Pengantar
Artikel
ini sy dedikasikan kpd semua umat Islam yg mencintai kebanaran, khususnya
saudara2ku yg -mungkin- terjangkiti virus khawarij, krn khawarij akan terus ada
sampai datangnya dajjal sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini :
Dari
Abu Barzah, bahwa Rasulullah berkata:
لاَ يَزَالُوْنَ يَخْرُجُوْنَ حَتَّى
يَخْرُجَ آخِرَهُمْ
“dan
senantiasa mereka (kaum khawarij) akan muncul, hingga munculnya kelompok mereka
yang terakhir.”
Pada
hadits ini terdapat lafazh tambahan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (hadits no. 37917); Ahmad (IV/424); Al-Bazzar (IX/294, 305); An-Nasa‘i
dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (hadits no. 3566), kemudian dalam kitab beliau
Al-Mujtaba (hadits no. 4114); Ar-Ruyani (hadits no. 766), yang lafazhnya
adalah:
حَتَّى يَخْرُجَ آخِرُهُمْ مَعَ
الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
"…hingga
munculnya kelompok terakhir dari mereka (kaum Khawarij ini) bersama Al-Masih
Ad-Dajjal.”
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ للهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ اْلأَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ، وَصَحْبِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوٍمِ الدِّيْنِ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
سَيَخْرُجُ فِى
آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ
أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ
خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ
الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى
قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Akan
keluar pada akhir zaman, suatu kaum, umurnya masih muda, rusak akalnya, mereka
bertutur dengan manis (=suka membahas masalah agama). Mereka membaca al-Qur’an,
namun tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama bagai
terlepasnya anak panah dari busurnya. Apabila kalian menemuinya, bunuhlah
mereka, karena terdapat ganjaran bagi mereka yang membunuh kaum tersebut.” (HR.
Bukhari: 3611, Muslim: 1066)
Hadits
ini salah satu di antara dalil yang memberitakan perihal kelompok sesat
Khawarij. Jargon yang senantiasa mereka dengung-dengungkan adalah kembali untuk
kembali kepada hukum Allah. Seruan yang baik dan patut didakwahkan, namun apa
yang mereka dengungkan ternyata berakibat fatal dan hal itu disebabkan beberapa
faktor, entah kekeliruan dalam memahami berbagai dalil, mengikuti perasaan dan
hawa nafsu semata atau minimnya usaha mereka untuk merujuk kepada perkataan
para ulama ahlus sunnah wal jama’ah.
Jargon
utama mereka adalah kalimat:
لاَ حُكْمَ
إِلاَّ لله
“Tidak
ada hukum yang layak diikuti melainkan hukum Allah semata.”
Secara
lahiriah tidak ada yang keliru pada kalimat tersebut. Namun permasalahan
terletak pada tindakan Khawarij dalam mempraktekkan kalimat tersebut dengan
mengusung dalil firman Allah ta’ala:
وَمَن لَّمْ
يَحْكُمْ بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kalimat
yang benar, namun dipraktekkan secara salah kaprah. Kalimat yang benar, namun
menjadi momok tatkala kalimat tersebut diusung untuk memperkuat praktek
pengkafiran yang dilakukan secara serampangan oleh mereka. Oleh sebab itu
sahabat Ali radhiyallahu ‘anhumengomentari jargon mereka tersebut dengan ucapan
beliau:
كَلِمَةُ حَقٍّ
أُرِيْدَ بِهَا
بَاطِلٌ
“Ucapan
yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan.” (HR. Ibnu Hibban:
6939, Syaikh Su’aib Al-Arnauth berkomentar, “Sanad hadits ini shahih menurut
kriteria Muslim.”)
Minimnya
keinginan untuk merujuk pada pemahaman sahabat dalam memahami dalil merupakan
awal kekeliruan mereka sekaligus hal ini menunjukkan urgensi untuk menggunakan
pemahaman sahabat dalam mengetahui maksud suatu dalil. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini kami mengetengahkan beberapa perkataan para ulama di berbagai
kurun waktu mengenai tafsir ayat hukum, ayat yang sering dijadikan landasan
untuk membenarkan praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan.
Tulisan
yang berada di hadapan anda ini merupakan terjemahan dari sebuah artikel yang
kami temukan tatkala kami sedang mencari-cari tulisan di sahab.org. Betapa
senangnya kami melihat artikel ini karena di dalamnya termuat
perkataan-perkataan para ulama pembawa petunjuk mengenai ayat hukum, mereka
menjelaskan tafsir ayat tersebut serta batasan-batasan kapan seseorang itu
dikatakan kafir dan keluar dari Islam apabila dia berhukum kepada selain hukum
Allah.
Kami
tergerak untuk menerjemahkannya mengingat kita sangat butuh pelurusan terhadap
makna ayat ini, yang hal tersebut tidak dilakukan oleh saudara-saudara kita
yang gampang mengafirkan sesama kaum muslimin ketika dia melihat mereka
berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga tidak heran dapat kita lihat
dengan mudahnya lisan mereka melontarkan kata-kata kafir kepada kaum muslimin.
Wallahul musta’an
Kami
berharap dengan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca, kami
memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan taufik untuk tetap berada di
atas agama-Nya.
Penjelasan
Habrul Ummah dan Turjumanul Qur’an (Sang Penafsir al-Qur’an), Sahabat yang mulia
Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma
‘Ali
bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir dari ayat,
وَمَن لَّمْ
يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44)
Beliau
berkata:
مَنْ جَحَدَ
مَا أَنْزَلَ اللهُ،
فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ
أَقَرَّ بِهِ،
لَمْ يَحْكُمْ بِهِ
فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ
“(Maksudnya)
adalah barang siapa yang mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan apa yang
diturunkan oleh Allah sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa yang mengakui
kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah namun dia tidak
berhukum dengannya maka dia adalah seorang zalim fasik.”
Thawus
meriwayatkan dari Ibnu Abbas tafsir beliau yang lain terhadap ayat ini, beliau
(Ibnu Abbas) berkata:
“لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ”. وَفِي
لَفْظٍ: “كُفْرٌ لاَ
يَنْقُلُ عَنِ
الْمِلَّةِ”. وَفِي
لَفْظٍ آخَرَ: “كُفْرٌ
دُوْنَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُوْنَ
فِسْقٍ”. وَلَفْظٍ ثَالِثٍ: “هُوَ بِهِ
كُفْرُهُ، وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ
بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.
“(Kekafiran
yang dimaksud dalam ayat tersebut -pent) bukanlah kekafiran sebagaimana yang
mereka pahami (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Dalam suatu lafazh
dikatakan: Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Dan dalam lafazh yang
lain: Kekufuran yang bukan kekufuran (kufrun duna kufrin), kedzoliman yang
bukan kezaliman (zhulmun duna zhulmin) dan kefasikan yang bukan kefasikan
(fisqun duna fisqin).”
Dan
lafazh ketiga adalah: “Dia telah melakukan suatu bentuk kekufuran namun tidak
sama dengan orang yang mengingkari (kufur) terhadap Allah, malaikat-Nya dan
para rasul-Nya” (karena kekufuran yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari
agama-pent).
Tafsir
al-Qurthubi, ketika menjelaskan ayat di atas mengutip pendapat Ibnu Abbas dalam
sebuah riwayat menyebutkan bahwa siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum
yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan adapun orang yang berhukum
dengan dasar tauhid tetapi tidak menghukumi dengan sebagian syari’at tidak
termasuk dalam ayat ini.
jadi selama orang berhukum dengan basis
tauhid (mempercayai Tuhan dan mempercayai Muhamad sebagai rasul), dan masih
belum berhukum dengan sebagain syariat tidak termasukd alam ayat ini; bahkan
ayat ini ada yang menganggap khusus untuk orang Yahudi, karena memang rangkaian
ayat sebelumnya dan ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani
Para
Ulama Yang Menegaskan Akan Benarnya Penafsiran Ibnu Abbas Dan Berdalil Dengan
Perkataan Beliau
Al
Hakim dalam Al Mustadrak (2/393) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya (2/64) beliau berkata: Shahih menurut kriteria Syaikhan
(Bukhari dan Muslim), Al Imam Al Qudwah Muhammad bin Nashr Al Mawarzi dalam
Ta’zhim Qadrish Shalat (2/520), Al Imam Abu Mizhfar As Sam’ani dalam Tafsirnya
(2/42), Al Imam Al Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil (3/61), Al Imam Abu Bakar
Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an (2/624), Al Imam Al Qurthubi dalam Al Jaami’
li Ahkamil Qur’an (6/190), Al Imam Al Baqa’I dalam Nizhmud Duror (2/460), Al
Imam Al Wahidi dalam Al Wasith(2/191), Shiddiq Hasan Khan dalam Nailul Maram
(2/472), Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqhithy dalam Adwa’ul Bayan
(2/101), Al Allamah Abu Ubaid al Qosim bin Salam dalam Al Iman(hal.45), Al
Allamah Abu Hayyan dalam Al Bahr Al Muhith (3/492), Ibnu Baththah dalam Al
Ibanah(2/723), Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Allamah Al
Khozin dalam Tafsirnya (1/310), As Sa’di dalam Tafsirnya (2/296), Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa (7/312), Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah dalam Madarijus Salikin
(1/335), dan Al Albani dalam Ash Shahihah (6/109).
Bahkan
seorang tokoh wahhabi di abad ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam
At Tahdzir min Fitnatit Takfir berkata (hal.68):
لَكِنْ لَمَا
كَانَ هَذَا اْلأَثَرُ لاَ يُرْضِي هَؤُلاَءِ الْمَفْتُوْنِيْنَ بِالتَّكْفِيْرِ؛ صَارُوا يَقُولُونَ: هَذَا
اْلأَثَرُ غَيْرُ
مَقْبُوْلٍ! وَلاَ
يَصِحُّ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ! فَيُقَالُ لَهُمْ: كَيْفَ
لاَ يَصِحُّ؛ وَقَدْ
تَلَقَّاهُ مَنْ
هُوَ أَكْبَرُ مِنْكُمْ، وَأَفْضَلُ، وَأَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ؟! وَتَقُولُونَ: لاَ نَقْبَلُ فَيَكْفِيْنَا أَنَّ
عُلَمَاءَ جَهَابِذَةَ؛ كَشَيْخِ اْلإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيِّةَ، وَابْنِ الْقَيِّمِ – وَغَيْرِهِمَا – كُلُّهُمْ تَلَقُّوْهُ بِالْقَبُوْلِ وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِهِ،
وَيَنْقُلُوْنُهُ؛ فَاْلأَثَرُ صَحِيْحٌ.
“Akan
tetapi tatkala atsar ini tidak diterima oleh mereka yang terjangkiti penyakit
takfir (pengkafiran kaum muslimin secara mutlak dan tidak memakai kaidah-kaidah
dalam mengafirkan seseorang -pent), mereka mengatakan: Atsar ini tidak bisa
diterima dan tidak berasal dari Ibnu Abbas. Maka kita katakan kepada mereka:
Bagaimana bisa atsar tersebut tidak shahih, padahal atsar tersebut telah
diterima oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih banyak
keutamaannya dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian? Namun anehnya
kalian tetap mengatakan: Kami tidak akan menerimanya. Maka cukuplah bagi kita
bahwa para ulama yang benar-benar alim seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
Ibnul Qayyim dan lain-lain, semuanya menerima atsar tersebut, berpendapat
dengannya dan menukilnya. Alhasil atsar tersebut shahih.”
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H)
Isma’il
bin Sa’d berkata dalam Sualaat Ibn Haani (2/192): Aku bertanya kepada Imam
Ahmad (tentang firman Allah Ta’ala -pent):
وَمَن لَّمْ
يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.”
Kekufuran
apakah yang dimaksud (dalam ayat ini-pent)?, maka beliau menjawab:
كُفْرٌ لاَ
يَخْرُجُ مِنَ
الْمِلَّةِ
“Kekufuran
yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.”
Dan
tatkala Abu Dawud As Sijistaniy bertanya kepada beliau dalam Sualaat (hal.114)
tentang ayat tersebut, maka beliau menjawabnya dengan perkataan Thawus dan
Atha’ yang terdahulu.
Ibnu
Taimiyah menceritakan dalam Majmu’ Fatawaa (7/254), dan muridnya Ibnul Qayyim
dalam (Hukmu Tarikish Shalat, hal 59-60): Bahwa Imam Ahmad rahimahullah ditanya
tentang makna kufur yang disebutkan dalam ayat hukum, maka beliau berkata:
كُفْرٌ لاَ
يَنْقُلُ عَنِ
الْمِلَّةِ؛ مِثْلُ
اْلإِيْمَانِ بَعْضُهُ دُوْنَ بَعْضٍ، فَكَذَلِكَ الْكُفْرُ، حَتَّى يَجِيءَ مِنَ ذَلِكَ
أَمْرٌ لاَ يُخْتَلَفُ فِيْهِ
“Kekufuran
yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana iman itu
bertingkat-tingkat. Demikian pula kekufuran, hingga seseorang melakukan suatu
hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya (bahwa melakukannya dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama -pent).”
Al
Imam Muhammad Ibn Nashr Al Marwazi (wafat tahun 294 H)
Beliau
berkata dalam Ta’zhimu Qadrish Shalat (2/520):
وَلَنَا فِي
هَذَا قُدْوَةٌ بِمَنَ
رَوَى عَنْهُمْ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِيْنَ؛ إِذْ
جَعَلُوا لِلْكُفْرِ فُرُوعاً دُوْنَ
أَصْلِهِ لاَ
تُنْقِلُ صَاحِبَهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، كَمَا
ثَبَتُوا لِلْإِيْمَانِ مِنْ جِهَةِ
الْعَمَلِ فَرْعاً لِلْأَصْلِ، لاَ
يَنْقُلُ تَرْكُهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، مِنْ
ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ
عَبَّاسٍ فِي
قَوْلِهِ: وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ .
“Dan
kami memiliki panutan dalam perkara ini, yaitu mereka yang meriwayatkan dari
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para tabi’in.
Yaitu mereka menetapkan bahwa kekufuran itu memiliki cabang-cabang, yang tidak
mengeluarkan pelakunya (yakni pelaku cabang-cabang kekufuran tersebut -pent)
dari Islam sebagaimana mereka menetapkan bahwa suatu amal merupakan cabang iman
sehingga yang meninggalkannya tidak keluar dari Islam. Di antaranya adalah
penafsiran Ibnu Abbas tentang firman Allah:
وَمَن لَّمْ
يَحْكُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.”
Dan
beliau juga berkata (2/532) mengomentari perkataan Atha’:
“كُفْرٌ دُوْنَ
كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ
وَفِسْقٌ دُوْنَ
فِسْقٍ”-: وَقَدْ صَدَقَ
عَطَاءٌ؛ قَدْ
يُسَمَّى الْكَافِرُ ظَالِماً، وَيُسَمَّى الْعَاصِي مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ ظَالِماً، فَظُلْمٌ يَنْقُلُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ وَظُلْمٌ لاَ يَنْقُلُ”
“Kekufuran
yang bukan kekufuran (kekufuran kecil), kezaliman yang bukan kezaliman
(kezaliman kecil) dan kefasikan yang bukan kefasikan (kefasikan kecil)”.
Sungguh benar apa yang dikatakan Atha’, karena terkadang seorang yang kafir
disebut zalim dan terkadang muslim yang bermaksiat disebut zalim. Jadi ada
kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada kezaliman yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari Islam”
Cara
Menasehati Penguasa
حَدَّثَنَا أَبُو
الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ
عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ
جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ
غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ
هِشَامُ بْنُ
حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ
عِيَاضٌ ثُمَّ
مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ
حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ
قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ
أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي
الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ
يَا هِشَامُ بْنَ
حَكِيمٍ قَدْ
سَمِعْنَا مَا
سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا
يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ
قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan
telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya
berkata; ‘Iyadl bin Ghonm mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin
Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyadl marah.
(‘Iyadl Radliyallahu’anhu) tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyam bin
Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada ‘Iyadl: Tidakkah
kau mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: " Orang yang
paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia
di dunia?." ‘Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah
mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun
tidakkah kau mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
"Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka
jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan
menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah
melaksakan kewajibannya”… (Diriwayatkan Imam Ahmad, hadits no. 14792)
Menurut
ta’liq Syu’aib al Arna’uth hadits ini shahih lighairihi selain ucapan مَنْ
أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ dst ("Barangsiapa yang hendak
menasehati penguasa …) lafadz ini adalah hasan lighairihi (karena diperkuat
oleh riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522 , Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus
Shahabah 2/121). (maktabah syamilah)
Sikap
Kepada Penguasa
Hadits
dari ‘Ubadah bin Shamit tentang baiat Aqabah I yang berkata:
وَأَنْ لَا
نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا
أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
…Dan
agar kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali (sabda Rasulullah): “jika
kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan berdasarkan
keterangan dari Allah” [Shahih Bukhari hadits no. 6532, Shahih Muslim hadits
no. 3427, musnad Imam Ahmad no.21623]
Juga
hadist:
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ
ذَلِكَ قَالَ لَا
مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
…Seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah orang-arang yang kalian benci dan merekapun membenci
kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Kami
bertanya; Bolehkah kami menentang mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda,
‘Tidak, selama mereka menegakkan shalat. [ Ad Darimi hadits no. 2677, Shahih
Muslim hadits no. 3447]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar