Senin, 28 Maret 2016

Mari Bermadzhab, Agar Pemahaman Islam Tidak Tersesat

Pada sa’at ini semakin banyak orang yang merasa mereka lebih hebat dibandingkan ulama ulama dahulu. Mereka mencoba menebarkan slogan untuk tidak bermadzhab, tetapimengambil hukum dari al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Slogan (semboyan = perkataan) berhukum al-Qur’an dan hadits benar tetapi memiliki tujuan yang salah, dan akan menghasilkan kesalahan yang besar. Adapun diantara dalil-dalil yang diucapkan oleh mereka yang anti madzhab ialah:


1 – Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab, bahkan memerintahkan kita mengikuti sunnahnya.

2 – al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi dalil dan hukum sehingga tidak di perlukan lagi Madzhab-madzhab.

3 – Madzhab-madzhab itu bid`ah karena tidak ada pada zaman Rasul.

4 – Seluruh ulama Madzhab seperti Imam Syafi`i melarang orang-orang mengikuti mereka dalam hukum.

5 – Bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti telah menolak sunnah Nabi Muhammad SAW.

6 – Pada Zaman sekarang sudah semestinya kita berijtihad, karena dihadapan kita telah banyak kitab-kitab hadits, Fiqih, ulumul Hadits dan lain-lain, kesemuanya itu mudah didapati.

7 – Para Ulama Madzhab adalah manusia biasa, bukan seorang nabi yang ma’shum dari kesalahan, semestinya kita berpegang kepada yang tidak ma’shum yaitu hadits-hadits Rasulullah.

8 – Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, tidak boleh menyalahinya dengan mengikuti pendapat ulama madzhab.

Ini sebahagian hujjah-hujjah mereka, kita akan jawab satu persatu insyaAllah.

Masalah pertama

1 Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab. Dari maknanya, tidak ada perintah untuk bermazhhab secara khusus, akan tetapi, bermazhab diperintahkan secara umum.

Perintah umum tersebut terdapat didalam al-Qur`an dan Hadits Rasul , demikian juga disana tidak terdapat larangan untuk bermazhab dari Rasulullah. Dengan demikian tidak boleh kita buang dalil umum yang menyuruh untuk bermadzhab. Bahkan sebagian dalil dan hujjah-hujjah menjurus kepada kekhususan mengikuti ulama-ulama yang telah sampai derajat Ijtihad.

Berikut ini saya aka uraikan beberapa dalil tentang bermadzhab:

1 – Allah Berfirman :

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya : Hendaklah bertanya kepada orang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.

Penjelasan ayat : ayat ini memerintahkan orang-orang awam yang tidak mengetahui sesuatu, atau belum mencapai derajat mujtahid untuk bertanya kepada orang alim atau orang yang telah sampai derajat Mujtahid. Hal ini bermakna orang yang tidak sampai derajat mujtahid diharuskan mengikuti mazhab-madzhab yang di i’tiraf (diakui) oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.

Siapa yang merasa tidak memiliki ilmu maka dia wajib bertaqlid kepada ulama, sebab Allah tidak mengatakan , jikalau kau tidak mengetahui maka hendaklah lihat didalam al-Qur`an dan Hadits. Karena al-Qur`an dan al-Hadits memiliki pemahaman yang hanya ulama yang mujtahid saja yang memahaminya. Karena itulah Allah memerintahkan untuk bertanya kepada Ulama mujtahid akan arti dan pemahaman dari al-Qur`an dan al-Hadits.

2 – Rasulullah SAW bersabda :

عن عبد الله بن عمرو بن العاصي قال ” سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالم اتخذ الناس رؤسا جهالا، فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. ( رواه البخاري و مسلم والترمذي وابن ماجه ولا أحمد والدارمي ).

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hati hamba-hambanya ( ulama ) akan tetapi mengambil ilmu dengan mencabut nyawa ulama, sehingga apabila tidak terdapat ulama, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh ( menjadi pegangan mereka ), mereka bertanya hukum kepadanya, kemudian orang-orang bodoh itu berfatwa menjawab pertanyakkan mereka, jadilah mereka sesat dan menyesatkan pula. ( H.R Bukhari, Muslim , Tirmidzi , Ibnu Majah. Ahmad, ad-Darimi).

Penjelasan hadits : Hadits ini menunjukkkan kepada kita semakin sedikitnya ulama pada masa sekarang. Siapa yang mengatakan semangkin banyak maka dia telah menyalahi hadits Nabi yang shahih dan kenyataan yang ada. Sebab Allah mencabut nyawa ulama, dan tidak ada pengganti yang dapat menandingi keilmuannnya. Siapa yang dapat menandingi keilmuan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad pada zaman sekarang?Tidak ada yang mampu. Mereka telah wafat dan meninggalkan warisan yang sangat besar , yaitu ilmu dan madzhab-mazhab mereka.

Jadi orang -orang awam yang mengambil warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang empat. Dengan begitu, jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang. Tetapi orang bodoh yang tidak mau bermadzhab akan menanyakan permasalahannya kepada orang yang berlagak alim dan mujtahid tetapi bodoh, tolol dan sok tahu, maka dia berfatwa menurut hawa nafsunya dan perutnya dalam memahami hadits dan lainnya. Orang ini sangat membahayakan dan menyesatkan umat Islam.Mereka tidak menyadari kesesatan mereka dan berusaha untuk menyebarkan pemahaman mereka, inilah ciri-ciri kebodohannya.

Dari hadits ini kita perlu bertanya, mengapa Rasul mengatakan,”mereka bertanya kepada orang-orang bodoh”. Penyebab mereka mengambil ilmu kepada orang yang bodoh ialah karena orang alim sudah tiada lagi. Padahal kitab-kitab hadits semangkin banyak dicetak, kitab-kitab ilmu semangkin menyebar di kalangan masyarakat. Penulis melihat ada beberapa sebab :

1 – Pentingnya ulama madzhab dalam menuntun pemahaman yang ada dari al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga apabila ulama meninggal dunia, tiada lagi orang yang mampu mengajarkan pemahaman yang sebenarnya dari al-Qur`an dan al-Hadits.

2 –Orang-orang yang sesat menolak untuk mengikuti madzhab-madzhab yang telah tertulis dan dibukukan, sehingga mereka lebih memilih orang yang berlagak lebih tahu dalam memahami al-Qur`an dan al-Hadits dibandingkan ulama-ulama terdahulu.

3 – Orang yang paling bodoh ialah yang tidak mengetahui bahwa dia bodoh, sehingga dia berfatwa walaupun dalam keadaan bodoh, tidak ingin melihat kembali apa kata ulama-ulama madzhab di dalam kitab mereka.

4 – Salah satu tanda hari kiamat adalah madzhab bodoh lebih berkembang dan menyesatkan orang yang bermadzhabkan empat madzhab.

5 – Dari hadits diatas juga kita fahami bahwa pada zamansekarang sangat sulit kita dapati ulama yang kedudukannya sampai kepada ulama mujtahid. Apabila kita menyalahi hal ini, kemungkinan kita telah mengingkari hadits Rasul yang menceritakan tentang ilmu akan dicabut dari permukaan bumi ini dengan wafatnya ulama. Pada abad pertama hijriyah, puluhan , bahkan ratusan orang sampai kepada derajat al-Hafizh dan mujtahid, demikian juga pada abad kedua, ketiga, dan keempat. Tetapi setelah itu, ulama-ulama semakin berkurang, apalagi pada zaman kita sekarang. Jadi apa yang dikatakan Rasul telah terjadi pada masa kini.

Kita dapat melihat, betapa banyak orang yang mengaku alim dan berfatwa, padahal dia tidak memiliki standar dalam berfatwa. Orang-orang ini bermuka tebal, seperti tembok China.

3 – Rasulullah bersabda :

لا تسبوا قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما

Artinya : Janganlah kamu menghina orang-orang Quraisy, karena seorang ulama dari kalangan bangsa Quraisy, ilmunya akan memenuhi penjuru bumi ini .

( H,R Baihaqi didalam al-Manaqib Syafi`i, Abu Naim didalam al-Hilyah, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi ).

Para ulama menta’wilkan maksud hadits tersebut kepada Imam Syafi`i al-Quraisyi yang telah menebarkan ilmu dan madzhabnya dibumi ini. Diantara ulama yang mengungkapkan hal itu ialah Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Nuaim al-Ashbahani, Imam Baihaqi.

Dan maksud ilmu pada hadits tersebut adalah madzhab dan pemahamannya terhadap al-Quran dan sunnah, sebab pemahaman terhadap al-Qur`an dan sunnah itulah yang disebut ilmu. Ilmu itu adalah madzhab jika ilmu tersebut diikuti orang lain. Dengan demikian, madzhab adalah salah satu pemahaman al-Qur`an dan hadits yang diikuti oleh orang lain.


Masalah kedua

2 – Pendapat Saudara yang mengatakan bahwa Al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi sumber hukum adalah ungkapan seorang Mujtahid, yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Jika Saudara berkata demikian juga, berarti Saudara sudah menjadi mujtahid, dan sudah memiliki syarat-syarat ijtihad. Akan tetapi jika Akan tetapi jika tidak, maka saya sarankanagar Saudara mundur kebelakang, atau membeli cermin ( kaca ) agar dapat bercermin siapa diri anda, dan sampai mana keilmuan anda. Apabila cermin juga tidak mampu menunjukkan hakikat diri anda sendiri dalam keilmuan, maka hendaklah bercermin dengan ulama-ulama ahlus sunnah wal jama`ah, karena cermin yang ada dirumah harganya murah atau sudah pecah. jika tidak tergambar juga hakikat diri anda dihadapan orang lain, maka syaithan telah memperdayakan anda. Ingatlah, menjadi mujtahid itu amat berat, dan memiliki syarat-syarat yang sulit.

Rasul bersabda :

رحم الله امرءا عرف قدره

Artinya : Allah menyayangi seseorang yang mengetahui batas kemampuannya.

Kalau anda sadar akan batas keilmuan dan kemampuan anda, tentu anda akan mengikuti madzhab yang empat. Tetapi sayang, anda tidak melihat kelemahan dan kebodohan anda sendiri.

Perlu anda ketahui jika anda belum sampai kepada tahap Mujtahid, jika ingin mengambil langsung dari al-Qur`an dan Sunnah, apakah anda telah mengahapal al-Qur`an keseluruhannya? Atau paling sedikit ayat-ayat Ahkam, dan telah mengetahui maksud ayat-ayat tersebut, sebab-sebab turunnya ayat, apakah ayat tersebut tergolong Nasikh atau Mansukh, apakah ayat tersebut Muqayyad atau Muthalaq, atau ayat itu Mujmal atau Mubayyan, atau ayat tersebut `Am atau Khusus, kedudukan setiap kalimat didalam ayat dari segi Nahwu dan `Irabnya, Balaghahnya, bayannya, dari segi penggunanaan kalimat Arab secara `Uruf dan hakikatnya, atau majaznya, kemudian adakah terdapat didalam hadits yang mengkhususkan ayat tersebut, ini masih sebagian yang perlu anda ketahui dari al-Qur`an.

Sementara dalam Hadits, anda mesti menghapal seluruh hadits-hadits Ahkam, kemudian mengetahui sebab-sebab terjadinya hadits tersebut, mana yang mansukh dan mana yang Nasikh, mana yang Muqayyad dan mana yang Muthlaq, mana yang mujmal dan mubayyan, mana yang `Am dan Khas, dan mesti mengetahui bahasa arab dengan sedalam-dalamnya, agar tidak menyalahi Qaidah-Qaidah dalam bahasa. Hal ini meliputi Nahwu, Balaghah, bayan, ilmu usul Lughah.

Anda juga mesti mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu, sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma` ulama, dan mengetahui shahih atau tidaknya hadits yang akan digunakan. Hal ini meliputi pengetahuan tentang sanad, Jarah dan Ta`dil, Tarikh islami dan ilmu musthalah hadits secara umum dan mendalam, sebab tidak semua hadits shahih dapat dijadikan hujjah secara langsung, karena mungkin saja telah dimansukhkan, atau hadits tersebut umum dan adalagi hadits yang khusus, maka mesti mendahulukan yang khusus. Hal ini akan saya jelaskan insya Allah dalam pembahasan yang khusus.

Pertanyaannya adalah, sudahkan anda memiliki syarat yang telah kami sebutkankan, kalau sudah silahkan anda berijtihad sendiri, kalau belum jangan mempermalukan diri sendiri. Kebodohan yang paling bodoh adalah tidak mengakui diri bodoh, sehingga tidak mau belajar dari kebodohannya.


Masalah ketiga

3 – Pendapat anda yang mengatakan bermadzhab itu suatu yang bid’ah karena tidak terdapat pada zaman Rasul. Penulis mengira anda belum memahami kata-kata Bid`ah dengan sebenarnya. Tetapi, masalah ini insyaAllah akan kami akan buatkan sebuah pembhasan khusus.

Madzhab memang tidak ada pada zaman Nabi, karena para sahabat berada bersama nabi. Apabila ada permasalahan, maka mereka akan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, mulailah muncul madzhab-madzah di kalangan sahabat. Dan yang terkenal di antaraanya adalah madzhab Abu Bakar, madzhab Umar, Utsman, Ali, Abdullah Bin Umar, Sayyidah `Aiysah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Mas`ud, dll.

Demikian juga pada masa Tabi`in. Madzhab-madzhab telah bermunculan ketika itu, seperti madzhab Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Salim Bin Abdallah, Urwah Bin Zubair, dll.Imam Abu Hanifah juga tergolong Tabi`in yang memiliki Madzhab yang diikuti, begitu pula Imam Malik. maka jelaslah bahwa mengikuti madzhab yang ada dan diakui oleh ulama bukan hal yang bid`ah, jikalau hal tersebut bid`ah, niscaya para sahabat termasuk ahli bid`ah.


Masalah keempat

4 – Larangan ulama Madzhab kepada murid-muridnya agar jangan mengikuti mereka adalah hal yang tidak benar, sebab seluruh perkataan ulama Madzhab telah dirubah pemahamannya oleh orang tertentu. mari kita lihat sebagian kata-kata Imam Syafi`i` dan kisah Imam Malik.

A – Kisah Imam Malik berserta Khalifah Abu Ja`far al-Manshuri.

Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Waqidi, beliau berkata : Aku mendengar Malik Bin Anas berkata : ” ketika Abu Ja`far al-Manshur melaksanakan hajji, beliau memanggilku, maka aku bertemu dan bercerita dengannya, beliau bertanya kepadaku dan aku menjawabnya, kemudian Abu Ja`far berkata : ” Aku bermaksud untuk menulis kembali kitab yang telah kamu karang yaitu Muwaththa`, kemudian aku akan kirim keseluruh penjuru negeri islam, dan aku suruh mereka mengamalkan apa yang terkandung didalamnya, dan tidak mengamalkan yang lainnya. Dan meninggalkan semua ilmu-ilmu yang baru selain ” Muwaththa`, karena Aku melihat sumber ilmu adalah riwayat ahli Madinah dan ilmu mereka. Dan aku pun berkata:“Wahai Amirul Mukminin, Janganlah kamu buat seperti itu, karena orang-orang sudah memiliki pendapat sendiri, dan telah mendengarkan hadits Rasul, dan mereka telah meriwayatkan hadits-hadits yang ada, dan setiap kaum telah mengambil dan mengamalkan apa telah diamalkan pendahulunya, dari perbedaan pendapat para shahabat dan selain mereka, jika menolak apa yang mereka percayakan itu sangat berbahaya, biarlah mereka mengamalkan apa yang telah mereka amalkan dan mereka pilih untuk mereka”, berkata Abu J`afar: “Kalaulah engkau suruh aku untuk membuat seperti itu niscaya aku akan laksanakan.”

Dalam riwayat yang lain Imam Malik berkata : Wahai Amirul Mukminin Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW telah berpencar diberbagai negeri, orang-orang telah mengikuti madzhab mereka, maka setiap golongan berpendapat mengikuti madzhab orang yang diikuti.( al-Intiqa : 41 , Imam Darul Hijrah Malik Bin Anas : 78 ).

Lihat bagaimana Imam Malik menjawab permintaan Khalifah Abu Ja`far. Beliau tidak melarang orang-orang untuk bertaqlid pada Madzhab yang mereka akui. Sebab pada masa itu madzhab fiqih sangat berkembang sekali. Seperti di Iraq madzhab Imam Abu Hanifah, Di Syam berkembang Madzhab Imam Auza`i, di Mesir berkembang madzhab Imam Laits Ibnu Sa`ad, dan masih banyak lagi madzhab-madzhab yang berkembang saat itu. Bahkan beliau menyarankan kepada Khalifah agar mereka dibenarkan untuk mengikuti madzhabnya masing-masing.

B – Perkataan Imam Syafi`i :

المزني ناصر مذهبي

Artinya : Al-Muzani itu adalah penolong ( dalam menyebarkan ) madzhabku

( Lihat Siyar `Alam an-nubala` li adz-Dzahabi : 12/493, Thabqatu Syafi`iyah al-Kubra Li as-Subki : 1/323, terbitan Dar kutub ilmiyah ).

Dari perkataan Imam Syafi`i diatas sangat jelas sekali bahwa beliau tidak melarang seorangpun untuk mengikuti madzhabnya, bahkan beliau mengatakan kepada murid-muridnya bahwa al-Muzani adalah seorang penolong dan penyebar madzhab Syafi`i. Apabila beliau melarang untuk mengikuti madzhabnya tentu beliau tidak mengatakan perkataan tersebut.

Diriwayatkan Imam al-Khatib didalam karangannya ” al-Faqih wa al-Mutafaqih ( 2 / 15 -19 ) ” cerita yang sangat panjang sekali tentang Imam al-Muzani seorang pewaris ilmu Imam Syafi`i, didalam akhirnya beliau mengungkapkan perkataan al-Muzani : ” Lihatlah apa yang kau tulis dari apa yanh ku ajarkan, tuntutlah ilmu dari seorang yang Faqih, maka kamu akan menjadi Faqih “.

Dari perkataan Imam al-Muzani yang memerintahkan muridnya untuk melihat apa yang beliau sampaikan, beliau tidak memerintahkan mereka untuk melihat kepada Hadits, karena hadits tidak boleh difahami dengan sebenarnya hukum yang terdapat didalamnya kecuali oleh seorang yang Faqih. Dan memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu kepada seorang yang Faqih bukan hanya untuk mengetahui hadits semata, sebab puncak ilmu hadits adalah Fiqih. Apabila bermadzhab itu dilarang, tentu Imam al-Muzani akan melarang muridnya untuk mengikuti apa yang beliau ajarkan, melainkan memerintahkan mereka mengambil hukum secara langsung dari al-Qur`an.

Masalah kelima

5 – Pendapat yang mengatakan bahwa bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti menolak Sunnah Rasulullah adalah pendapat yang tidak benar dan tidak berasas. Sebab seluruh ulama Mujtahid sangat berpegang teguh dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW, mereka telah menjadikan al-Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur`an, dan kedudukan al-Hadits sangat tinggi dalam pandangan mereka.

Sebagian orang salah memahami perkataan Imam-imam Mujtahid seperti Imam Syafi`i dalam perkataanbeliau :

إذا وجدتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم على خلاف قولي فخذوا به ودعوا ما قلت

Artinya : Apabila kamu dapati perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah SAW maka tinggalkanlah perkataanku dan ambillah Hadits Rasul..

Perlu kita ketahui pemahaman yang mengatakan bahwa Imam Syafi`i melarang mengikuti pendapatnya adalah pemahaman yang salah, karena ungkapan Imam Syafi`i tersebut memiliki pemahaman sebagai berikut .

A – Kamu boleh mengikuti pendapatku selama pendapatku tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah.

B – Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya kedudukkan Hadits Nabi SAW dalam pandangan Imam Syafi`i.

C – Karena begitu besarnya kedudukan Hadits di hadapan Imam Syafi`i sehingga beliau menjadikan al-Hadits adalah sumber kedua didalam madzhabnya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan mungkin mendahulukan pendapatnya dari pada Hadits Rasul, kecuali apabila hadits tersebut tidak dianggap shahih dan memiliki beberapa sebab sehingga tidak boleh mengamalkannya, sebab tidak seluruh Hadits shahih boleh diamalkan.

D – Imam Syafi` hanya berpegang dengan hadits yang shahih menurut pandangannya,bukan hadits mansukh, atau hadits yang memiliki permasalahan dan `illat, karena beliau adalah seorang ahli hadits yang masyhur.


Masalah keenam

6 – Adapun ungkapan saudara yang mengatakan pada zaman sekarang ini sebenarnya semakin mudah untuk menjadi mujtahid karena banyaknya buku yang dicetak, berbeda dengan zaman dahulu, adalah ini tidak benar, bahkan menyalahi kenyataan yang ada. Coba kita lihat penyebab mengapa pada zaman ini sukar untuk menjumpai seorang mujtahid.

A – Tidak keseluruhan kitab telah dicetak dan disajikan kepada kita. Terbukti masih banyak lagi kitab ulama-ulama muslim yang tersebar dalam bentuk Makhthuthath ( Munuskrip ) di negeri Erofah, Mesir, Turki, Saudi Arabiyah, Pakistan, Hindia dan lain-lain.

B – Banyaknya kitab-kitab hadits yang hilang dan tidak ditemui pada saat sekarang ini disebabkan berbagai kejadian, seperti pembakaran kitab-kitab pada masa Monggolia menyerang Baghdad dan membakar seluruh kitab-kitab Islam, penghancuran Negeri Islam di Andalusia, dan lain-lain. Maka bisa saja hal ini boleh kita ketahui jika kita mentakhrij hadits, dan ingin melihat dari sumber aslinya, tetapi tidak diketemukan.

C – Pada zaman sekarang orang belajar ilmu menurut bidangnya masing-masing. Pelajar yang di Kuliah Syari`ah tidak mempelajari ilmu musthalah hadits secara mendalam, pelajar yang Kuliah Usuluddin tidak mempelajari Usul Fiqih dan Fiqih secara mendalam, pelajar Lughah bahkan sangat sedikit sekali mempelajari bidang ilmu fiqih dan hadits, dari cara belajar seperti ini bagaimana akan menjadi mujtahid?

D – Tidak adanya (langka) pada zaman sekarang orang dapat digelar al-Hafizh. Ini membuktikan betapa buruknya prestasi kita dalam bidang hadits dibandingkan dengan zaman-zaman sebelum kita. Bagaimana mau menjadi mujtahid hadits pun tidak hapal? Kalaulah dalam ilmu hadits saja kita belum mampu menjadi al-Hafizh bagaimana pula ingin menjadi al-Mujtahid?

e – Tetapi yang sangat lucunya yang ingin jadi mujtahid itu sekarang terdiri dari pelajar-pelajar kedoktoran,insinyur, mekanik, yang bukan belajar khusus tentang agama. Kalau pelajar agama saja tidak sampai kepada mujtahid bagaimana lagi dengan pelajar yang bukan khusus mempelajari agama? Kalau pun jadi mujtahid pasti mujtahid gadungan ( penipuan ).

Cobalah renungkan cerita Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya al-Muswaddah : 516, dan diungkapkan oleh muridnya Ibnu Qayyim. Dari Imam Ahmad, ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Ahmad: “Apabila seseorang telah menghapal hadits sebanyak seratus ribu hadits, apakah dia sudah dikira (dianggap) Faqih?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak dikira (dianggap) Faqih,” berkata lelaki tersebut : ” jika dia hapal dua ratus ribu hadits ? “, Imam Ahmad menjawab : ” tidak disebut Faqih “, berkata lelaki tersebut : ” jika dia telah menghapal tiga ribu hadits ?”, Imam Ahmad menjawab : ” tidak juga dikira Faqih”, berkata lelaki tersebut : ” Jika dia telah menghapal empat ratus ribu hadits?” Imam Ahmad menjawab secara isyarat dengan tangannya dan mengerakkannya, maksudnya, mungkin juga disebut Faqih berfatwa kepada orang dengan ijtihadnya.

Cobalah renungkan dimana kedudukan kita dari Faqih dan al-Mujtahid, agar tahu kelemahan kita dan kebodohan kita.

E – Memang ada kitab-kitab yang dapat membantu kita agar dapat berijtihad. Tetapi yang jadi permasalahannya, apakah kita mampu benar-benar memahami apa yang kita baca? Apakah yang kita fahami sesuai dengan pemahaman ulama-ulama pada masa salafussalihin? Sebab membaca hadits dengan sendirian tanpa bimbingan seorang guru akan membawa kepada kesesatan, sebagaimana pesan ulama-ulama agar mengambil ilmu dari mulutnya ulama yang ahli.

خذوا العلم من أفواه العلماء

Artinya : Ambillah ilmu itu dari mulutnya para ulama.

Berkata Imam Ibnu Wahab seorang murid Imam Malik yang alim dalam ilmu Hadits:

الحديث مضلة إلا للعلماء

Artinya : al-Hadits dapat menyesatkan seseorang ( yang membacanya ) kecuali bagi para ulama

Berkata Imam Sufyan Bin Uyainah ( seorang ulama besar yang ahli dalam fiqih dan hadits guru Imam Syafi`i ) :

الحديث مَضِلّة إلا للفقهاء

Artinya : al-Hadits itu dapat menyesatkan seseorang kecuali bagi ulama yang faqih. ( al-Jami` li Ibni Abi Zaid al-Qairuwani : 118 )


Masalah ketujuh

7 – Apa yang saudara ungkapkan bahwa ulama mujtahid adalah manusia biasa yang mungkin saja salah dalam perbutan atau pemahaman adalah benar, tetapi sangat salah sekali jika saudara menyangka bahwa mereka yang berijtihad tidak boleh diikuti karena mereka manusia biasa. Yang sangat jelasnya, mereka bukan nabi, dan juga bukan bertarap seperti anda,tidak ada seorang ulama yang hidup sekarang ini yang mampu menandingi ilmunya Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad.

Berkata Imam adz-Dzahabi mengungkapkan didalam kitabnya at-Tadzkirah : 627-628 ,diakhir ceritanya dari generasi muhaddits yang kesembilan diantara tahun 258 H – 282 H, beliau berkata : “Wahai syeikh lemah lembutlah pada dirimu, senantiasalah bersikap adil, janganlah memandang mereka dengan penghinaan, jangan kamu menyangka muhaddits pada masa mereka itu sama dengan muhaddits pada masa kita ( maksudnya dari masa 673 H – 748 H ), sama sekali tidak sama. Tidak ada seorang pun pembesar Muhaddits pada masa kita yang sampai kedudukkannya seperti mereka didalam keilmuan.”

Dari ungkapan Imam adz-Dzahabi diatas memberikan pengertian bahwa ilmu kita memang tidak setarap dengan para ulama-ulama mujtahid pada zaman dahulu. Jadi jikalau mereka berijihad ternyata salah di dalam ijtihadnya, maka mereka akan mendapat satu pahala dan tidak mendapat dosa. Bagaimana dengan anda yang tidak sampai kepada derajat ijtihad kemudian berijtihad menurut kemampuan anda? Maka kesalahan anda akan lebih banyak dibandingkan dengan ulama-ulama mujtahid yang terdahulu.

Dengan begitu seseorang yang memang sudah sampai kepada derajat mujtahid, apabila benar ijtihadnya maka akan mendapatkan dua pahala. Jika salah dalam berijtihad maka mendapat satu pahala saja. Tetapi jika anda yang belum sampai kepada tahap mujtahid berijtihad dan tersalah dalam ijtihadnya, maka anda akan mendapatkan dosa, karena berijtihad dengan kebodohan.


Masalah kedelapan

8 – Adapun ungkapan anda tentang hadits yang Shahih wajib diamalkan secara langsung adalah salah satu kesalahan. Sebab tidak semua hadits yang shahih dapat diamalkan secara lansung, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki `illat yang sangat samar sekali. Kemungkinan hadits shahih tersebut dimansukhkan, atau haditsnya muthlaq kemudian dimuqayyadkan dan lain-lain. Penulis ( insyaallah ) akan membahas permasalahan ini secara khusus .

Pada zaman sekarang ini telah banyak kita lihat golongan yang anti dan berusaha untuk menyerang dan membasmi madzhab-mahzhab yang masyhur. Dengan alasan (jargon) kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan sunnah bukan berpegang teguh dengan madzhab. Tidak pernah kita dapati di dalam al-Qur`an atau di dalam hadits Rasulullah untuk menyuruh kita bermadzhab. Bahkan para pendiri madzhab sendiri pun melarang mengikuti jejak mereka, demikian kata mereka.

Hal ini sangat aneh sekali, mereka mati-matian mengajak orang agar meninggalkan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Ahmad, tetapi mereka juga sengaja menarik orang untuk mengikuti pemikiran dan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Apakah mereka tidak tahu bahawa mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah juga disebut mengikuti madzhab? Atau mungkin mereka terlupa, juga mungkin karena ta’asub yang berlebih-lebihan terhadap Ibnu Taimiyah? Atau juga mungkin hasad dan dengki dengan pendiri para Madzhab? Kalau tidak sebab-sebab itu niscaya mereka tidak akan keberatan terhadap seseorang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, atau Syafi`i.

Kenyataan ini telah kita lihat sendiri, jikalau kita kata Ibnu Taimiyah saja yang berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah, maka maknanya madzhab-madzhab yang lain tidak benar. Sebab menurut pandangan mereka ( orang yang tidak bermazhab atau golongan Wahabi ) bahwa Taimiayah yang benar. Disini mereka terlupa bahwa Ibnu Taimiyah seorang manusia bukan seorang nabi yang tidak berdosa. Wajarkah kita larang seseorang bermadzhab, sementara kita sendiri mengikuti madzhab seseorang? Jikalau kita sebutkan seperti ini maka mereka tidak akan mengaku dengan sebenarnya. Bahkan mencoba untuk memutar balikkan Fakta, dengan ucapan kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah.

Tetapi yang menjadi pertanyaan dibenak hati saya adalah apakah pendiri-pendiri Mazhab tidak mengikuti al-Qur`an dan al-Sunnah? Tentu mereka menjawab ” Sudah tentu para pendiri madzhab mengikut al-Qur`an dan as-Sunnah tetapi mereka manusia yang mungkin memiliki kesalahan”. Jadi menurut mereka ( para anti mazhab ) karena adanya kesalahan pada ulama mujtahid maka mereka sendiri mengambil al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Ini akan membuktikan mereka tidak akan tersalah dalam menentukkan hukum dalam berijtihad? Jikalau sekiranya mereka sadar diri dengan kemampuan meraka niscaya mereka akan berpegang teguh dengan mana-mana mazhab yang empat.

Pada kesempatan ini saya hanya mencoba untuk memaparkan beberapa dalil yang menjadi pegangan masyarakat awam dalam mengikuti madzhab yang empat, beserta makna dan tujuan ” Madzhab ” dan bila timbulnya madzhab. Dalam kesempatan lain insyaallah saya akan ketengahkan segala dalil-dali yang membatalkan anggapan-anggapan bahwa mengikuti mazhab adalah bid`ah.

Pengertian Madzhab
Kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumberkan dari kalimat Dzahaba, kemudian diobah kepada isim maf`ul yang berarti, Sesuatu yang dipegang dan diikuti.Dalam makna lain mana-mana pendapat yang dipegang dan diikuti disebut madzhab. Dengan begitu madzhab adalah suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan `Aqidah, Tashawuf, Nahu, Shorof, dan lain-lain. Di dalam Fiqih kita dapati berbagai macam madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi`i. Di dalam ‘Aqidah kita dapati madzhab `Asya`irah, Maturidiyah, Muktazilah, Syi`ah. Di dalam Tashawuf kita dapati madzhab Hasan al-Bashri, Rabi`atu adawiyah, Ghazaliyah,Naqsabandiyah, Tijaniyah, dll. Di dalam Nahu kita dapati madzhab al-Kufiyah dan madzhab al-Bashriyah.

Tumbuhnya Madzhab Fiqih

Pada zaman Rasulullah SAW ”madzhab” belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat. Jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat Islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul.

Tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal di kalangan para sahabat yang berfatwa di tengah sahabat-sahabat Rasul lainnya.Sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Sayyidah `Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas`ud dan yang lainnya. Kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda. Sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang `Alim diantara mereka.

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya : Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.

Pada zaman Tabi`in timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab`ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah madzhab yang lainnya di negeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha`i, asy-Syu`bi, dan masih banyak lagi. Sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti karena beberapa sebab :

1 – Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.

2 – Madzhab ini di turunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang .

3 – Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan .

4 – Madzhab ini berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan .

5 – Ijma`nya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut.

Senin, 21 Maret 2016

Ternyata Aqidah Salafi Wahabi Berhujjah dengan Matan Hadits Idhthirab (Guncang)

Hadits Jariyah dalam Pandangan Ulama Salaf dan kholaf

Hadits Jariyah sebelumnya sering dijadikan hujjah oleh kaum Murjiah (aliran Islam sempalan) untuk menetapkan keimanan hanya cukup dengan pengakuan saja tanpa amal. Dan sekarang hadits Jariyah ini pun menjadi hujjah andalan kaum sufahaa ul ahlaam (wahabi salafi) untuk menetapkan keberadaan Allah di langit.

Inti persamaannya adalah aliran sempalan selalu menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas ajaran bathil mereka, dan yang menentang ihtijaj (cara berhujjah) mereka adalah selalu kaum Ahlus sunnah wal jama’ah yang mencontoh imam Ahlus sunnah yaitu imam Ahmad bin Hanbal ketika menggugurkan ihtijaj kaum Murjiah dengan hadits jariyah.
Tidak satu pun ulama salaf shaleh yang menulis kitab hadits, memasukkan hadits jariyah ke dalam bab aqidah. Bahkan imam Muslim sendiri memasukkannya ke dalam bab furu’, seandainya hadits tersebut hujjah dalam masalah aqidah niscaya Imam Muslim sudah memasukkan di awal dalam bab iman, namun beliau tidak melakukannya. Ini bukti bahwa imam Muslim memandang hadits jariyah tidak sampai pada tingkatan hujjah dalam bab aqidah.

Nah, sekarang kita akan lihat komentar para ulama ahli hadits baik salaf maupun kholaf tentang hadits Jariyah, yang dengannya kita akan mengetahui bahwa hujjah kaum Murjiah dan Wahabi sangat bertolak belakang dengan hujjah ulama salaf dan kholaf dalam masalah hadits Jariyah sehingga anda akan melihat dengan jelas dan yakin bahwasanya wahabi bukanlah pengikut manhaj salaf shaleh.

1. Imam Syafi’i berkomentar :

“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Diatas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atauNabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.[1]

Poin-poin dari komentar imam Syafi’i tersebut adalah :Poin pertama : Para ulama hadits (tentunya ulama salaf sebelum imam Syafi’i) telah mempermasalahkan sanad dan matan hadits jariyah tersebut. Para ulama hadits mengatakan bahwa redaksi hadits tersebut berbeda-beda sehingga sebagian ulama menilainya idhthirab (goncang/kacau). Imam al-Hafidz al-Baihaqi berkomentar tentang hadits jariyah tersebut :

“Ini adalah hadis shahih,Muslim telah mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan memotong (tidakkeseluruhan/total riwayat) dari hadis (riwayat) al Awza’i dan Hajâj ash Shawwâfdari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah (budak perempuan).Mungkin ia meninggalkan (menyebutnya) dalam hadis itu disebabkan perselisihanpara perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab asSunan pada bab adz Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibnHakam dalam redaksi hadis.” [2]

Dari komentar al-Baihaqi dapat dipahami beberapa poin berikut :– Redaksi dalam Sahih Muslim menurut versi imam al-Baihaqi tidak menyebutkan kisah jariyah, artinya Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini.

Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi. Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha`riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorangyang beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. 

Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayattentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan(dhabth) dalam periwayatan.Maka yang disahihkan oleh imam al-Bahaqi adalah hadits Muslim yang tanpa menyebutkan kisah jariyah.

– Adanya perselisihan redaksi hadits antara riwayat Mu’awiyah bin al-Hakam dan riwayat lainnya :
Riwayat pertama yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam sahihnya dengan redaksi :

فقاللها: أين الله؟ قالت: في السماء، قال: من أنا؟ قالت أنت رسول الله فقال: اعتقهافإنها مؤمنة

“Maka nabi bertanya padanya : Di mana Allah ?, budak wanita itu menjawab : Allah di langit”, “ siapa aku ? “, budak wanita itu menjawab : “ Engkau adalah utusan Allah “, maka Nabi bersabda : “ Bebaskan ia, karena ia adalah wanita yang beriman “.

Riwayat kedua yang dibawakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab a-Uluwnya halaman 3 dan sanadnya telah disebutkan oleh al-Hafiz al-Mizzidi dalam kitab Tuhfa al-Aysraf 8/427 dari jalan Sa’id bin Zaid dari Taubah al-Anbari dari Atha bin Yasar, ia berkata :

حدثنيصاحب الجارية- يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه

فمدّالنبيُّ يده إليها مستفهما: من في السماء؟ قالت: الله

“ Telah menceritakan padaku shaibul jariyah – ia mengisyaratkan kepada Muawiyah bin al-hakam- dan menyebutkan hadits tersebut dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa dilangit?” ia menjawab: “Allah…”
Pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budakwanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari periwayathadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.

Perhatikan hadits senada yang diriwayatkan oleh imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal yang tanpa menyebutkan lafadz “ Di mana Allah “ :

أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ جَاءَ بِأَمَةٍسَوْدَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً , فَإِنْ كُنْتَ تَرَىهَذِهِ مُؤْمِنَةً , فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ, قَالَ : ” أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ , قَالَ : ” أَتُؤْمِنِينَبِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ , قَالَ : “أَعْتِقْهَا

“ Telah member kabar padaku Ma’mar dariaz-Zuhri dari Ubaidillah bin Abdillah bim Utbah dari seorang sahabat Asnhar yang datang dengan budak wanita hitam kepada Nabi Saw dan berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya aku punya kewajiban memerdekakan budak wanita mukminah,jika engkau melihat bahwa budak ini mukminah, maka Nabi bertanya kepada budaktersebut : “ apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ? Budak itu menjawab : “ Ya “, “ Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah ? “,budak itu menjawab : “ ya “.[3]

Adapaun redaksi yang diriwayatkan imam Ahmad bin Hanbal adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ،عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ ،أَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، وَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّعَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةًأَعْتَقْتُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ ” ، قَالَتْ :نَعَمْ ، قَالَ : ” أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ؟ ” قَالَتْ :نَعَمْ ، قَالَ : ” أَتُؤْمِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ ” ،قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : ” أَعْتِقْهَا “

Sesungguhnya ia (sahabat Anshor) dating dengan membawa seorang budak wanita hitam dan berkata : “ Wahai Rasul, aku punya hutang untuk memerdekakan budak permpuan yang mukminah, jika engkau melihatnya seorang mukminah, maka aku akan memerdekakannya “, maka Rasul bertanya pada budak wanita itu : “ apakah kamubersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ? Budak itu menjawab : “ Ya “, “ Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah ? “, budak itu menjawab : “ ya “.”Apakah kamu beriman dengan hari kebangkitan setelah kematian ?, budak itu menjawab : “ Ya “. Maka Rasul bersabda “ Merdekakan dia “.[4]

Hadits-hadits semisal itu yakni tanpa menyebutkan lafadz “ Di manaAllah “, juga telah diriwayatkan oleh imam Ibn al-Jarud, Ibnu Hibban dalam sahihnya, imam An-Nasai dalam kitab ash-Shugra dan al-Kubranya, imam Ahmad dalam musnadnya, ath-Thabrani dan imam al-Baihaqi juga diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Tauhidnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits jariyah yang menyebutkan lafadz “ Di mana Allah “ bertentangan dengan hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 15 sahabat, yaitu hadits :

أمرت أن أقاتل الناسحتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga menyaksikan bahwa tiada Tuhanselain Allah dan aku adalah utusan Allah “. (HR. Bukhari danMuslim)

Dalam hadits ini menjelaskan bahwasanya Nabi tidak menghukumi seseorang itu telah masuk Islam kecualiterlebih dahulu mengucapkan dua syahadat.

Karena termasuk pondasi Syare’at Islam adalah tidak menghukumi sesorang itu telah masuk Islam dengan ucapan “Allah di langit “, sebab ucapan itu juga diyakini oleh kaum Yahudi, Nashoro dan selainnya dari kaum kafir.

Jika sesorang hendak masuk agama Islam, maka iaharus mengucapkan dua syahadat. Dan hadits riwayat imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal telah sesuai dengan pokok dan pondasi Syare’at ini.
Poin kedua : Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pertanyaan Nabi “ Dimana Allah “, sama sekali bukan dalam kontek menetapkan keberadaan Allah, akantetapi pertanyaan untuk menyesuaikan dengan tingkat pemahaman budak tersebut. Apa sebabnya ?

sebagaimana dinyatakan oleh imam Syafi’i bahwa karena pada saat itu kaum musyrikin berkeyakinan pada berhala-berhala yang disembahnya di bumi.

Seandainya budak itu menjawab “ Tuhanku di bumi “, maka berarti budak itu bukan beriman. Dan lawan dari bumi jelas adalah langit, maka jika budak itu menjawab Allah di langit, sudah tentu menunjukkan dia tidak menyembah berhala-berhala itu di bumi, akan tetapi dia menyembah kepada Allah karena tuhannya yang ia sembah bukan berhala-berhala di bumi. Penilaian ini pun jika hadits itu dianggap sahih.

Pemahaman konteks semacam ini telah dijelaskan oleh mayoritas ulama Islam. Imam asy-Syathibi pun mengakui hal ini :

مسألة لا بد من معرفتهالمن أراد علم القرآن ..

ومن ذلك معرفة عادات العرب في أقوالها وأفعالها ومجاري أحوالها حالة التنزيل .. وإلا وقع في الإشكالات والشبه المتعذر الخروج منها إلا بهذه المعرفة .

ومنها :- قوله تعالى :- ( أأمنتم من في السماء )وأشباهها ، إنما جرت على معتادهم في اتخاذ الآلهة في الأرض وإن كانوا مقرين بإلهيةالواحد الأحد ، فجاءت هذه الآيات بتعيين الفوق وتخصيصه تنبيها على نفي ما ادعوه فيالأرض ، فلا يكون فيها دليل على إثبات الجهة البتة

“Masalah (bab) : Sebuah keharusan untuk mengetahui masalah ini bagi orang yang hendak belajar ilmu al-Quran ….:

Di antaranya adalah, mengetahui tradisi kaum Arab di dalam ucapan dan perbuatan mereka serta mengetahui pemberlakuan keadaanya ketika diterapkan, jika tidak demikian, ia akan jatuh pada kerumitan dan syubhat yang sulit untuk keluar darinya kecuali dengan mengetahui perkara (ilmu) ini.

Di antara contohnya adalah firman Allah Ta’aala : “ Apakah kamu beriman dengan yang ada di langit “ dan ayat-ayat semisalnya. Ayat tersebut berlaku pada tradisi mereka yang menjadikan tuhan-tuhan di bumi, maka ayat itu bukanlah dalil untuk menetapkan arah (bagi Allah) sama sekali “.(Al-Muwaafaqaat, asy-Syathibi : 4/154)
Maka kaum wahabi-salafi yang menjadikan hadits jariyah dan ayat-ayat tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan arah dan keberadaan Allah di langit, sangatlah tidak sesuai dengan konteks pemahaman yang benar dan bertentangan dengan pemahaman ulama salaf shaleh seperti imam Syafi’i.

Poin ketiga : Imam Syafi’i menduga hadits tersebut berupa bahasa isyarat dari Nabi dan jawaban isyarat dari budak wanita. Dugaan imamSyafi’i ini semakin kuat jika kita melihat hadits yang ditakhrij oleh imamal-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubranya di dalam Bab zhihar pada sub bab “ Membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwadirinya telah beriman”.

Berikut redaksinya :

عَنْعَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِىهُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍسَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍمُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِبِإِصْبَعِهَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِىِّ-صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِفَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَامُؤْمِنَةٌ

“ Dari Aun bin Abdillah dari Abdillah bin Utbah dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Sawdengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw:Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskanseorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita):“dimana Allah?” kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi kepadanya “dan saya siapa?”Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “engkau adalah seorang utusan Allah”. Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: “ Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman”.[5]

Hadits ini jika dikomparasikan dengan hadits yang diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Zaid dari Taubah al-Anbaridari Atha bin Yasar di atas yang menyebutkan redaksi :

فمدّالنبيُّ يده إليها مستفهما: من في السماء؟ قالت: الله

“ Lalu Nabi Saw menjulurkan tangannya kepadanya (budak) serayamengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah…”

Maka dapat kita pahami bahwa dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua bela pihak (Nabi dan budak wanita) disebabkan budak wanita itu seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Sempurna kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk ke arah langit.

2. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar :

وأخبرني محمد بن عليقال ثنا أبو بكر الأثرم إنه قال لأبي عبدالله في الحديث الذي يروى أعتقها فإنهامؤمنة، قال: (ليس كل أحد يقول فيه إنها مؤمنة) يقولون: (أعتقها) قال: (ومالك سمعهمن هذا الشيخ هلال بن علي لا يقول فإنها مؤمنة) قال: (وقد قال بعضهم: فإنها مؤمنة،فهي حين تقر بذلك فحكمها حكم المؤمنة) هذا معناه

“Telah mengabarkan padaku Muhammad bin Ali, ia berkata : Telah menceritakan padaku Abu Bakar al-Atsram, sesungguhnya ia bertanya kepada Abu Abdillah (imamAhmad) tentang hadits jariyah yang ada riwayat dengan redaksi “ Sesungguhnya iaberiman “, maka imam Ahmad menjawab : “ Tidak seorang pun mengatakan dalamhadits itu bahwa ia beriman, mereka mengatakan “ Maka bebaskanlah ia “, beliauberkata “ Dan ima Malik mendengarkannya dari syaikh Hilal bin Ali ini bahwa iatidak mengatakan bahwa budak itu beriman “, memang sebagian mengatakan bahwabudak itu beriman, ketika budak itu mengakui demikian, maka hukumnya sepertihokum beriman “, inilah maknanya “. [6]

Penjelasan:
Tidak seorang pun dari kalangan ulama salaf shaleh yang beristidlal dengan hadits jariyah dalam masalah akidah. Dan tidak satu pun dari para ulama salaf atau pun para imam yang menjadi panutan dan para imam penulis kitab dan ahli hadits semisal imam Bukhari, imam Muslim serta para ulama ahli hadits di awal-awal yang membicarakan “ Di mana Allah “, dantak ada satu pun dari mereka yang menjadikan bab khusus tentang masalah iniatau menjadikannya sebagai hujjah, padahal sekte Jahmiyyah saat itu sudahbanyak dan berkembang. Bahkan imam Muslim sendiri yang meriwayatkan hadits jariyah, tidak meletakkannya di dalam bab aqidah melain kan dalam bab “Tahrimul kalam fish sholah “ (keharaman bicara di dalam sholat).

Yang pertama kali menjadikan hadits jariyah sebagai hujah dalam masalah khilaf adalah kaum Murjiah. Mereka meyakini bahwa dengan pengakuan saja (iqrar) sudah cukup menjadi orang yang beriman tanpa adanya amal dan I’tiqad dan kaum Murjiah punmenemukan hujjah dalam hadits jariyah tersebut karena menurut pemahaman mereka, Nabi telah mengakui keimanan budak tersebut dengan semata-mata jawabannya “Allah di langit “ dan ini ucapan yang tidak disertai amal, akan tetapi Nabi telah mengakuinya dan mensifatinya dengan iman, maka hal itu bagi kaum Murjiahmenunjukkan bahwa iman itu adalah semata-mata dengan pengakuan dengan lisan tidak ada tambahan lainnya dan amal itu tidak masuk ke dalam makna iman.

Imam Ahmad bin Hanbal mendengar hujjah kaum Murjiah tersebut dan menolak pemahaman kaum Murjiah dan mengatakan bahwa tak ada satu pun ulama yang mengatakan dengan ucapan itu ia telah beriman. Adapun jika ada yang mengatakan ia beriman, maka memang ia sebelumnya telah beriman maka ucapan itu dihukumi sebagaimana orang yang beriman, itulah maknanya menurut beliau. Dalam kata lain imam Ahmad mempermasalahkan hadits jariyah dengan redaksi “ Di mana Allah “ dan jawaban budak wanita “ Allah dilangit “, sebab beliau tidak sepakat bahwa budak wanita itu dikatakan beriman hanya dengan iqrar saja.

Maka jika wahabi berhujjah dengan hadits jariyah untuk menetapkan keberadaan Allah di langit, sama sajawahabi telah sepakat dengan pemahaman kaum Murjiah yang meyakini iman itu cukup dengan pengakuan saja tanpa amal dan i’tiqad.

3. Imam Nawawi (w 676 H) berkomentar :

هذا الحديثمن أحاديث الصفات , وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الإيمان . أحدهما :الإيمان به من غير خوض في معناه , مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيههعن سمات المخلوقات . والثاني تأويله بما يليق به فمن قال بهذا قال : كان المرادامتحانها , هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده , وهو الذي إذادعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة ؟ وليس ذلك ; لأنهمنحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة , بل ذلك لأن السماء قبلةالداعين , كما أن الكعبة قبلة المصلين , أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثانالتي بين أيديهم , فلما قالت : في السماء , علم أنها موحدة وليست عابدة للأوثان

“ Hadits ini termasuk hadits shifat, ada dua madzhab (metode) dalam menyikapi hadits iniyang telah aku sebutkan seblumnya berkali-kali di kitab al-iman. Yang pertama :Mengimani hadits ini tanpa memperdalam maknanya disertai keyakinan bahwa Allahtidaklah serupa dengan sesuatu pun dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk.Yang kedua : Mentakwilnya dengan yang layak bagi keagungan Allah, barangsiapayang mengatakan atas dasar ini, maka yang dimaksud hadits itu adalah mengyjikeimanan budak wanita tersebut apakah dia seorang wanita yang bertauhid yangmengakui bahwa yang mencipta, mengatur dan maha melakukan adalah Allahsemata-mata, yang jika seorang berdoa padanya menghadap ke langit sebagaimanajika orang sholat menghadap ke Ka’bah? Bukan maksudnya bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Allah tidak dibatasi di arahka’bah. Akan tetapi yang demikian itu karena sesungguhnya langit adalahkiblatnya orang-orang yang berdoa sebagaimana bahwa ka’bah adalah kiblatnya orang-orang yang shalat. Ujian ini untuk mengetahui atau apakah budak wanita tersebut termasuk penyembah berhala. Yakni menyembah berhala yang ada di tengah-tengahmereka. Ketika budak wanita tersebut menjawab di langit, Tahulah Rasulullah bahwa sesungguhnya budak wanita ini seorang yang bertauhid dan bukanlah seorang penyembah berhala “.[7]

4. Imam Abu Hayyan al-Andalusi (w 754 H) berkomentar :

حديثالأمة التي قال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أين ربك، فأشارت إلى السماء، فقالإنها مؤمنة، لأنه فهم منها أن مرادها نفي الآلهة الأرضية التي هي الأصنام لا إثباتالسماء مكانا لله تعالى

“ Hadits budak yang Rasul Saw bertanyapadanya : “ Di mana Tuhanmu” lalu ia mengisyaratkan ke langit, kemudian Nabibersabda : “ Dia wanita yang beriman”, maka hadits ini dipahami bahwa yangdimaksud adalah menafikan tuhan-tuhan yang ada disembah bumi yaitu berhala-berhala, bukan menetapkan langit sebagai tempat Allah Ta’alaa “.[8]

5. Imam as-Sanadi (w 1138 H) berkomentar :

Dalam Hasyiahnya atas Syarh Sunan an-Nasai lil hafidz as-Suyuthi, imam as-Sanadi mengomentari hadits jariyah sebagai berikut :

قولالنبي عليه الصلاة والسلام : أين الله، قيل معناه في أي جهة يتوجه المتوجهون إلىالله تعالى، وقولها : في السماء، أي في جهة السماء يتوجهون، والمطلوب معرفة أنتعترف بوجوده تعالى لا إثبات الجهة لله


“Ucapan Nabi Saw “ Dimana Allah ?”, ada yang mengatakan maknanya adalah di arah mana ketika orang-orang yang bertawajjuh menghadap kepada Allah ? dan ucapan budak wanita “ Di langit “, artinya “ di arah langit  mereka bertawajjuh, yang dituntut adalah mengetahui wujud Allah Ta’alaa bukan menetapkan arah bagi Allah “.[9]

Dan komentar para ulama hadits lainnya yang senanda dengan komentar-komentar di atas…
Ayat-ayat dan hadits-hadist yang mensucikan Allah dari tempat dan arah sangatlah banyak. Jika kaum wahabi mengambil maknanya secara dhahir, maka akan membenturkan pada ayat atau hadits lainnya, dan tidak mungkin ayat al-Quran saling bertentangan demikian pula hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana wahabi mensikapi hadits imam Muslim berikut :
أقربُ ما يكون العبدُ من ربّه وهو ساجدٌ فأكثروا الدعاء

“ Paling dekatnya seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa didalamnya “ (HR. Muslim, Nasai, Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)
Wahabi akan kebingungan memahaminya jika memegang hadits jariyah “ Di mana Allah “ dengan hadits tersebut secara tekstual.

Imam Bukhari meriwayatkan:


“لماقضى الله الخلق كتب في كتابه فهو عنده فوق العرش إن رحمتي غلبت غضبي”،

“ Ketika Allah menentukan makhluk-Nya,maka Allah menulis kitab-Nya, dan kitab-Nya di sisi-Nya berada di atas Arsy tertulis : Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku “. (HR. Bukhari)

Jika menuruti pemahaman tekstual kaum wahabi, maka Allah berdempetan dengan kitab tersebut, maha suci Allah dari pemahaman sakit seperti itu. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar memaknai hadits tersebut bahwasanya “ di sisiNya “ itu bermakna sisi maknawi bukan sisi tempat.

Foot-note:
[1]Manaqib imam Syafi’I, al-Baihaqi : 1/396-39
[2] as Sunan al Kubrâ : 7/388
[3] Al Muwatha’, Imam Malik, `, hadits no.: 1469
[4] Musnad imam Ahmad, 3/452
[1] Imam Baihaqi, Sunan Kubra, hadits no. : 15045
[1] as-Sunnah, al-Khallal : 3/374
[1] Syarh shahih muslim, imam Nawawi jilid 5 hal. 24-25
[8] Tafsir al-Bahr al-Muhith, Abu Hayyan al-Andalusi, jilid 6 hal. 282
[9] Syarh Sunan an-Nasai, juz 3 hal. 18, terbitan Dar Ihya at-Trats al-Arabi.

Minggu, 20 Maret 2016

HUKUM BERMADZHAB

Boleh Pindah Madzhab Tapi Tidak Boleh Taqlid Sahabat Dan Tabi’in; KENAPA ?
HUKUM BERMADZHAB

Kenapa harus berMadzhab?

Oleh karena pertanyaan inilah dengan gamblang Hadrotus Syaikh Hasyim As’ari dalam kitab Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah hal: 16 cet: Maktabah Turots Islami Al Islami biMa’had Tebu Ireng Jombang menjelaskan yang artinya sebagai berikut:
“Fasal”
Menjelaskan wajib taqlid (mengikuti salah satu Madzhab) bagi orang yang tidak mampu ber-ijtihad (mengupas hukum melalui detail Al Qur’an Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas).

Menurut mayoritas ulama muhaqqiqin (yang menguraikan masalah agama beserta dalil Al Qur’an-Al Hadist), bagi seseorang yang bukan Mujtahid Muthlaq, walaupun dia sudah mempunyai sebagian ilmu yang dianggap mumpuni dalam ber-ijtihad Wajib mengikuti pendapat para Mujtahid dan mengambil fatwanya, agar tidak kesulitan (memahami) tuntutan Syariat dengan taqlid pada salah satunya dan karena firman Alloh Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”, [QS. An Nahl 43]

Alloh mewajibkan bertanya, pada seseorang yang tidak mengetahui tuntutan syariat, hal tersebut dengan jalan taqlid kepada orang ‘Alim dan hal itu umum bagi setiap orang yang terkena khitob (tuntutan dalam ayat diatas), serta khitob tersebut umum dalam pertanyaan dari setiap hal yang tidak diketahui, karena adanya IJMA’ (kesepakatan Ulama) yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang awam mulai dari zaman sahabat, tabi’n dan orang pada masa setelahnya senantiasa meminta fatwa pada Mujtahidiin dan mengambil hukum-hukun syariat pada Mujtahidiin serta para Ulama, karena beliau-beliau secepatnya menjawab pertanyaan orang awam tanpa ada isyarat menjelaskan Dalil, dan mereka orang awam menerima tanpa adanya penginkaran, maka secara IJMA’ orang awam (harus) mengikuti Mujtahid, dan dikarenakan juga pemahaman orang awam dari Al Kitab dan As Sunnah tidak dianggap, kalau tidak mencocoki pemahaman ulama Ahli kebenaran, yang agung serta terpilih, karena itu setiap orang yang melakukan bid’ah dan tersesat, memahami dan mengambil hukum-hukum yang salah dari Al Kitab dan As Sunnah, dengan keadaan ini orang awam tersebut tidak akan penah mendapatkan kebenaran sama sekali.
Dan tidak wajib bagi orang awam untuk selamanya menetapi satu Madzhab dalam setiap permasalahan yang terkini. Apabila sudah menetapi satu Madzhab seperti Madzhab Imam Syafi’i  – Semoga Alloh Ta’ala merahmatinya- maka tidak wajib seterusnya menetapi Madzhab tersebut, bahkan dia boleh berpindah pada Madzhab lain. Adapun orang awam yang tidak punya wawasan keagamaan dan tidak punya cara pengambilan dalil serta tidak pernah membaca kitab yang menjelaskan furu’ Madzhab, apabila dia berkata: “Aku adalah (orang yang mengikuti Madzhab) Syafi’i”, maka ini tidak dianggap dengan hanya (berpegang) pada ucapannya. Namun menurut Qiil (sebagian pendapat): “Apabila orang awam sudah menetapi Madzhab tertentu, maka wajib baginya seterusnya menetapi Madzhab tersebut, karena dia berkeyakinan bahwa Madzhab yang di ikutinya benar, oleh karena itu dia wajib memegang keyakinannya”.

Bagi muqollid (orang yang mengikuti Madzhab tertentu) boleh mengikuti pendapat selain Imamnya tentang permasalahan terkini, maka dia boleh mengikuti pendapat Imamnya tentang masalah Sholat Dluhur, misalnya, dan mengikuti Imam lain pada waktu sholat Ashar. Adapun taqlid (mengikuti Madzhab tertentu) setelah mengamalkan di perbolehkan, maka apabila pengikut Madzhab Syafi’i  menyangka sholat yang dilakukan sesuai Madzhabnya sah, kemudian ternyata batal menurut Madzhabnya, sedangkan menurut Madzhab lain tidak batal, maka dia boleh taqlid pada Madzhab tersebut, dan sholatnya di anggap cukup/sah.
Catatan penting:

MUJTAHID MUTHLAQ ADA DUA:

1. Mujatahid Muthlaq Mustaqil: Seseorang yang mampu meletakkan/menciptakan kaidah tersendiri dalam membuat kesimpulan hukum fiqh. Seperti Imam empat Madzhab.
Imam Abu Amr memperjelas syarat Mujathid Muthlaq sebagai berikut:
- Menguasai Dalil-dalil hukum syariat dari Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
- Mengetahui sesuatu yang di saratkan dalam penggunaan dalil-dalil dan mengetahui tata cara mengutip atau memperoleh hukum-hukum dari dalil-dalil tersebut, ini bisa diketahui dengan memahami ilmu Ushul Fiqh.
- Mengetahui Ilmu Qur’an, Hadist, Nasikh, Mansukh, Ilmu Nahwu, Lughot, Tashrif, perbedaan ulama, kesepakatan ulama dengan kadar sampai taraf mampu menguasai sarat-sarat dalil-dalil dan dengan kadar sampai taraf mampu memperoleh hukum fiqh dari hal tersebut serta mempunyai pengalaman/kebiasaan dan terlatih untuk menggunakan semua itu.
- Mengetahui pokok dan cabang Fiqh diluar kepala.

2. Mujtahid Muthlaq Ghoiru Mustaqil: seseorang yang mempunyai memenuhi kriteria Mujtahid Muthlaq Mustaqil akan tetapi tidak membuat kaidah tersendiri dalam menyimpulkan hukum fiqh. Namun mengikuti kaidah dari Imamnya waktu ber-ijtihad. Seperti Imam Abi Yusuf yang mengikuti Imam Hanafi, Imam Abi Qosim yang mengikuti Imam Maliki, Imam Buwaithi dan Imam Muzani yang mengikuti Imam Syafi’i , Imam Abi Bakar Al Atsrom yang mengikuti Imam Hambali dsb.
Dan kedua Mujtahid diatas tidak ditemukan pada masa kini yang ada adalah Mujaddid yakni sesorang yang mampu memperkokoh syariat dan hukum Islam. (catatan penting ini di sarikan dari ibarat dibawah ini).

الفقه الإسلامي الجزء الأول ص: 45
1. المجتهد المستقل: وهوالذي استقل بوضع قواعده لنفسه، يبني عليها الفقه، كأئمة المذاهب الأربعة. وسمى ابن عابدين هذه الطبقة:(طبقة المجتهدين في الشرع). 2. المجتهد المطلق غير المستقل: وهو الذي وجدت فيه شروط الاجتهاد التي اتصف بها المجتهد المستقل، لكنه لم يبتكر قواعد لنفسه، بل سلك طريق إمام من أئمة المذاهب في الاجتهاد، فهو مطلق منتسب، لا مستقل، مثل تلامذة الأئمة السابق ذكرهم كأبي يوسف ومحمد وزفر من الحنفية، وابن القاسم وأشهب وأسد ابن الفرات من المالكية، والبويطي والمزني من الشافعية، وأبي بكر الأثرم، وأبي بكر المروذي من الحنابلة، وسمى ابن عابدين هذه الطبقة:(طبقة المجتهدين في المذهب): وهم القادرون على استخراج الأحكام من الأدلة على مقتضى القواعد التي قررها أستاذهم في الأحكام، وإن خالفوه في بعض أحكام الفروع، لكن يقلدونه في قواعد الأصول. وهاتان المرتبتان قد فقدتا من زمان.
بغية المسترشدين للشيخ السيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمرالمشهور با علوي ص: 7
[فائدة]: إذا أطلق الاجتهاد فالمراد به المطلق، وهو في الأصل بذل المجهود في طلب المقصود، ويرادفه التحري والتوخي، ثم استعمل استنباط الأحكام من الكتاب والسنة، وقد انقطع من نحو الثلاثمائة، وادّعى السيوطي بقاءه إلى آخر الزمان مستدلاً بحديث: “يبعث الله على رأس كل مائة من يجدد” الخ، وردّ بأن المراد بمن يجدد أمر الدين: من يقرر الشرائع والأحكام لا المجتهد المطلق، وخرج به مجتهد المذهب وهو: من يستنبط الأحكام من قواعد إمامه كالمزني، ومجتهد الفتوى وهو: من يقدر على الترجيح في الأقوال كالشيخين لا كابن حجر و (م ر)، فلم يبلغا رتبة الترجيح بل مقلدان فقط، وقال بعضهم: بل لهما الترجيح في بعض المسائل، بل وللشبراملسي أيضاً، اهـ
المجموع الجزء الأول ص: 75
فصل قال أبو عمرو: المفتون قسمان: مستقل وغيره, فالمستقل شرطه مع ما ذكرناه أن يكون قيما بمعرفة أدلة الأحكام الشرعية عن الكتاب والسنة والإجماع والقياس, وما التحق بها على التفضيل, وقد فصلت في كتب الفقه فتيسرت ولله الحمد, وأن يكون عالما بما يشترط في الأدلة, ووجوه دلالتها, وبكيفية اقتباس الأحكام منها, وهذا يستفاد من أصول الفقه, عارفا من علوم القرآن, والحديث, والناسخ والمنسوخ, والنحو واللغة والتصريف, واختلاف العلماء واتفاقهم بالقدر الذي يتمكن معه من الوفاء بشروط الأدلة والاقتباس منها, ذا دربة وارتياض في استعمال ذلك, عالما بالفقه ضابطا لأمهات مسائله وتفاريعه, فمن جمع هذه الأوصاف فهو المفتي المطلق المستقل, الذي يتأدى به فرض الكفاية. وهو المجتهد المطلق المستقل ; لأنه يستقل بالأدلة بغير تقليد وتقيد بمذهب أحد.

Imam Al Munawi Dalam Faidlul Qodirnya menjelaskan tentang keutamaan Imam-Imam pemimpin Madzhab sebagai berikut:

فيض القدير – (ج 1 / ص: 271)
ويجب علينا أن نعتقد أن الأئمة الأربعة والسفيانين والأوزاعي وداود الظاهري وإسحاق بن راهويه وسائر الأئمة على هدى ولا التفات لمن تكلم فيهم بما هم بريئون منه والصحيح وفاقا للجمهور أن المصيب في الفروع واحد ولله تعالى فيما حكم عليه إمارة وأن المجتهد كلف بإصابته وأن مخطئه لا يأثم بل يؤجر فمن أصاب فله أجران ومن أخطأ فأجر ، نعم إن قصر المجتهد أثم اتفاقا وعلى غير المجتهد أن يقلد مذهبا معينا وقضية جعل الحديث الاختلاف رحمة جواز الانتقال من مذهب لآخر والصحيح عند الشافعية جوازه لكن لا يجوز تقليد الصحابة وكذا التابعين كما قاله إمام الحرمين من كل من لم يدون مذهبه فيمتنع تقليد غير الأربعة في القضاء والافتاء لأن المذاهب الأربعة انتشرت وتحررت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم لانقراض اتباعهم وقد نقل الإمام الرازي رحمه الله تعالى إجماع المحققين على منع العوام من تقليد أعيان الصحابة وأكابرهم انتهى. نعم يجوز لغير عامي من الفقهاء المقلدين تقليد غير الأربعة في العمل لنفسه إن علم نسبته لمن يجوز تقليده وجمع شروطه عنده لكن بشرط أن لا يتتبع الرخصة بأن يأخذ من كل مذهب الأهون بحيث تنحل ربقة التكليف من عتقه وإلا لم يجز خلافا لابن عبد السلام حيث أطلق جواز تتبعها وقد يحمل كلامه على ما إذا تتبعها على وجه لا يصل إلى الانحلال المذكور. إلى أن قال… وقد انتقل جماعة من المذاهب الأربعة من مذهبه لغيره منهم عبد العزيز بن عمران كان مالكيا فلما قدم الإمام الشافعي رحمه الله تعالى مصر تفقه عليه وأبو ثور من مذهب الحنفي إلى ذهب الشافعي وابن عبد الحكم من مذهب مالك إلى الشافعي ثم عاد وأبو جعفر بن نصر من الحنبلي إلى الشافعي والطحاوي من الشافعي إلى الحنفي والإمام السمعاني من الحنفي إلى الشافعي والخطيب البغدادي والآمدي وابن برهان من الحنبلي إلى الشافعي وابن فارس صاحب المجمل من الشافعي إلى المالكي وابن الدهان من الحنبلي للحنفي ثم تحول شافعيا وابن دقيق العيد من المالكي للشافعي وأبو حيان من الظاهري للشافعي ذكره الأسنوي وغيره.

Artinya: “Wajib bagi kita untuk meyakini bahwa sesungguhnya Imam-Imam empat Madzhab, pengikut Madzhab Imam Sufyan Atsauri, Imam Auza’i, Imam Dawud AdZohiri, Imam Ishaq bin Rohawiyyah dan Imam-Imam lain, sesuai dengan jalan kebenaran, tanpa menganggap orang yang mengatakan terlepas dari beliau-beliau. Adapun menurut pendapat yang Shohih (benar) sesuai mayoritas ulama, sesungguhnya yang benar dalam permasalahan furu’ hanya satu, dan semua kekuasaan hukum dikembalikan pada Alloh, serta sesungguhnya Mujtahid di tuntut kebenarannya, namun kesalahan yang dilakukan Mujtahid tidak menyebabkan dosa, bahkan Mujtahid tetap mendapatkan pahala, maka yang benar mendapat dua pahala, yang salah mendapat satu pahala. Hal diatas memang benar, namun apabila Mujtahid sembrono (dalam ijtihad-nya, sehingga salah) maka menurut sepakat ulama, Mujtahid mendapat dosa.

Sedangkan untuk selain Mujtahid harus mengikuti Madzhab tertentu, dan maksud dari dalil hadist “Perbedaan umatku adalah rahmat” adalah bolehnya berpindah dari satu Madzhab ke Madzhab lain.

Menurut pendapat yang Shohih dari kalangan Madzhab Syafi’i  boleh berpindah Madzhab namun tidak di perbolehkan mengikuti sahabat, tabi’in seperti ungkapan Imam Haromain yakni setiap ulama (sahabat. Tabi’in dan lainnya) yang Madzhabnya tidak terbukukan,

oleh karena itu dalam memutus perkara (dalam pengadilan agama) dan berfatwa tidak di perbolehkan mengikuti selain empat Madzhab (Imam Syafi’i , Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki), karena empat Madzhab tersebut sudah tersebar dan sudah terteliti, sehingga jelas kekuatan dalil mutlak dan pengkhususan dalil umumnya, berbeda dengan selain empat Madzhab yang terkikis/habis pengikutnya.
Dan Imam Ar Rozi – Semoga Alloh merahmatinya – menukil kesepakatan ulama tentang larangan orang awam untuk taqlid (mengikut) pada sahabat dan pembesarnya.

Na’am (Hal diatas betul), (namun) boleh bagi selain orang awam, yakni para ulama fiqh yang taqlid, mengikuti selain madzhab empat untuk amalnya sendiri, (dengan catatan) kalau mengetahui hubungan/pertalian pada ulama yang boleh diikuti dan mengetahui terkumpulnya sarat-sarat ulama yang diikuti, akan tetapi (hukum boleh taqlid tersebut) dengan sarat tidak cuma mengambil Rukhsoh (dispensasi), dengan gambaran seseorang mengambil hukum yang ringan-ringan saja, sekira orang tersebut ingin melepaskan tali/kewajiban taklif padanya, apabila tidak melakukan sarat tersebut maka tidak boleh taqlid pada selain empat madzhab, berbeda dengan pendapat Imam Ibnu Abdissalam yang memutlakkan hukum boleh mengikut selain empat madzhab, namun pendapat ini diarahkan pada permasalahan yang tidak sampai melepaskan tali/kewajiban taklif yang telah disebut. Sampai perkataan…

Dan banyak sekali Ulama dari golongan Madzab empat berpindah dari Madzhabnya ke Madzhab lain, seperti Imam Abdul Aziz bin Imron bermadzhab Maliki, waktu Imam Syafi’I – Semoga Alloh merahmatinya- datang ke Mesir, maka beliau belajar (dan berpindah madzhab) ke Imam Syafi’i. Imam Abu Tsaur dari Madzhab Hanafi pindah ke Madzhab Syafi’i.

Imam Ibnu ‘Abdil Hakam dari Madzhab Maliki ke Madzhab Syafi’i kemudian kembali lagi ke Madzhab Maliki, Imam Abu Ja’far bin Nashr dari Madzhab Hambali ke Madzhab Syafi’i. Imam Thokhawi dari Madzhab Syafi’i ke Madzhab Hanafi, Imam Sam’ani dari Madzhab Hanafi ke Madzhab Syafi’i. Imam Khothib Al Baghdadi, Imam Amudi dan Imam Ibnu Burhan dari Madzhab Hambali ke Madzhab Syafi’i. Imam Ibnu Faris pengarang kitab Al Mujmal dari Madzhab Syafi’i ke Madzhab Maliki, Imam Ibnu Ad Dahan dari Madzhab Hambali ke Madzhab Hanafi kemudian pindah lagi ke Madzhab Syafi’i. Imam Ibnu Daqiq Al ‘Ied dari Madzhab Maliki ke Madzhab Syafi’i dan Imam Abu Khayyan dari Madzhab Dhohiri ke Madzhab Syafi’I, (yang) menuturkan ini (adalah) Imam Asnawi dan lainnya”.

KESIMPULAN:
1. Madzhab adalah jalan untuk mencari kebenaran yang haq dalam mencari ridlo Alloh SWT.

2. Madzhab bukanlah alat perpecahan, tapi sebagai alat memperdalam lautan keilmuan Islam.

3. Madzhab adalah alat pembelajaran agar umat Islam saling menghormati dan menghargai pendapat muslim lainnya, jangan jadikan Madzhab sebagai penghalang bagi persaudaraan muslimin. Nabi SAW. bersabda:

صحيح البخارى 2446 (ج 9 / ص 103)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ». وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ. طرفاه 481 ، 6026 – تحفة 9040

Artinya: Sahabat Abi Musa RA. dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Mukmin bagi mukmin lainnya seperti bangunan, yang (saling) menguatkan (antara) satu pada lainnya”. Dan beliau nabi SAW. merapatkan antara jari jemari beliau.

Karena diluar sana banyak sekali non muslim di balik senyum manisnya bertepuk-tangan, bersorak-sorai melihat perbedaan yang menjurus pada perpecahan, seraya mereka mengada-ada, mencari-cari kesalahan Islam dengan opini mereka yang menyesakkan dada, dengan mengatakan Madzhab dan ulama’lah yang menyebabkan Islam hanya dimengerti orang-orang tertentu agar terjadi pengkultusan yang menyebabkan mandegnya pemikiran, dan dengan mencela serta menista junjungan kita Nabi Agung Sayyidina Muhammad SAW, Al Qur’an dan Al Hadist. Memang terbuktilah firman Alloh:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” [QS. Al Baqoroh 120]

وَدَّتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (69) يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ (70)

Artinya: “Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, Padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya (69). Hai ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, Padahal kamu mengetahui (kebenarannya) (70)”.[QS Ali Imroon 69-70]

وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (14)

Artinya: “Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah Kami ambil Perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan”. [QS. Al Maaidah 14]

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (71) وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آَمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آَخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (72) وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (73)

Artinya: (71) Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil[203], dan Menyembunyikan kebenaran[204], Padahal kamu mengetahuinya? (72) Segolongan (lain) dari ahli kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran). (73) Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu[205].

Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu”. Katakanlah: “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”; [QS. Ali Imron]
[203] Yaitu: menutupi firman-firman Allah yang termaktub dalam Taurat dan Injil dengan perkataan-perkataan yang dibuat-buat mereka (ahli Kitab) sendiri.
[204] Maksudnya: kebenaran tentang kenabian Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dan Injil.
[205] Kepada orang-orang yang mengikuti agamamu Maksudnya: kepada orang yang seagama dengan kamu (Yahudi/Nasrani) agar mereka tak Jadi masuk Islam atau kepada orang-orang Islam yang berasal dari agamamu agar goncang iman mereka dan kembali kepada kekafiran.

Ingat !! Kita bersahabat dengan non muslim, bukan berarti kita membenarkan agama dan keyakinan mereka.

Akhir kata kami mengajak kaum muslimin dan muslimat untuk memperkokoh benteng keislaman kita dari kerapuhan akibat penggerogotan dari dalam dan serangan dari luar, yakinlah bahwa:

شرح النووي على مسلم – (ج 5 / ص 496)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” الْإِسْلَام يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ “
Artinya: Rosululloh SAW. bersabda: “Islam itu tinggi (lebih utama dari agama lain) dan tidak direndahkan”

Seraya berdoa:
لا حول ولا قوة إلا بالله
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
Artinya: “Tunjukkanlah Kami jalan yang lurus, (6) (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7)”. [QS. Al Faatihah]

Wallohu A’lam bisShowab