran, hingga seseorang melakukan suatu hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya (bahwa melakukannya dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent).”

Al Imam Muhammad Ibn Nashr Al Marwazi (wafat tahun 294 H)

Beliau berkata dalam Ta’zhimu Qadrish Shalat (2/520):

وَلَنَا فِي هَذَا قُدْوَةٌ بِمَنَ رَوَى عَنْهُمْ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِيْنَ؛ إِذْ جَعَلُوا لِلْكُفْرِ فُرُوعاً دُوْنَ أَصْلِهِ لاَ تُنْقِلُ صَاحِبَهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، كَمَا ثَبَتُوا لِلْإِيْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْعَمَلِ فَرْعاً لِلْأَصْلِ، لاَ يَنْقُلُ تَرْكُهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، مِنْ ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ .

“Dan kami memiliki panutan dalam perkara ini, yaitu mereka yang meriwayatkan dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para tabi’in. Yaitu mereka menetapkan bahwa kekufuran itu memiliki cabang-cabang, yang tidak mengeluarkan pelakunya (yakni pelaku cabang-cabang kekufuran tersebut -pent) dari Islam sebagaimana mereka menetapkan bahwa suatu amal merupakan cabang iman sehingga yang meninggalkannya tidak keluar dari Islam. Di antaranya adalah penafsiran Ibnu Abbas tentang firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Dan beliau juga berkata (2/532) mengomentari perkataan Atha’:

كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ وَفِسْقٌ دُوْنَ فِسْقٍ”-: وَقَدْ صَدَقَ عَطَاءٌ؛ قَدْ يُسَمَّى الْكَافِرُ ظَالِماً، وَيُسَمَّى الْعَاصِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ظَالِماً، فَظُلْمٌ يَنْقُلُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ وَظُلْمٌ لاَ يَنْقُلُ

“Kekufuran yang bukan kekufuran (kekufuran kecil), kezaliman yang bukan kezaliman (kezaliman kecil) dan kefasikan yang bukan kefasikan (kefasikan kecil)”. Sungguh benar apa yang dikatakan Atha’, karena terkadang seorang yang kafir disebut zalim dan terkadang muslim yang bermaksiat disebut zalim. Jadi ada kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam” 

Cara Menasehati Penguasa

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; ‘Iyadl bin Ghonm mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyadl marah. (‘Iyadl Radliyallahu’anhu) tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada ‘Iyadl: Tidakkah kau mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: " Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?." ‘Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”… (Diriwayatkan Imam Ahmad, hadits no. 14792)

Menurut ta’liq Syu’aib al Arna’uth hadits ini shahih lighairihi selain ucapan مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ dst ("Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa …) lafadz ini adalah hasan lighairihi (karena diperkuat oleh riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522 , Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121). (maktabah syamilah)

Sikap Kepada Penguasa

Hadits dari ‘Ubadah bin Shamit tentang baiat Aqabah I yang berkata:

وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ 

…Dan agar kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali (sabda Rasulullah): “jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah” [Shahih Bukhari hadits no. 6532, Shahih Muslim hadits no. 3427, musnad Imam Ahmad no.21623]

Juga hadist:

وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ 

…Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-arang yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Kami bertanya; Bolehkah kami menentang mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Tidak, selama mereka menegakkan shalat. [ Ad Darimi hadits no. 2677, Shahih Muslim hadits no. 3447]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar