Banyak orang salah mengartikan makna hadits berikut ini, dengan adanya
salah penafsiran tersebut mereka mudah meng haramkan atau mensesatkan
amalan-amalan orang hidup yang ditujukan pahalanya untuk orang yang
mati.
Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad:
عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ (رواه ابو داود)
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga
hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang
shalih yang mendo’akannya”.
Golongan pengingkar berkata: Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya)
pada hadits tersebut menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang
tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat, karena sebenarnya yang dimaksud
hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus
amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini
bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih
hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan dalam hadits
tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan
do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh.
Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdo’a untuk orang yang
masih hidup. Malah ada hadits Rasul- Allah saw. bahwa para Nabi dan
Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt. didalam kuburnya.
Dalam syarah Thahawiyah halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits
tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk
memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amal-
nya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah milik orang yang mengamal
kannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah
pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah
pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang berarti bahwa amalan-amalan orang yang
hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin
untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya yang mana do’a ini
akan diterima oleh Allah swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala
haji, pahala puasa dan sebagainya (baca haditsnya dihalaman
selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama muslimin baik yang
masih hidup maupun yang sudah wafat sebagaimana yang tercantum pada ayat
Ilahi Al-Hasyr.10 .
Begitu juga pendapat sebagian golongan yang mengikat hanya do’a dari
anak sholeh saja yang bisa diterima oleh Allah swt. adalah pikiran yang
tidak tepat baik secara naqli (nash) maupun aqli (akal) karena hal
tersebut akan bertentangan juga dengan ayat ilahi dan hadits-hadits Nabi
saw. mengenai amalan-amalan serta do’a seseorang yang bermanfaat bagi
si mayit maupun bagi yang masih hidup.
Mengapa dalam hadits ini dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah
yang bakal selalu ingat pada orang tuanya dimana orang-orang lain telah
melupakan ayahnya. Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau
mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu berarti tidak termasuk
sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah pasti serta selalu (kontinu)
menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud makna dari hadits
ini, dengan demikian hadits ini tidak akan berlawanan/berbenturan
maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan sampainya
pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji,
sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga
mengenai amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat selama dua hal ini
masih diamalkan oleh manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu
(kontinu) menerima juga syafa’at darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran golongan pengingkar yang hanya mem-
batasi do'a dari anak sholeh yang bisa sampai kepada mayyit, bagaimana
halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak
punya anak ini tidak bisa mendapat syafa'at/manfaat do'a dari amalan
orang yang masih hidup? Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat
jenazah, apakah tidak akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi
penafsiran dan pembatasan hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi
si mayyit adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan
hadits-hadits shohih mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat
buat si mayyit.
Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’
ulama bahwa ‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya
dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak
’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati
dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 3/218: ‘ Dan sedekah untuk mayyit
dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya
ataupun dari yang selainnya’
Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
وَالآخَرُ عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى اَدَعُهُ اَبَدًا.
“Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas.
Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya)
untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.)
dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal
demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”. (HR
Turmudzi).
Aisyah ra mengatakan bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan
seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari
Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi
menyembelihnya”. (HR. Muslim)
Begitu juga hadits yang senada diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah
shalat 'Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah selesai shalat
beliau di- berikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya
mengucapkan:
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina
Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari
Nabi saw. untuk diri beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk
segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala
amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat
ber- qurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri
didunia ini.
Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas
ini dengan katanya: ‘Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang
boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta
menyatukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita
dan madzhab jumhur’.
Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengkomentari hadits diatas
tersebut dengan katanya; “Do’a Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi
menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini merupa- kan
pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari
amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau saw. tersebut berarti
berpegang dengan tali yang teguh”.
Juga sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugur kan
tanggungan mayyit walaupun pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang
lain yang bukan dari keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan
oleh Abi Qatadah dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar
dua dinar. Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi
saw. bersabda: ‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
Walaupun cukup banyak hadits yang membolehkan amalan orang yang hidup
(hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna untuk si mayit tanpa
menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi ada golongan yang berbeda pen-
dapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang
membedakan antara ibadah badaniyah (jasmani) dan ibadah maliyah (harta).
Mereka berkata; pahala ibadah maliyah seperti sedekah dan haji sampai
kepada mayit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan
Alqur'an tidak sampai. Mereka berpendapat juga bahwa ibadah badaniyah
adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain,
sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah
tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulallah saw.: ‘Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk
mengganti- kan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum
(puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan
untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa'i)
Makna hadits terakhir ini ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar
maka si A minta pada Si B untuk menggantikannya, inilah yang di larang
oleh agama. Karena orang yang masih hidup harus menunaikan sholat dan
puasa sendiri-sendiri tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih hidup tidak mampu puasa lagi arena
alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama umpama sudah tua sekali
atau mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh
digantikan oleh orang lain tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus
mengeluarkan sedekah untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800
gram).
Dengan demikian hadits terakhir diatas ini tidak tepat sekali untuk
digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah badaniyah yang pahala
amalannya di hadiahkan kepada orang yang telah wafat. Karena cukup
banyak hadits Rasulallah saw. baik secara langsung maupun tidak langsung
yang mem- bolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah
wafat baik itu berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.
Ada golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala baik itu
ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah akan sampai kepada simayyit
umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan hutang setelah wafat,
sedekah dan lain-lainnya dengan mengqiyaskan hal ini pada
hadits-hadits Nabi saw mengenai sampainya pahala ibadah puasa, haji,
sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk
muslimin yang telah wafat dan sebagainya. Golongan ini berkata: "Pahala
adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama
muslim maka hal itu mustahab/baik sebagaimana tidak adanya larangan
menghadiahkan harta untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan
hutang setelah wafatnya".
Begitupun juga tidak ada dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an
tidak akan sampai pada si mayit. Jadi dengan banyaknya hadits dari
Nabi saw. mengenai sampainya pahala amalan atau manfaat do’a untuk si
mayit bisa dipakai sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan
Al-Qur’an pada si mayit. Sayang sekali kalau hal ini kita remehkan dan
tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia Ilahi tidak ada batasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar