Selasa, 27 Agustus 2013

Kuatnya Pesona Kaum Hawa

Bukan kali pertama sketsa politik dan kuasa melibatkan wanita. Pesona wanita sungguh berdaya magnet luar biasa. Ada orang yang sanggup melampaui godaan harta dan takhta, tetapi lumpuh menghadapi bujuk rayu wanita. Boleh jadi banyak pria mampu meretas berbagai masalah, tetapi tidak berkutik di bawah ketiak wanita.


Kecintaan kepada wanita memang merupakan fitrah manusia. “Dijadikan indah untuk manusia kecintaan pada segala yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran: 14).

Sejarah juga mencatat, wanita kerap digunakan sebagai umpan. Inilah yang dilakukan kaum kafir Makkah ketika hendak menghalangi dakwah Nabi Muhammad. Namun, manusia mulia itu tegas menolak seraya berkata, “Demi Allah, andaikan matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, niscaya aku tidak akan berhenti dari dakwah sampai Allah memenangkan agama ini di atas selainnya.”

Kendati begitu, tidak mudah berlepas diri dari pesona kaum Hawa. Itulah yang pernah dirasakan manusia sekaliber Nabi Yusuf. Semata karena pertolongan Allah, Nabi Yusuf dapat selamat dari rayuan Zulaikha, istri Raja Mesir itu. “Sungguh wanita itu telah menginginkan Yusuf, dan Yusuf juga menginginkan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan Yusuf dari kemungkaran dan kekejian. Sungguh Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS Yusuf: 24).

Bahkan, muasal teguran Allah kepada Nabi Dawud adalah karena menikahi Sabigh binti Syaigh, wanita pinangan Uria bin Hannan (QS Shad: 21-26). Tepatlah kenapa Nabi Muhammad mewanti-wanti kita agar senantiasa bersikap ekstrawaspada terhadap wanita. 

“Sungguh dunia itu manis dan menghijau. Dan sungguh Allah menjadikanmu sebagai khalifah di dalamnya. Maka Allah akan melihat apa yang kamu kerjakan. Maka takutlah kepada dunia dan wanita. Karena sungguh fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita” (HR Muslim).

Dalam hadis lain juga dinyatakan secara tegas, “Tidak aku tinggalkan pada manusia godaan yang lebih dahsyat bahayanya bagi kaum pria kecuali godaan kaum wanita” (HR Tirmidzi). Dan fakta membuktikan, tidak sedikit orang besar terjatuh dalam kehinaan akibat tidak berdaya menghadapi wanita. Hasrat memiliki harta dan takhta belum dirasakan sempurna tanpa aroma wanita. Berhasil menggenggam ketiganya akan memunculkan kepuasaan tiada tara.

Lihatlah para penggenggam harta dan takhta. Mereka yang mulanya tampak arif dan setia pada keluarga, tiba-tiba terjerembab dalam perkara wanita. Karier yang moncer habis tiada sisa untuk ‘membeli’ wanita yang secara fisik menggoda dan mempesona. Karier Bill Clinton digoyang oleh kedekatannya dengan Monica Lewinsky. Direktur CIA Jendral Petraeus jatuh dari tampuk kuasa gara-gara terlibat perselingkuhan dengan Paula Broadwell, seorang penulis biografi.

Pengalaman negeri ini tidak jauh berbeda. Ironis. Tidak seharusnya wanita menjadi alat komoditi dan eksploitasi. Islam telah mendudukkan wanita dalam posisi yang sangat mulia. Martabatnya sebagai ibu bangsa. Pada pundak wanita, terletak masa depan tunas-tunas bangsa. Kisah perselingkuhan, gratifikasi, dan semacamnya yang melibatkan wanita jelas mencederai martabat ibu bangsa sekaligus bertentangan dengan Islam.

Tidak kalah penting, perlu adanya kesadaran dalam diri wanita. Kehendak menjadi ‘alat umpan’ kerap bermotif ingin meraup dunia tanpa bekerja. Saatnya wanita jangan menghinakan dirinya. Wanita adalah bunga dan perhiasan yang menjadi tempat berlabuh kebahagiaan keluarga. Itulah wanita shalihah. Yaitu wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak berada di tempat (QS An-Nisa: 34).

Mengapa Wanita Dicipta Dari Tulang Rusuk Pria

Wanita tidak dicipta dari kepala laki-laki (Adam), supaya tidak melebihi atau mengungguli kodrat laki-laki. Wanita tidak dicipta dari kaki, supaya wanita tidak dihinakan oleh laki-laki atau diinjak laki-laki, karena dia adalah bagian dari tubuhnya. Wanita tidak diciptakan dari tanah, karena wanita memang kodratnya tidak sama dengan laki-laki. Wanita dicipta dari tulang rusuk laki-laki, karena memang untuk dijadikan pasangan laki-laki, menjadi pendamping laki-laki, menjadi kesenangan laki-laki, memperkuat dada laki-laki dan sekaligus menjadi penyeimbang hidup laki-laki.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits-nya:

Sesungguhnya wanita itu dicipta dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika Anda meluruskannya, sama artinya Anda memecahkannya. Jika Anda biarkan, dia akan tetap bengkok. Karena itulah, Anda harus selalu memberikan nasihat-nasihat kebaikan. (HR. Muslim)

Tulang iga adalah tulang yang bengkok dan letaknya sangat dekat dengan jantung hati. Fungsi tulang iga adalah memperkuat dada dan melindungi hati. Dari sini kita mendapat hikmah dan pelajaran bahwa wanita yang sudah menjadi istri, dia mempunyai 2 tugas, yaitu:

1. Membuat suami kuat dadanya.
Dada adalah lambang keberanian dan keperkasaan. Karenanya, orang yang berani akan menantang lawannya dengan menepuk dada. Dada adalah tempat berkecamuknya segala rasa, ada rasa benci dan senang, ada rasa kesal dan jengkel. Maka dada harus luas dan tidak sempit, agar bisa menjadi arena untuk menyelesaikan pertengkaran segala macam rasa. Orang yang dadanya sempit akan sulit menyelesaikan masalah. Orang yang da-danya sempit mudah berputus asa, tidak punya optimisme, tidak punya semangat dan mudah sakit. Itu sebabnya, Nabi Musa ketika mendapatkan perintah untuk menyampaikan kebenaran di hadapan Fir’aun dan orang-orang bodoh, beliau berdoa kepada Allah:

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataan-ku”. (QS. Thaha: 25-28)

Seorang istri harus menambahkan kekuatan suami, sehingga potensinya bisa bertambah dan berkembang menjadi berlipat-lipat. Seorang istri tidak hanya sekedar memberikan dorongan, tetapi dia menjadi bagian dari kekuatan dada suami. Jadi sesungguhnya wanita adalah dada suami.

Dada adalah kebanggaan, dan di dalam dada ada keberanian dan kekuatan dahsyat. Dada bagi wanita adalah kebanggaannya, dan menjadi kebanggaan suami.

2. Menjaga hati suami.
Hati adalah inti kehidupan. Di dalam hati ada keimanan. Di dalam hati ada kebahagiaan. Istri seharusnya makin mempertebal keimanan sua-mi. Istri seharusnya memberikan kedamaian dan kebahagiaan suami. Istri seharusnya menyenangkan hati suami. Istri seharusnya menjaga hati suami agar tidak berpaling ke lain hati. Karenanya orang yang sudah punya istri seharusnya hidupnya bahagia dan imannya semakin mantap.

Tiga Ciri-ciri Wanita Penghuni Neraka

Dalam Shahih Muslim disebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan (2) para wanita yang berpakaian tetapi seperti telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini disebutkan tentang ciri-ciri wanita penghuni nereka dan tidak akan dapat mencium bau surga, meskipun bau surga dapat tercium dari jarak yang sangat jauh. Ciri-ciri wanita tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kasiyat ‘Ariyat (Berpakain tapi telanjang)
Ada beberapa makna dari ciri-ciri yang pertama ini. 
Pertama: Wanita yang mendapatkan nikmat-nikmat dari Allah tetapi tidak mau mensukurinya. 
Kedua: Wanita yang memakai pakaian tetapi tidak mau melakukan perbuatan baik, tidak mau mementingkan kehidupan akhirat dan tidak mau mementingkan taat kepada Allah.
Ketiga: Wanita yang membuka sebagian dari anggota tubuhnya dengan tujuan memperlihatkan kecantikannya.
Keempat: Wanita yang mengenakan pakaian tipis sehingga nampak lekukan-lekukan tubuhnya.
2. Ma’ilat Mumilat (berlenggak-lenggok)
Ada yang mengatakan bahwa maknanya ialah wanita menyimpang dari taat Allah serta kewajiba-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti menjaga kemaluannya. Bersamaan itu ia mengajarkan apa yang ia lakukan kepada orang lain. 
Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah wanita yang mempunyai keinginan berkencan dengan lelaki lain serta memperihatkan kepada mereka perhiasan-perhiasan dan kecantikan yang dimilikinya.
3. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring
Al-Mazini mengatakan maknanya ialah wanita yang selalu mendongakkan kepalanya kepada lelaki lain dan tidak memejamkan mata kepada mereka.
Wanita dengan ciri-ciri diatas adalah calon penghuni neraka dan tidak akan dapat mencium bau surga. Namun perlu diperhatikan bahwa kepastian seseorang tervonis tidak dapat masuk surga merupakan hak Allah SWT. Oleh sebab itu sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa wanita-wanita itu tidak dapat masuk surga perlu dita’wil dengan makna sebagai berikut:
Pertama: Wanita yang tidak dapat masuk surga sesuai ciri-ciri di atas adalah wanita yang menghalalkan perkara haram padahal ia tahu, sehingga menyebabkan dirinya menjadi seorang kafir, berada di neraka selama-lamanya.
Kedua: Wanita yang sesuai dengan ciri-ciri di atas tidak masuk surga bersama golongan yang masuk surga pada gelombang-gelombang awal, sehingga bisa jadi suatu ketika ia akan dientaskan oleh Allah dari jurang neraka dan dihantarkan menuju surga. Wallahu A’lam.
Sumber: Syarh Muslim; 17/190-191 versi al-Maktabah asy-Syamilah.

Ketika Telunjuk mulai di Permasalahkan

Hansip : "Aanu bang Ju,, Dimesjid ada Anak2 Irma gi pada ribut ma Anak2 kompleks sebelah tuh.. gimana nih ?"

Juha :" lhoo.. kan yg jd hansipnya abang.. kenape ga langsung dipentungin aja tu anak atu_atu. . . biggrin

Hansip :"eNTu diè masalahnya kalo ribut urusan rebutan cewek,, biar ane yg berèsin ... ini mah laen lagi urusannye... tu anak gi pada ribut Urusan Dalil telunjuk Tahiyyat"

Juha :"Hadeuh.. sudah lagu lama lagi nih. . mang gimane Ceritanya ?

Hansip :"Menurut Anak2 komplek Tahiyat itu telunjuknya mesti digerak2in twing_twing getoh... Kalo nggak masuknya bid'ah"
( mencoba utk mnjelaskan )

Juha: "Kalo yg begini mah masuknya bukan Bid'ah tapi lebìh tepatnye Khilafiah bang
. Perbedaannya terletak dicara menerjemahkah hadits :
يحرك ها
mgkin dlm kata itu mereka ngasih harkatnya jd "Yuharrikuha" yg artinya menggerak_gerakan jari (lebih dr satu kali) .. sdangkan kita mengharkatinya dgn "Yahrikuha" menggerakan telunjuk( cukup satu kali saja)..

Hansip :" Oooh gitu ?.. Jd nyang bener yg mana ?

Juha: "Yg bener yg Memakai dalil tentunya "

Hansip :"Lho kan dua_duanya punya dalil bang Ju ?

Juha :"Berarti dua_duanya Bener "

Hansip :" Kalo dua2nya bener berarti yg salah yg mana ?

Juha :"Yg salah itu yg maksain dalilnya sama orang lain,. supaya ikut pemahamannya "..bisa dicerna dikit bang ?? biggrin

Hansip :"iye juga ya.. !!.. Eh tp kalo dia masih ngotot maksain fahamnya gimane ?
..Palagi pake iming2 bid'ah segala ?

Juha :"Haaaalah repot2 amat bang.. Lha entu pentungan yg abang bawa tiap waktu ??
Gunanye untuk apa coba ?
Mubadzir bang diantepin terus. . . smile

Hansip :"Hahahahaha......"

Mau mengikuti Ghuroba atau Faham Terbanyak ?

Abu Murokab :"ana tdk heran tuh kalo ada Aswaja yg mencak2,. Sumpah serapah,. Mencaci maki de el el... La wong Nabi jg dulu dakwahnya penuh tantangan dari kaum Musyrikin makkah ... ( mulai memancing percakapan )

Juha :"cieleh bang... lagian mana ada asap,,kalo abang ga nyalain api. . . Gak bakalan ada Reaksi kalo tdk ada aksi. . . Gak bakalan ada bantahan kalo abang ga bid'ahin dan nyela2 amalan orang. ..
Mulut abang aja yg Usil ...

Abu Murokab :"Kami ini Pejuang Sunnah yg senantiasa akan selalu berusaha memurnikan Tauhid2 Aswaja .."

Juha :" Waduuhh .. Tauhid pake dimurnikan segala bang.. Kayak Bensin 2 tax aja ..ada istilah dimurnikan . .

Abu Murokab :" Haaaahh. . Memang susah berbicara dgn Aswaja yg pada taqlid buta sama kyainya.. Mereka terlalu Ta'ashshub alias fanatiq sama madzhab2 nya...

Juha :"ekhem. ..memangnya abang sendiri tdk bermadzhab ?!
Ckckckck. . . Terus.. wudlu sholatnya ngikutin siapa ?

Abu Murokab :" Ane mengamalkan yg termudah dr semuanya.. Karna islam itu mudah ..dan tdk memberatkan hambanya..

Juha :"Ooh kalo itu namanya Talfiq alias tambal sulam bang. . .malah lebih parah itu mah. . .

Abu Murokab :" sudahlah,. Islam itu Dulunya Asing,.dan akhir jaman akan dianggap asing jg,.maka ane berbahagia karena ada dibagian Yang diasingkan.

Juha :"Diasingkan atau mengasingkan diri dr Yang lain bang ?

Abu Murokab :"yg jelas kami adalah Ghuroba.. Yg dimaksud dgn Hadits Nabi Sbg Firqoh Najiyyah..satu2nya firqoh yg Akan Masuk Surga dgn Selamat.. Ekhem,

Juha :"eeeitts Jangan terlalu kepedean gitu dong Bang..
Bukankah Rosul SAW sendiri telah Mewajibkan Supaya kita mengikuti Faham Ulama yang terbanyak ??.. bukan yg Sempalan apalagi yg memisahkan diri !!,, sebagaimana Sabdanya:
إ ِنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ رَأَيْتُمُوهُ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ أَوْ يُرِيدُ يُفَرِّقُ أَمْرَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَائِنًا مَنْ كَانَ فَاقْتُلُوهُ فَإِنَّ يَدَ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ يَرْكُضُ
(رواه النسائي)

"Sesungguhnya akan ada setelahku kejelekan dan kerusakan. Maka barang siapa yang melihat orang yang memisahkan diri dari jama'ah (mayoritas umat Islam) atau ingin memecah urusan (agama) umat Muhammad Saw. yang secara nyata terjadi, maka perangilah. Sesungguhnya rahmat Allah atas jama'ah. Sesungguhnya syetan berlari bersama orang yang memisahkan diri dari jama'ah" (HR. An-Nasa'i).

إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ (رواه ابن ماجة)

"Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul (untuk bersepakat) atas kesesatan. Maka apabila kalian mendapati perbedaan pendapat, hendaklah kalian mengikuti kelompok (ulama) yang terbesar (terbanyak)" (HR. Ibnu Majah).
Hayooo.. masih mau berdiri dlm keasingan ? .. Apa mau berdiri bersama golongan terbanyak menyertai Para Auliya,,Para Ulama,Para Habaib, Kyai,Santri Sholihin dan sederet yg lainnya ??

Abu Murokab :". . . . . . . . . . . . "

Debat Wahabi / Salafi VS NU

Nah, di bawah ini ada anekdot dari perdebatan antara Salafy Wahabi VS NU. Ini memang murni lucu-lucuan, tapi walaupun sekedar humor, namun tetap memiliki kekuatan lebih dari sekedar humor biasa.



Wahabi & Salafi (WS): “Maulid dan tahlilan itu haram, dilarang di dalam agama.”

Nahdlatul Ulama (NU) : “Yang dilarang itu bid’ah, bukan Maulid atau tahlilan, bung!
Selamat mengikuti anekdot ini, dan awas, jangan tegang terus, ah….?
WS : “Maulid dan tahlilan tidak ada dalilnya.”

NU : “Makanya jangan cari dalil sendiri, nggak bakal ketemu. Tanya dong sama guru, dan baca kitab ulama, pasti ketemu dalilnya.”
WS : “Maulid dan tahlilan tidak diperintah di dalam agama.”
NU : “Maulid dan tahlilan tidak dilarang di dalam agama.”
WS : “Tidak boleh memuji Nabi Saw. secara berlebihan.”
NU : “Hebat betul anda, sebab anda tahu batasnya dan tahu letak berlebihannya. Padahal, Allah saja tidak pernah membatasi pujian-Nya kepada Nabi Saw. dan tidak pernah melarang pujian yang berlebihan kepada beliau.”
WS : “Maulid dan tahlilan adalah sia-sia, tidak ada pahalanya.”
NU : “Sejak kapan anda berubah sikap seperti Tuhan, menentukan suatu amalan berpahala atau tidak, Allah saja tidak pernah bilang bahwa Maulid dan tahlilan itu sia-sia.”
WS : “Kita dilarang mengkultuskan Nabi Saw. sampai-sampai menganggapnya seperti Tuhan.”
NU : “Orang Islam paling bodoh pun tahu, bahwa Nabi Muhammad Saw. itu Nabi dan Rasul, bukan Tuhan.”
WS : “Ziarah ke makam wali itu haram, khawatir bisa membuat orang jadi musyrik.”
NU : “Makanya, jadi orang jangan khawatiran, hidup jadi susah, tahu.”
WS : “Mengirim hadiah pahala kepada orang meninggal itu percuma, tidak akan sampai.”
NU : “Kenapa tidak! kalau anda tidak percaya, silakan anda mati duluan, nanti saya kirimkan pahala al-Fatihah kepada anda.”
WS : “Maulid itu amalan mubazir. Daripada buat Maulid, lebih baik biayanya buat menyantuni anak yatim.”
NU : “Cuma orang pelit yang bilang bahwa memberi makan atau berinfak untuk pengajian itu mubazir. Sudah tidak menyumbang, mencela pula.”
WS : “Maulid dan tahlilan itu bid’ah, tidak ada di zaman Nabi saw.”
NU : “Terus terang, Muka anda juga bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi Saw.”
WS : “Semua bid’ah (hal baru yang diada-adakan) itu sesat, tidak ada bid’ah yang baik/hasanah.”
NU : “Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi Saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti anda. Semua itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.”
WS : “Kasihan, masyarakat banyak yang tersesat. Mereka melakukan amalan bid’ah yang berbau syirik.”
NU : “Sudah lah, kalau anda masih bodoh, belajarlah dulu, sampai anda bisa melihat jelas kebaikan di dalam amalan mereka.”
WS : “Saya menyesal dilahirkan oleh orang tua yang banyak melakukan bid’ah.”
NU : “Orang tua anda juga pasti sangat menyesal karena telah melahirkan anak durhaka yang sok pintar seperti anda.”
WS : “Para penceramah di acara Maulid, bisanya hanya mencaci maki dan memecah belah umat.”
NU : “Sebetulnya, para penceramah itu hanya mencaci maki orang seperti anda yang kerjanya menebar keresahan dan benih perpecahan di kalangan umat.”
WS : “Qunut Shubuh itu bid’ah, tidak ada dalilnya, haram hukumnya.”
NU : “Kasihan, rokok apa yang anda hisap? Setahu saya, di dalam iklan, merokok Star Mild hanya membuat orang terobsesi menjadi sutradara atau orator. Sedangkan anda sudah terobsesi menjadi ulama besar yang mengalahkan Imam Syafi’i yang mengamalkan qunut shubuh. Lebih Brasa, Brasa Lebih pinter gitu loh!”

Wahabi adalah Khowarij dan ahli bid’ah menurut pandangan imam Adz-Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah.

Imam Adz-Dzahabi adalah salah satu ulama yang dipercayai oleh wahabi karena beliau juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah yang memuji-muji Ibnu Taimiyyah. Padahal di akhir-akhir hidupnya imam Adz-Dzhabi membebaskan diri dari Ibnu Taimiyyah disebabkan pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah yang banyak menyimpang. Bahkan imam Adz-Dzahabi menulis sebuah risalah khusus menasehati Ibnu Taimiyyah mantan gurunya tersebut.

Kali ini saya akan tampilkan ucapan imam Adz-Dzahabi yang hampir tidak pernah dipublikasikan yang menyatakan bahwa pemahaman wahabi adalah pemahaman Mutanaththi’ (lebay), Khowarij dan Ahlul bid’ah di dalam kitab karya beliau sendiri Siyar A’lam an-Nubala, perhatikan :

قال عبد الله بن أحمد : رأيت أبي يأخذ شعرة من شعر النبي صلى الله عليه وسلم فيضعها على فمه يُقبّلُها . وأحسب أنّي رأيته يضعها على عينيه , ويغمسها في الماء ويشربه يستشفي به . ورأيته أخذ قصعة من شعر النبي صلى الله عليه وسلم فغسلها في جبّ الماء ثم شرب فيها , ورأيته يشرب من ماء زمزم يستشفي به يمسح به يديه ووجهه : قلتُ: أين (المُتَنَطِّع) المُنكِر على أحمد ؟؟ وقد ثبت أن عبد الله سأل أباه عمن يلمَسُ رُمَّانة منبر النبي صلى الله عليه وسلم, ويَمَسُّ الحجرة النبوية, فقال: لا أرى بذلك بأساً. أعاذنا الله وإياكم من رأي (الخوارج) ومن (البدع).

“ Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata “ Aku telah melihat ayahku mengambil sehelai rambut Nabi Saw kemudian meletakkannya dimulutnya dan menciuminya. Aku juga melihatnya meletakkan rambut itu di tengah-tengah kedua matanya kemudian beliau mencelupkannya ke dalam air dan meminum airnya untuk dijadikan obat dengannya. Aku juga pernah melihat ayahku mengambil wadah berisi rambut Nabi Saw lalu ayahku mencucinya di dalam kantong air kemudian meminum dengannya. Aku juga melihat ayahku minum air zamzam berharap sembuh dengannya dan mengusapkannya ke kedua tangan dan wajahnya. Aku (imam Adz-Dzahabi) katakan “ Adakah orang berlebihan yang memungkiri imam Ahmad ? sungguh telah tetap bahwasanya Abdullah telah bertanya pada ayahnya (imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh pegangan mimbar Nabi Saw dan juga menyentuh kamar Nabi Saw, maka ayahku menjawab “ yang demikian itu tidak apa-apa “, semoga kami dan kalian dilindungi Allah dari RO’YU (PAHAM) KHOWARIJ DAN DARI BI’DAH-BID’AH “.

(Siyar A’lam an-Nubala : 11/212)

Minggu, 25 Agustus 2013

Apa pantas mereka dibilang kaum yg nyunnah.?


RIYADH –Tidak diragukan lagi bahwa Wahabi adalah aliran yang diciptakan untuk mendukung kepentingan kerajaan. Ulama wahabi adalah sekelompok manusia yang dengan tanpa pernah merasa berdosa berusaha menghancurkan sendi-sendi tradisi islam yang baik. Mereka anti kepada yang namanya majlis SHOLAWAT yang disitu nama RASULULLAH (saw) dan AHLUL BAYT nya dipuji dan di sanjung. Mereka anti kepada majlis Tahlil dan Istighostah yang didalamnya banyak sekali menyebut asma ALLAH (swt). Dengan mudah mereka membuat hukum bid'ah dan mentakfirkan pemikiran yang tidak sejalan. Sangat ringan mulut mereka berucap bahwa "bercampurnya wanita dan pria yang bukan muhrim dalam suatu tempat adalah haram dan halal darahnya."
.
Pada kenyataannya mereka tidak seperti yang mereka katakan. Wahabi diam seribu bahasa saat melihat kotoran menempel dipelupuk matanya. Wahabi tak punya nyali saat menghadapi kebengisan israel terhadap bangsa Palestina, Wahabi tak memiliki cukup keberanian untuk menentang arogansi Amerika di negeri kaum muslimin. Kenapa bisa begitu ? Ya inilah jawaban nyata tanpa perlu kita untuk bertabayyun mencari kebenarannya.

1-“Foto besar sang raja yang sengaja dipasang pada tembok istana. Kemana ahli fatwa wahabi yang katanya memasang foto itu bid'ah ?? “

http://deleteisrael.pun.bz/files/as1.jpg

2-Foto “Memberi kalung emas kepada obama, (Pembantai rakyat irak, afganistan, libya dan negeri muslim lainnya) disaat hari ulang tahunnya. Sementara pada saat yang sama ulama wahabi melarang dan membid'ahkan peringatan maulid untuk mengenang Rasul saw yang mulia “
http://deleteisrael.pun.bz/files/as2.jpg

3-Foto .“Ber-tasyabbuh bil kuffar. apakah ini ajaran islam ? Saling 'TOAST' antara peminum khamr ? Wahabi diam seperti kerbau melihat hal ini !“
http://deleteisrael.pun.bz/files/as3.jpg

4-Foto .“Lagi al-waleed bin talal bersama ameera al-taweel mengunjungi pesta selebriti diholiwood. Sudah pasti jilbab dilepaskan. Padahal para wanita wahabi diharuskan memakai cadar. nudzubillah..
http://deleteisrael.pun.bz/files/as4.jpg

5-Foto “Pangeran Saudi Bandar bin sultan didampingi seorang wanita panggilan yang di pesan dari negara paman sam“
http://deleteisrael.pun.bz/files/bandar-bin-sultan.jpg

6-Foto “Bandar bin sultan lagi asik bercanda dengan sahabat dekatnya BUSH (anjing israel), pembantai bangsa PALESTINA“
http://deleteisrael.pun.bz/files/as6.jpg

7-Foto “Jendral Khaled bin Sultan, menteri pertahanan arab saudi sedang bersama selingkuhan atau pelacur dalam suatu kunjungannya di event miss universe amerika. Lagi-lagi wahabi bungkam, padahal fatwanya adalah halal darahnya jika pria dan wanita yang bukan muhrim bercampur disatu tempat“
http://deleteisrael.pun.bz/files/as7.jpg

8-Foto Jabat tangan mesra yang bukan muhrimnya bersama PM jerman Angela Markel
http://deleteisrael.pun.bz/files/dul-markel.jpg

9-Foto Ciuman mesra dari wanita israel kepada sang raja saat penyambutan obama di istana al-saud
http://deleteisrael.pun.bz/files/dulmesum.jpg

10-Foto Utsaimin ulama wahabi yang menjadi budak raja abdullah
http://deleteisrael.pun.bz/files/dul-cemen.jpg

Pantaskah mahluk-mahluk terkutuk seperti ini menyebut dirinya 'Khadimul Haramain' ???

KAWIN KONTRAK ALA WAHABI

TEKS FATWA SYEKH BIN BAZ TENTANG “KAWIN DENGAN NIAT TALAQ” [Kawin Kontrak Ala Wahabi]

TEKS FATWA SYEKH BIN BAZ “NIKAH DENGAN NIAT TALAK” yang kami kutip dari buku “Majmuk Fatawa“-nya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang dikenal dengan sebuatan Bin Baz, Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990″

النكاح بنية الطلاق

س 4: سمعت لك فتوى على أحد الأشرطة بجواز الزواج في بلاد

الغربة، وهو ينوي تركها بعد فترة معينة، لحين انتهاء الدورة أو الابتعاث. فما هو الفرق بين هذا الزواج وزواج المتعة، وماذا لو أنجبت زوجته طفلة، هل يتركها في بلاد الغربة مع أمها المطلقة أرجو الإيضاح؟ ج 4: نعم لقد صدر فتوى من اللجنة الدائمة وأنا رئيسها بجواز النكاح بنية الطلاق إذا كان ذلك بين العبد وبين ربه، إذا تزوج في بلاد غربة ونيته أنه متى انتهى من دراسته أو من كونه موظفا وما أشبه ذلك أن يطلق فلا بأس بهذا عند جمهور العلماء، وهذه النية تكون بينه وبين الله سبحانه، وليست شرطا. والفرق بينه وبين المتعة: أن نكاح المتعة يكون فيه شرط مدة معلومة كشهر أو شهرين أو سنة أو سنتين ونحو ذلك، فإذا انقضت المدة المذكورة انفسخ النكاح، هذا هو نكاح المتعة الباطل، أما كونه تزوجها على سنة الله ورسوله ولكن في قلبه أنه متى انتهى من البلد سوف يطلقها، فهذا لا يضره وهذه النية قد تتغير وليست معلومة وليست شرطا بل هي بينه وبين الله فلا يضره ذلك، وهذا من أسباب عفته عن الزنى والفواحش، وهذا قول جمهور أهل العلم، حكاه عنهم صاحب المغني موفق الدين ابن قدامة رحمه الله.

-NIKAH DENGAN NIAT (AKAN) DI TALAQ-

Pertanyaan: Saya mendengar bahwa anda berfatwa kepada salah seorang polisi bahwa diperbolehkan nikah di negeri rantau (negeri tempat merantau), dimana dia bermaksud untuk mentalak istrinya setelah masa tertentu bila habis masa tugasnya. Apa perbedaan nikah semacam ini dengan nikah mut’ah? Dan bagaimana kalau si wanita melahirkan anak? Apakah anak yang dilahirkan dibiarkan bersama ibunya yang sudah ditalak di negara itu? Saya mohon penjelasanya.

Jawab: benar. Telah keluar fatwa dari “Lajnah Daimah”, di mana saya adalah ketuanya, bahwa dibenarkan nikah dengan niat (akan) talak sebagai urusan hati antara hamba dan Tuhannya. Jika seseorang menikah di negara lain (di rantau) dan niat bahwa kapan saja selesai dari masa belajar atau tugas kerja, atau lainnya, maka hal itu dibenarkan menurut jumhur para ulama. Dan niat talak semacam ini adalah urusan antara dia dan Tuhannya, dan bukan merupakan syarat dari sahnya nikah.

Dan perbedaan antara nikah ini dan nikah mut’ah adalah dalam nikah mut’ah disyaratkan masa tertentu, seperti satu bulan, dua bulan, dan semisalnya. Jika masa tersebut habis, nikah tersebut gugur dengan sendirinya. Inilah nikah mut’ah yang batil itu. Tetapi jika seseorang menikah, di mana dalam hatinya berniat untuk mentalak istrinya bila tugasnya berakhir di negara lain, maka hal ini tidak merusak akad nikah. Niat itu bisa berubah-ubah, tidak pasti, dan bukan merupakan syarat sahnya nikah. Niat semacam ini hanyalah urusan dia dan Tuhannya. Dan cara ini merupakan salah satu sebab terhindarnya dia dari perbuatan zina dan kemungkaran. Inilah pendapat para pakar (ahl al-ilm), yang dikutip oleh penulis Al-Mughni Muwaffaquddin bin Qudamah rahimahullah

———fakta di lapangan

Penggerebekan dan penangkapan Polisi Bogor terhadap belasan turis-turis Arab Saudi yang sedang melakukan nikah misyar di Cisarua Puncak menghiasi berita di harian-harian nasional beberapa waktu lalu. Praktek ini sebenarnya bukanlah hal yang baru terjadi tapi sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan mencapai puncaknya pada saat krisis moneter menerpa Indonesia. Puncak kedatangan turis-turis Arab itu biasanya terjadi pada masa musim haji yang menjadi masa liburan panjang di negri mereka.

Nikah misyar (المسيار) adalah praktek pernikahan yang meniadakan kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah. Praktek ini lazim dilakukan di Arab Saudi melalui fatwa dari Sheikh Abdul ‘Azeez ibn Abdullaah ibn Baaz . Walaupun sekilas hampir sama tapi ada perbedaan mendasar antara nikah misyar dan nikah mut’ah. Dalam nikah mut’ah tetap ada kewajiban nafkah & dibatasi waktu, sementara nikah misyar selain meniadakan kewajiban nafkah tapi menghalalkan hubungan suami istri juga tidak dibatasi waktu tertentu seperti nikah mut’ah.

Kalangan Ikhwanul Muslimin juga melegalkan pernikahan model ini yang tercermin dari fatwa Syaikh Dr Yusuf Qardhawi. Di Indonesia kedua kelompok radikal ini juga memiliki pengikut yang cukup besar yang diwakili oleh Jama’ah Salafy/Wahabi yang mengikuti paham bin Baz dan Jama’ah Tarbiyah yang secara politik menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengidolakan Yusuf Qardhawi sehingga praktek ini ditengarai juga marak dilakukan oleh pengikut kelompok ini di Indonesia utamanya di kalangan mahasiswa/i nya. Wallahu a’lam

Menghadapkan telapak tangan kebawah ketika berdoa.

Songgo Jiwo
matur suwun yai..maaf mhn pencerahanya yai tmpt saya sampai selesai qunt prtma sampai wasalallahi'ala sayyidina...dst posisi tangan menengadah keatas lalu bca qnt yg k2. .tanganya menengadah kebawah tdk keatas mkn mksdny menolak apakah emang ada dasarnya klo ada mohn penjelasanya p.yai... ...
Telah disunting · Suka · Hapus · 7 jam yang lalu
====================

Imam Nawawi dalam kitab beliau, "Syarah Shohih Muslim" menjelaskan, Sekelompok ashhab madzhab syafi'i dan ulama' lainnya menyatakan bahwa disunatkan untuk membalikkan kedua telapak tangan saat berdo'a untuk menghilangkan bala' (cobaan). Ketentuan hukum ini didasarkan pada hadits ;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memohon hujan, lalu beliau menunjuk dengan kedua punggung tangannya mengahadap ke arah langit.” (Shohih Muslim, no.895)

Ketentuan hukum ini juga dikuatkan dengan penjelasan sebagian ulama' yang mentafsirkan ayat ;

وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

"Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas." (Q.S. Al Anbiya' : 90)

Kata " roghb" ditafsirkan, berdo'a dengan menghadapkan bagian dalam telapak tangan menghadap keatas, dan kata "rohab" ditafsirkan berdo'a dengan menghadapkan bagian dalam telapak tangan kebawah (dibalik).

Adapun hikmah membalikkan tangan saat berdo'a tolak bala' adalah sebagai simbol permohonan agar keadaan buruk yang sedang menimpa lekas berubah atau agar tidak terjadi bala' pada dirinya. Wallohu a'lam.
Referensi :
1. Syarah Muslim Lin Nawawi, Juz : 6 Hal : 190
2. Subulus Salam, Juz : 1 Hal : 455
3. Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 2 Hal : 158


Ibarot :
Syarah Muslim Lin Nawawi, Juz : 6 Hal : 190

وحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
.......................................
قوله إن النبي صلى الله عليه وسلم استسقى فأشار بظهر كفيه إلى السماء قال جماعة من أصحابنا وغيرهم السنة في كل دعاء لرفع بلاء كالقحط ونحوه أن يرفع يديه ويجعل ظهر كفيه إلى السماء

Subulus Salam, Juz : 1 Hal : 455

وعن أنس - رضي الله عنه - «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - استسقى فأشار بظهر كفه إلى السماء» . أخرجه مسلم) فيه دلالة أنه إذا أريد بالدعاء رفع البلاء فإنه يرفع يديه ويجعل ظهر كفيه إلى السماء، وإذا دعا بسؤال شيء وتحصيله جعل بطن كفيه إلى السماء، وقد ورد صريحا في حديث خلاد بن السائب عن أبيه «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا سأل جعل بطن كفيه إلى السماء، وإذا استعاذ جعل ظهرهما إليها» ، وإن كان قد ورد من حديث ابن عباس «سلوا الله ببطون أكفكم ولا تسألوه بظهرها» ، وإن كان ضعيفا فالجمع بينهما أن حديث ابن عباس يختص بما إذا كان السؤال بحصول شيء لا لدفع بلاء، وقد فسر قوله تعالى: {ويدعوننا رغبا ورهبا} [الأنبياء: 90] أن الرغب بالبطون والرهب بالظهور

Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 2 Hal : 158

قال العلماء السنة في كل دعاء لرفع البلاء أن يرفع يديه جاعلا ظهور كفيه إلى السماء وإذا دعا بسؤال شيء وتحصيله أن يجعل كفيه إلى السماء انتهى وقال غيره الحكمة في الإشارة بظهور الكفين في الاستسقاء دون غيره للتفاؤل بتقلب الحال ظهرا لبطن كما قيل في تحويل الرداء أو هو إشارة إلى صفة المسئول وهو نزول السحاب إلى الأرض

Social Kemasyarakatan dan Akhlak dalam ASWAJA

Social Kemasyarakatan dan Akhlak dalam ASWAJA
Bab I

Pendahuluan

AHLUS SUNNAH WALJAMAAH dan berbagai penyimpangan aqidah yang terjadi ditengah-tengah umat ini, akan dapat memperkokoh aqidah AHLUS SUNNAH WALJAMAAH serta menghindarkan diri dari segala bentuk ajaran yang menyesatkan. Berkata para ulama :

"Barang siapa yang tidak mengetahui suatu keburukan, maka dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya".

Sedangkan di dalam aqidah umat Islam yang ahli sunnah wal jamaah ini, mungkin saja ada perbedaan teknis dalam masalah tata cara ibadah. Perbedaan ini sangat logis, wajar dan
mungkin terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak nabi Muhammad SAW masih hidup di antara para shahabatnya.

Untuk itu lalu para ulama membuat metologi dalam memahami nash Quran dan Sunnah serta membuatkan 'jalan' bagi mereka yang ingin mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber ajaran Islam itu. Jalan inilah yang kita sebut dengan mazhab fiqih. Adapaun bila metodologi yang berkembang berbeda-beda, adalah hal yang amat wajar sekali. Karena memang syariat Islam memberikan ruang untuk berijtihad di dalamnya.

Di antara contohnya adalah adanya perbedaan dalam masalah hukum qunut dalam shalat shubuh, jumlah bilangan rakaat tarawih, bacaan ushalli, zikir dengan suara keras dan berjamaah serta lain-lainnya. Semua itu adalah perbedaan yang bersifat fiqhiyah, bukan dalam hal aqidah. Jadi mereka yang berbeda pendapat dalam masalah itu sebenarnya tetap sama-sama termasuk bagian dari ahli sunnah wal jamaah juga.

Sedangkan yang dianggap keluar dari aqidah ahli sunnah misalnya bila punya pandangan bahwa pemeluk agama selain Islam juga bisa masuk surga, atau pandangan bahwa hukum Islam itu tidak wajib diterapkan, memisahkan antara agama dengan kehidupan dunia dan pemikiran sesat lainnya. Semua ini termasuk paham sesat yang bias mengeluarkan seseorang dari barisan ahli sunnah wal jamaah.

Hal diatas merupakan sedikit refleksi berkaitan tentang pola ajaran teknis aswaja, namun dalam makalah kali ini mencoba untuk memfokuskan pada aspek social dan akhlak dalam ajaran ahlu sunnah wal jama’ah.

Bab II

Pembahasan

Prinsip umum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

1. Akidah.

a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.

b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.

c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.


2. Syari'ah

a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung¬jawabkan secara ilmiah.

b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak

a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.

c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).



4. Pergaulan antar golongan

a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.

b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.

c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.

d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara

a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.

b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.

d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan

a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.

b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al--muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.

b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.

c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.[1]


Beberapa implementasi prinsip

Ketika membicarakan prinsip ahlu sunnah wal jamaah dalam bidang social, tentu tidak menutup kemungkinan menyangkut bidang kenegaraan dan politik secara umum. Disini akan berusaha memaparkan prinsip-prinsip tersebut sebagaimana berikut:
1. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:


فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.


Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan¬-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
1. Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat


1. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak¬hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al¬Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
1. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.[2]

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai¬nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.[3]

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu¬satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.[4]

Kemaslahatan Universal (al-Mashlahah al-‘Ammah)

Al-Quran sebagai rujukan utama fikih Islam mempermaklumkan dirinya sebagai kitab petunjuk (hudan) dan rahmat. Ia juga menyatakan bahwa Nabi SAW diutus ke dunia untuk memberikan rahmat bagi alam semesta. Cita-cita Al-Quran adalah terciptanya sebuah kehidupan manusia yang bermoral yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal.

Setelah melakukan penyelidikan ilmiah terhadap sabda-sabda agama, baik Al-Quran maupun Sunah Nabi SAW, Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, berani menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan fikih. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita syari’ah.[5]

Secara lebih khusus, al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan kemaslahatan ini dalam bukunya yang sangat terkenal, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Ia mengatakan bahwa kemaslahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama baik secara perorangan maupun sebagai kelompok, yaitu memelihara [1] keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama(hifdh al-din); [2] keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdh al-nafs), [3] keselamatan kebebasan berfikir dan berekspresi dari intimidasi (hifdh al-‘aql), [4] keselamatan keluarga dan keturunan (hifdh al-nasl); [5] keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum (hifzdh al-mal). Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan (mafsadah), dan menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan.[6]



Aswaja dan Implementasi Kemaslahatan

Bagi Aswaja, seperti dikemukakan di atas, sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid). Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan (sa’adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma’asy wa ma’ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi.[7]

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kemaslahatan dalam menangkap makna dan semangat agama ialah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab, berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan tentara Muslim di negeri Syam (Syiria Raya, meliputi seluruh kawasan pantai timur laut tengah), Irak, Parsi dan Mesir.

Pendirian Umar untuk mendahulukan pertimbangan kemaslahatan umum daripada nash, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan yang akan datang) mendapat tantangan keras dari beberapa sahabat, antara lain Abdurrahman ibn ‘Auf, Bilal bin Rabah, Zubair bin Awwam, yang lebih berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase, beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari kelompok orang Yahudi yang berhianat. Berangkat dari pertimbangan maslahat, ketika itu, Khalifah Umar menawarkan kebijakan untuk tidak membagi habis tanah fai` yang luas itu pada tentara. Menurutnya, biarlah tanah taklukan itu tetap digarap oleh rakyat setempat (pemilik aslinya) dengan ketentuan mereka harus membayar retribusi (kharaj) tertentu pada negara sebagai imbalan dari kebebasan yang diberikan kepada mereka untuk tetap memeluk agama asli mereka.

Dengan ijtihad ini, Umar bermaksud meraih kemaslahatan sebagai berikut. Pertama, rakyat taklukan tidak perlu kehilangan mata pencaharian, melainkan tetap bisa bekerja di ladang mereka seperti sedia kala untuk memenuhi kebutuhan hidup, diri dan keluarganya. Kedua, dari retribusi yang mereka bayar, negara dapat menambah pendapatan yang bisa dipakai bukan saja untuk memberi tunjangan pada tentara perang yang telah berjuang menaklukkan negeri Iraq tadi, melainkan juga bisa untuk pembiayaan kegiatan kenegaraan dan pemerintahan sehari-hari. Dengan mengacu kepada model ijtihad Umar ini, kiranya jelas bahwa yang cukup mendasar dari bangunan pemikiran fiqh adalah kemaslahatan.

Membaca alur pemikiran Umar diatas, tampaknya ia berupaya untuk menangkap cita kemaslahatan sebagai jiwa syari’at. Sebab, dalam kaca mata Aswaja, bangunan teoritik apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nash maupun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan adalah sah, dan umat Islam berkewajiban untuk memegang dan mengimplementasikannya. Sebaliknya, konstruk teoritik apa pun dan yang bagaimanapun, yang secara terang benderang tidak menopang berlangsungnya suatu kemaslahatan, terlebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam pandangan Aswaja, adalah cacat (fasid), dan umat Islam harus berupaya untuk mencegahnya.

Konsisten dengan paradigma di atas, maka nilai kesahihan suatu pendapat bukanlah diukur dari kesesuaian pendapat itu dengan bunyi ajaran, melainkan seberapa jauh pendapat itu memuat kemaslahatan. Dengan perkataan lain, pertanggungjawaban suatu pemikiran hukum bukan pada bunyi teks (nash) tertentu, tetapi pada; apakah hukum itu dalam kenyataannya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau hanya menyantuni kepentingan sekelompok orang saja. Oleh karena itu, kaidah yang berbunyi idza shahha al-hadits fa huwa madzhabi (apabila suatu hadits (teks ajaran) telah terbukti keshahihannya, maka itulah madzhabku [perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah, kata Masdar, yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran hukum dalam Islam yang lebih mengutamakan bunyi teks ajaran daripada makna substansialnya. Sebagai gantinya, tandas Masdar, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi; idza shahha al-mashlahat fa hiya madzhabi (jika tuntutan kemashlahatan telah menjadi sah, maka itulah madzhabku). Karena itu, selain ditinjau dari segi doktrin, juga perlu dikembangkan metode pendekatan terhadap ajaran dengan melihat dan mengkalkulasi kemaslahatan dan kemudaratan yang akan dilahirkannya.

Dengan model pendekatan yang lebih menekankan pada dimensi kemaslahatan ini, tidak berarti bahwa segi formal dan tekstual dari hukum harus diabaikan. Ketentuan formal-prosedural-tekstual yang sah tetap harus menjadi acuan tingkah laku manusia. Namun, pada saat yang sama, haruslah dipahami bahwa patokan tekstual hanyalah merupakan salah satu cara, sekali lagi yang terikat dengan ruang dan waktu, agar kemaslahatan itu dapat terwujud dalam kehidupan nyata. Sebab, suatu pemikiran betapapun canggih dari sudut teoritik, jika tidak membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia, maka tidaklah terlalu banyak gunanya. Dalam tataran inilah Najmuddin al-Thufi mengatakan, jika terjadi pertentangan antara bunyi ajaran dengan cita kemaslahatan universal, maka didahulukanlah dalil kemaslahatan itu.[8]

Apabila jalan pikiran ini disepakati, maka secara mendasar kita pun perlu meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep qath’iy-dzanniy dalam ushul al-fiqh. Ushul al-fiqh konvensional mengatakan bahwa yang qath`iy adalah sesuatu yang secara tegas ditunjuk dalam nash. Sementara yang dzanniy adalah sesuatu yang petunjuk nashnya tidak tegas, ambigu dan mengandung pengertian yang beragam.

Dalam konteks ini, Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa yang qath`iy dalam hukum Islam--sesuai dengan makna harfiahnya: sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental--adalah teks yang secara substansial menegaskan prinsip-prinsip yang secara nalar memang tidak perlu dipertanyakan lagi, karena ia merupakan kebenaran kategoris yang tegak dengan sendirinya, seperti kemaslahatan umum, penegakan hukum, kesetaraan manusiawi antara lelaki dan perempuan, dan lain sebagainya. Sedangkan teks yang mengandung kebenaran hipotesis, kebenaran instrumental, yang harus diukur dengan dengan prinsip kebenaran kategoris di luar dirinya, itulah yang dimaksud dengan yang dzanniy. Pendeknya, teks dzanniy adalah adalah seluruh ketentuan-ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qath`i tadi.

Kaidah ushul al-Fiqh mengatakan bahwa ijtihad tidah bisa masuk pada daerah yang qath’i (la majala li al-ijtihad fiy ma lahu nash sharih qath’iy). Hudhari Bik mengatakan, al-mujtahad fihi kullu hukmin syar’iyyin, laysa fihi dalil qath’iy. Oleh karena itu, yang perlu diijtihadi adalah hal-hal yang dzanniy, yang tidak pasti, yang memang perlu diperbaharui secara dinamis dengan tetap berlandas tumpu pada yang qath’iy sebagai acuan etisnya yang bersifat statis.[9]

Dengan demikian, sebagai sesuatu yang qath’i, konsep kemaslahatan tidak perlu untuk diijtihadkan. Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya. Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual-subyektif dengan kemashlahatan yang bersifat sosial-obyektif. Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per orang yang bersifat independen, terpisah dengan kepentingan orang lain. Karena sifatnya yang subyektif, maka yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan.

Sedang kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma’). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Quran mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38).

Pengertian Akhlak

Secara kebahasaan perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata bahasa arab akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari perkataan khilqun atau khuluqun yang berarti perangai, kelakuan, watak, kebiasaan, kelaziman, dan peraaban yang baik. Jadi secara kebahasaan perkataan akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia secara universal, laki-laki maupun perempuan, yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian, perkataan akhlak mengacu kepada sifat manusia yang baik dan juga mengcau kenapa sifat manusia yang buruk. Ada akhlak yang baik dan ada akhlak yang buruk. Ada perempuan yang berahklak baik dan ada perempuan yang berakhlak buruk.

Pengertian Etika

Secara kebahasaan perkataan etika berasal dari bahas Yunani ethos yang berarti watak, kesusilaan, atau adapt. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

Pengertian: etika menurut istilah dapat dipaparkan sebagai berikut:

Menurut Ahmad Amin, “etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia."

Menurut Soegarda Poerbakawatja, “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”.

Pengertian Moral

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adapt kebiasaan. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.

Pengertian Susila

Secara kebahasaan perkataan susila merupakan istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta. Su berarti baik atau bagus, sedangkan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Jadi, susila berarti dasar, prinsip, peraturan atau norma hidup yang baik atau bagus. Istilah susila pun mengandung pengertian peraturan hidup yang lebih baik. Selain itu, istilah susila pun mengandung pengertian peraturan hidup yang lebih baik. Selain itu, istilah susila dapat pula berarti sopan, beradab, dan baik budi bahasanya. Dengan demikian, kesusilaan dengan penambahan awalan ked dan akhiran an sama artinya dengan kesopanan.

Kesusilaan dalam pengertian yang berkembang di masyarakat mengacu kepada makna membimbing, memandu, mengarahkan, dan membiasakan seseorang atau sekelompok orang untuk hidup sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Persamaan
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, akhlak, etika, moral dan susila mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangkai yang baik.

Kedua, akhlak, etika, moral dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya. Ketiga, akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi.[10]

Perbedaan
Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud:
Pertama, akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.

Implementasi Nilai-nilai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Adapun pertanyaan bagaimana mangaktualisasikan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan mengimplementasikannya di lapangan menjadi hal yang sangat signifikan untuk mencari jawabanya. Seperti yang kita ketahui bahwa koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdim al-nash ‘ala al-‘aql (menadhulukan nash atas akal).

Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah NU mengenal hierarki sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, lalu al-Sunnah, kemudian ijma’ (kesepakatan jumhur ulama) dan qiyas (pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu). Konteks hierarki maksudnya suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditentukan ketetapannya.[11]

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, aqidah, syari’ah atau fiqh maupun akhlak. Hierarki semacam ini secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Imam Asy’ari ketika memproklamirkan fahamnya didepan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadist dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.

Hooker memberi apresiasi yang tinggi seraya mencatat bahwa NU selalu merasa peduli terhadap metode yang benar dan sangat hati-hati. Dalam mengeluarkan fatwa. Contoh dalam fatwa No. 2/1926 masalah hierarki sumber hukum dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijma’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, jika masih belum berhasil, lalu yang dijadikan rujukan adalah ulama madzhab Syafi’i. regulasi pengambilan sumber semisal ini, kemudian menjadikan NU terkesan konservatisme traditional, yang oleh kebanyakan pemikir “modern” semata-mata diartikan sebagai taqlid. Pemberian atribut seperti ini menurut Hooker sesungguhnya terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan dapat menjadi kekeliruan serius.
Kenyataan bahwa tidak setiap orang mampu secara rinci memahami persoalan-persolan keagamaan, termasuk bagaimana menemukan persoalan-persoalan keagamaan dan menemukan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadist haruslah ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Ini merupakan alasan yang paling kuat mengapa K.H.M Hasyim Asy’ari mewajibkan taklid bagi setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan beritjihad secara mutlak. Sebagai tambahan, kita juga tidak mungkin mengingkari realitas objektif bahwa jumlah orang awam terhadap masalah hukum Islam lebih besar dibanding dengan mereka yang menguasainya, itulah sebabnya mengapa kebutuhan bermadzhab masih relevan.[12]

Sesungguhnya proses pengambilan hukum yang dilakukan ulama pada dasarnya adalah tak dapat melepaskan diri dari meteologi itjihad yang telah dibangun ulama terdahulu, yang berladaskan pada dasar yang kokoh, tidak mulai dari nol, tetapi harus mengikuti para pendahulu dalam hal sistematika pemikirannya, inilah yang dimaksud dengan taklid metodologis/madzhab manhaji) bukan produk pemikirannya yang kemudian dibakukan. Taklid semacam ini tetap membutuhkan sikap kritis, ide-ide segar yang mampu merespons perkembangan zaman, sehingga kesimpulan hukum yang diambil relevan dan mampu menjawab realitas zaman.

Menurut K.H Achmad Shiddiq, faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah harus berlandaskan tiga karakter, yaitu tasawuth, atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan, al-i’tidal atau bersikap tegak lurus dan selalu condong kepada kebenaran dan keadilan, dan al-tawazun yakni sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan Tiga karakter tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan.

Hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari kekukuhan NU memegang prinsip-prinsip keagamaan yang telah dirumuskan ulama terdahulu, diantara prinsip tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah yakni sebuah tradisi yang kemudian menjelma menjadi semacam pranata sosial. Maksudnya adalah rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan mereka. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat qath’i, dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal.

Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi dan selalu aktual ditengah-tengah masyarakat, dan menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Kaum Nahdliyin juga mengenal kaidah dar’u al-mafasaid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang berisiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktifitasnya benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kaidah lainnya yang penting adalah tasharruf al-imam manuthun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya. Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri, karena itu segala kebijakan yang diambil, harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.



Pada dasarnya NU senantiasa cukup responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang terjadi di masyarakat. Mulai disepakatinya konsep tentang prinsip-prinsip dasar pembangunan ummat (mabadi khoiro ummah) dalam Muktamar NU XIII tahun 1953, lalu disempurnakan pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung, tahun 1992. wawasan NU tentang pluralitas masyarakat juga tergambar dalam upaya-upaya perumusan dasar negara pada masa kemerdekaan, penerimaan asas Pancasila bagi organisasi sosial dan kemasyarakatan yang ada di Indonesia. selain itu NU mempunyai Lembaga Bahtsul Masa’il, suatu forum yang membahas masalah-masalah keagamaan kemasyarakatan kontemporer dan berusaha merumuskan solusinya.[13]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah), sebenarnya telah diupayakan oleh NU sejak 1935 dengan konsep Mabadi Khaira Ummah. Tokoh-tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-amanah wa al-wafa bil ‘ahd (dapat dipercaya dan pemenuhan komitmen), al-‘adalah (berlaku adil), al-ta’awun (tolong menolong) dan al-istiqomah (berkesinambungan). Dua hal yang disebut terakhir dilengkapi di Bandar Lampung tahun 1992.
Dalam tatanan implementasi mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar (istilah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dalam al-A’raf 157:…ya’muruhum bi al-ma’ruf wa yanhahum ‘an al-munkar…). Konsep memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khira ummah. Amar ma’ruf mengandung pengertian bahwa setiap orang Islam mempunyai kewajiban moral bagi dirinya dan mendorong orang lain berperilaku positif, berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia baik secara fisik maupun non fisik, melakukan yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang tinggi, sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain.

Interaksi kalangan internal NU dan sikap kebersamaannya yang tinggi dengan masyarakat disekelilingnya. Sudah cukup dikenal, ras persudaraan yang seperti ini yang seharusnya terus terinternalisasi dalam diri warga NU (ukhuwah nahldiyyah). Konsep ukhuwah dalam pengertian persatuan, ikatan batin, tolong menolong, kesetiaan antar ummat manusia dapat melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih sayang telah ditegaskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Sementara itu menurut K.H.M A Sahal Mahfudz, konsep ukhuwah nahdliyyah merujuk kepada Mukaddimah AD/ART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU perlu mengembangkan ukhuwah islamiyyah yang mengemban kepentingan nasional demi terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan dan perdamaian dalam hubungan antar bangsa.
Selanjutnya dalam konteks yang lebih luas, dari interaksi antar individu muslim trercipta ukhuwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim). Dan dari interaksi sesama anak bangsa akan terciptanya ukhuwah insaniyyah (solidaritas kemanusiaan), persaudaraan global sesama manusia.
Selanjutnya, untuk melestarikan konsep Aswaja dalam kehidupan warga NU, adalah menjadi sangat penting untuk meneruskan nilai-nilai tersebut bagi generasi muda NU antara lain melalui kurikulum yang disusun untuk sekolah-sekolah NU. Dalam upaya memenuhi kebutuhan ini Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU telah menerbitkan buku untuk keperluan dimaksud, yakni Mata Pelajaran Pendidikan Ahlusunnah Waljama’ah (Aswaja) dan ke-NU-an Standar Kompetensi. Namun nampaknya diperlukan tindak lanjut untuk menyiapkan buku ajar bagi masing-masing levelsekolah[14].

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Prinsip umum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mencakup Akidah, syari’ah, akhlak, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara, kebudayaan dan dakwah. Dari masing-masing point tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari warga ahlus sunnnah wal jama’ah yang di Indonesia di akomodir oleh organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama.

Berbicara aktualisasi paham ahlus sunnnah wal jama’ah dalam kehidupan sosial, tidak bisa dilepaskan dari tatanan bernegara dimana secara paham mempunyai prinsip sendiri. Di antara implementasinya adalah: Prinsip Syura (Musyawarah), Al-'Adl (Keadilan), Al-Hurriyyah (Kebebasan), Al-Musawah (Kesetaraan Derajat).

Disemua ajarah dan prinsip ahlus sunnnah wal jama’ah diatas mempunyai cirri khas dalam mengimplementasikan setiap nilai-nilainya sesuai konteks yang ada dalam kehidupan tanpa menghilangkan kultur dan ajaran yang telah ada.

Daftar Pustaka:

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit Universitas Indonesia, 2002).

Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat,, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Buku I), h. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999)

KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995)

HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979

KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976

KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya



[1] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979


[2] KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hal 21-26


[3] KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hal 40


[4] KH. Said Agil Siradj, op. cit, hal 28


[5] KH. A. Muchith Muzadi, op, cit, hal; 24


[6] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hal. 21


[7] KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya, hal 68


[8] Ibid, hal 98-115


[9] Ibid, hal 135-143


[10] KH. Saefudin Zuhri, hal 114-124


[11] Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi Diningrat,, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Buku I), h. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 61


[12] KH. Said Agil Siradj, hal 134-159


[13] Ibid, hal 156-170


[14] Ibid hal 190-214

Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi

Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma’ had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.

Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.

***
Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)

Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt.
Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau’idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.

Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.
Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam.
***
Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.

Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.
Wallahualam. **