Golongan madzhab Wahabi/Salafi
(pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) dan pengikutnya melarang wanita
ziarah kubur berpegang kepada kalimat hadits yang diriwayatkan
dikitab-kitab as-Sunan kecuali Bukhori dan Muslim yaitu “Allah
melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” (Lihat kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 halaman 569).
Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh)
dengan riwayat-riwayat tentang ‘Aisyah ra. menziarahi kuburan
saudaranya yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra,
Abdurrazaq dalam kitab Mushan- naf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab
Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan
pada halaman selanjutnya ).
Riwayat-riwayat itu, nampak sekali pertentangan antara dua bentuk
riwayat dimana satu menyatakan bahwa perempuan akan dilaknat jika
melakukan ziarah kubur namun yang satunya lagi menyatakan bahwa
Rasulallah saw. telah memerintahkan umatnya untuk menziarahi kubur, yang
mana perintah ini mencakup lelaki dan perempuan.
Jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits diatas “Allah
melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” melalui tiga jalur
utama: Hasan bin Tsabit, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah [ra].
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil
hadits tersebut melalui tiga jalur diatas. Imam Ahmad bin Hanbal dalam
kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui
dua jalur yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu
Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356). At-Turmudzi dalam kitab
al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur
saja yaitu Abu Hurairah. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3
halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur saja yaitu Ibnu Abbas.
Sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits itu
sama sekali. Begitu juga tidak ada kesepakatan di antara para penulis
kitab as-Sunan dalam menukil hadits tersebut jika dilihat dari sisi
jalur sanad haditsnya. Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi
sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari jalur
Hasan bin Tsabit hanya dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja dan
jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari jalur pertama yang berakhir pada Hasan bin Tsabit –yang dinukil
oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah
bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi
tidak kuat/lemah. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi
dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin
Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan
kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan
(menganggap remeh periwayatan.-red) hadits” (Lihat kitab Mizan
al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga
terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang
meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani
mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan
al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra. terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai
sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat
dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu
yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho)
terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4
halaman 6).
Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi
seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya:
“Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan:
“Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”. Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia
orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak
dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6
halaman 133).
Mungkin karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari
dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar
itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang
tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah
kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil
pengharaman.
Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama Nashiruddin
al-Albani ahli hadits Wahabi pernah menyatakan tentang hadits
pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:
“Di antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang
menguat- kan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain
yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah
penggalan dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang
menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai
masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadits
lemah (Dza’if). Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf
(baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya
nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada
Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).
Tetapi sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita
pelaksana haji di Makkah dan Madinah, masih tetap dilarang oleh ulama
Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la
(di Makkah) untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah
saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan
sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun),
bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi
perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf
Sholeh ?
Menurut ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur, ini
karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran
sehingga mengakibatkan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah)
menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu
yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu juga
sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa
atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan dengan campur baurnya
antara lelaki dan wanita mereka ini tidak bisa menjaga dirinya
dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142.
Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits
Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata:
‘Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk
laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi
kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu
untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau
dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup aurat
nya) dengan sempurna’.
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil
Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali
Qori jilid 4 halaman 248.
Rasulallah saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk
menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau
dalam hadits tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib)
pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4
halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3
halaman 372 hadits ke-1056.
Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab),
terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki
hanya segelintir saja jumlahnya maka kata ganti yang dipakai untuk
berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan
benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki. Dan masih
banyak ulama Ahlusunah lain yang menyatakan pembolehan ziarah kubur oleh
kaum perempuan.
Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak dianjurkan untuk wanita
bila para wanita diwaktu berziarah melakukan hal-hal yang tidak
dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang tersebut diatas,
tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka tidak ada halangan
bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya kaum lelaki.
Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi kelakuan
wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.
Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita:
Imam Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan
kebanyakan ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur.
Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan
oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh
menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut :
إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ
“Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”
Kata Aisyah ra; Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka? Sabda beliau saw. :
قُوْلِيْ:
السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ
وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ
‘Ucapkanlah;
salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan
muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik
yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan
menyusul kemudian’ “.
Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.:
“Jibril telah datang padaku seraya
berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni
perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw:
‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para
penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam,
semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang
terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “. (HR.Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga
salam sejahtera senantiasa tercurah kan bagi para penghuni perkuburan
dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya-Allah akan
menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan
bagi kami dan kalian’.
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya:
“Ya Ummul Mukminin, darimana anda?
Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula:
Bukankah Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya,
mula-mula Nabi melarang ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. (
Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392). adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
Dalam
kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra,
puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali
menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina
Hamzah ra.
Aisyah ra. melakukan ziarah kubur,
berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam
mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal
itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang
bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf
Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhusus- kan buat sahabat dari
kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
Hadits dari Anas bin Malik berkata:
“’An anasin bni Maalikin ra. marran
nabiyyi saw. bi imra-atin tabkii ‘inda gobrii fa goola: ittaqil llaaha
washbirii, fa qoolat; ilaika ‘anni fa innaka lam tushab bi mushiibatii
wa lam ta’rifhu, fa giila lahaa, innahun nabiyyi saw. Faatat baabahu
falam tajid ‘indahu bawwaabiina fa goolat, lam a’rifuka, fa goola;
innamaash shobru ‘indash shodamatil uulaa”.
Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Taqwa lah kepada Allah dan sabarlah’. Dijawab
oleh wanita itu: ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang
menimpaku dan tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah
dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya
itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang
kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorang pun. Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguhnya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’. (HR Bukhori dan Muslim)
Lihat hadits terakhir diatas ini,
Rasulallah saw. melihat wanita tersebut dipekuburan dan tidak
melarangnya untuk berziarah, hanya dianjurkan agar sabar menerima atas
kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah
jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin
Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk
melaksanakan ibadah haji di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua
yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati
tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua
tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.
Nah, insya Allah keterangan diatas itu jelas bahwa ziarah kubur itu
sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Yang
lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada
orang yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi
tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini
dianggap bid’ah. Mungkin saudara-saudara kita itu
mendapat kesalahan informasi tentang ziarah kubur. Kita telah membaca
keterangan diatas banyak hadits shohih Rasulallah saw. yang menganjurkan
kaum muslimin untuk berziarah, memberi salam dan berdo’a untuk si mayit
pada waktu sholat jenazah dan berziarah tersebut, dengan tujuan agar
kita lebih mengingat pada Allah swt. dan akhirat.
Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada
kaum muslimin, bagaimana kita bisa melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi
yang paling mulya dan taqwa Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak
mengetahui syariat-syariat Islam, juga dengan berdiri dimuka makam
beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan
Rasul-Nya !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar