Selasa, 20 Agustus 2013

Benarkah Allah berada di langit berdasarkan hadits shahih ???



Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat [5]:

وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang
kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra).

Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits [6]; 

1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.

2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;

1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi [7].

Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguh nya ia adalah seorang yang beriman”.
Samahalnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”.
Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasn ya.
Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.

2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain.
Bahkan menurut DR. Umar Abdullah Kamil terjadi perbedaan riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah bin Hakam sendiri. Sebagaimana penjelasan berikut:
DUA RIWAYAT YANG BERSUMBER DARI MU`AWIYAH BIN HAKAM:
RIWAYAT PERTAMA [8] Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Muslim diatas dengan menggunakan redaksi:

فقال لها: أين الله ؟ قالت: في السماء. قال: من أنا ؟ قالت: أنت رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Beliau (Rasul Saw.) kemudian bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)

RIWAYAT KEDUA

أوردها الذهبى وذكر سندها الحافظ المزى من طريق سعيد بن زيد عن توبة العنبرى عن عطاء بن يسار قال حدثنى صاحب الجارية نفسه -يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه: ( فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده إليها وأشار إليها مستفهما: (من فى السماء؟) قالت: الله
Diriwayatkan oleh Imam Al Dzahaby dan ia menyebutkan bahwa pada sanad riwayat ini terdapat al Hafiz Al Mizziy dari jalur Sa`id bin Zaid dari Taubah al `Anbarry dari Atha` bin Yassar, ia berkata:
disampaikan kepadaku oleh pemilik budak -mengisyar atkan kepada Mu`awiyah Bin Hakam- dan menyebutkan hadits, dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah”

Untuk mengkaji lebih jauh tentang jalur-jalur hadits secara komprehensif, silahkan rujuk kitab al `Uluww, Imam Dzahaby, Kitab Tauhid, Ibnu Khuzaimah dan syarah-syarah dari kitab Al Muwatha`, Imam Malik. [9]

Sebagaimana diketahui pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budak wanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari periwayat hadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.! [10]
Sanad hadits ini insya Allah berderajat hasan. Sa`id Bin Zaid merupakan periwayat hadits yang tsiqah dan beliau merupakan salah seorang rijal Imam Muslim.
Beliau juga dinyatakan tsiqah oleh: Ibnu Ma`in, Ibnu Sa`ad, Al `Ajaly dan Sulaiman Bin Harb. Imam Bukhari dan Al Darimy berkomentar tentangnya : “Ia adalah seorang yang sangat bisa dipercaya dan ia adalah seorang yang hafiz”.
Meskipun Yahya Bin Sa`id dan yang lainnya menyatakan nya sebagai seorang periwayat yang dha`if. Oleh karena itu hadits yang diriwayatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriatkannya tidak akan turun, kecuali kepada derajat hasan.
Pada riwayat pertama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat Hilal Bin Ali Bin Usamah (Hilal Bin Abi Maimunah).
Abu Hatim berkomentar tentangnya “Beliau merupakan seorang syaikh yang ditulis hadits-haditsnya”.
Imam Nasa`i juga mengomentari: “ tidak apa-apa dengannya, artinya sanad darinya adalah berderajat hasan”.
 
Sebagaimana juga diisyaratkan oleh Al Hafiz Ya`cub Bin Sofyan Al Qasawy. Al Hafiz Ibnu `Abdil Barr pun berkomentar senada dengan itu. [11]
Dari dua riwayat ini tidak bisa dielakkan bahwa terjadi idlthirab (keraguan karena banyak versi) di dalam riwayat dan tentang kepastian adanya lafaz “ dimana Allah?”
Begitu juga dengan pernyataan : “ berada di langit”. Keduanya merupakan redaksi yang bersumber dari periwayat hadits.

Sangat perlu dipahami bahwa periwayat hadits, Mu`awiyah Bin Hakam bukanlah seorang ulama, bukan seorang fuqaha di kalangan sahabat serta jarang menyertai Rasul Saw.
sehingga tidak mempelajari banyak ilmu secara lebih mendalam.
Bahkan sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadits pada sahih Muslim di awal, “saya baru saja terlepas dari kaum jahiliyah dan masuk islam”.
 
Ketika itu beliau tidak tahu bahwa menjawab (mendo`akan) orang yang bersin dapat menyebabkan batal shalat dan berbicara dengan orang lain juga membatalkan shalat. Oleh karena itu beliau belum memahami syariat -yang di dalamnya termasuk masalah tauhid- secara lebih matang.
Tentang keadaan periwayat hadits, Muawiyah Bin Hakam ini, akan semakin jelas ketika kita melakukan komparasi dengan riwayat hadits lain, yang diriwayatkan bukan melalui jalur beliau. [12]
Selanjutnya mari kita perhatikan pemaparan Imam Baihaqi: Ada riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab sunan kubra di dalam Bab zhihar pada sub bab “membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwa dirinya telah beriman”.

Riwayat ini dari jalur `Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Uthbah dari Abu Hurairah;

عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَة ٍ سَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَت ْ إِلَى السَّمَاءِ بِإِصْبَعِ هَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَت ْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَ ا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ ».
Dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw: Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskan seorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita): “dimana Allah?” kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi kepadanya “dan saya siapa?” Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “engkau adalah seorang utusan Allah”.

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: “Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman”. [13]
Jika melihat kepada keumuman riwayat, ini sama dengan riwayat yang sebelumnya , menceritakan tentang kisah yang sama dan di dalam riwayat juga disebutkan bahwa ada redaksi:

فمد النبى صلى الله عليه وسلم يده اليها وأشار اليها مستفهما وقال (من فى السماء) قالت: الله
Berarti dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua sisi dan redaksi yang didakwakan sebenarnya tidak ada. Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali menambahkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul Saw. karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul Saw. ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkaka terhadapnya [14].
 
Isyarat ini selain menujukkan bahwa budak adalah seorang yang bisu juga mengisyaratkan bahwa si budak adalah seorang non arab sebagaimana disebutkan oleh sebagian riwayat.
Isyarat ke langit ini juga adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang awam dan mereka tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan Tuhan mereka.
Jikalaupun dialog ini benar terjadi sesuai dengan redaksi pada Sahih Muslim, maka Rasul Saw.
menyetujui dialog ini sebagai perwujudan metode dakwah yang menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuan akal mereka [15]

Bagaimana mungkin kita berpegang kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak adanyg kepada riwayat yang menjadi perbincangan sepanjang sejarah ini dan realitanya menyatakan tidak adanya redaksi dari Rasul Saw. dan budak secara tegas dan pasti, seperti yang didakwakan?! [16]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar