DPP HTI menganggap keliru
pernyataan Ustadz Muhammad Idrus Ramli bahwa yang diwajibkan itu bukan
khilafah tapi imamah, yang artinya secara umum adalah kepemimpinan, dan
tidak harus bernama khilafah.
Untuk menanggapi komentar DPP HTI tersebut maka perlu kami
jelaskan bahwa dalam buku saya tidak ada pernyataan seperti itu. Tetapi
meskipun demikian, pandangan yang menyatakan bahwa yang diwajibkan dalam
Islam adalah mengangkat seorang pemimpin tanpa harus bernama khilafah,
lebih kuat dalilnya dari pada pandangan HTI yang mengharuskan
kepemimpinan harus bernama khilafah, berdasarkan beberapa alasan.
Pertama, dalam hadits Nabi telah dinubuwatkan bahwa kepemimpinan khilafah hanya berjalan 30 tahun
sejak wafatnya beliau. Selanjutnya umat Islam akan dipimpin oleh sistem
kerajaan. Hal ini sebagaimana keterangan yang akan kami kemukakan pada
bagian berikutnya. Berdasarkan hadits tersebut, banyak ulama salaf
memakruhkan menyebut khaiifah untuk para penguasa setelah Sayidina Hasan
bin Ali radhiyallahu 'anhuma.Dalam konteks ini, al-lmam al-Qalqasyandi
(756-821 H/1355-1418 M) berkata:
وأما من ينطلق عليه اسم الخليفة فقد ذهب جماعة من أئمة السلف منهم أحمد بن حنبل رحمه الله إلى كراهة إطلاق اسم الخليفة على من بعد الحسن بن على رضي الله عنهما فيما حكاه النحاس وغيره محتجين بما رواه أبو داود والترمذي من حديث سفينة أن رسول الله صلى الله عنه وسلم قال الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك قال سعيد بن جهمان ثم قال لى سفينة أمسك خلافة أبي بكر وخلافة عمر وخلافة عثمان ثم قال أمسك خلافة علي وخلافة الحسن فوجدناها ثلاثين سنة قال سعيد فقلت له إن بني أمية يزعمون أن الخلافة فيهم قال كذب بنو الزرقاء هم ملوك من شر الملوك
"Adapun orang-orang yang dapat menyandang nama khalifah, makasekelompok dari para imam generasi salaf, antara lain Ahmad bin Hanbal rahimahullah, berpendapat memakruhkan mengucapkan nama khalifah untuk para penguasa setelah Sayidina Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma". (maksudnya sejak Mu'awiyah bin Abi Sufyan)-,dalam informasi yang diceritakan oleh Imam al-Nahhas dan lainnya. Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidzi, dari Safinah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Khilafah setelahku berjalan selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu adalah kerajaan". Sa'id bin Jumhan berkata: "Lalu Safinah berkata kepadaku: "Hitunglah masa khilafahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian hitunglah masa khilafahnya Ali dan Hasan bin Ali. Maka akan kita dapati semuanya tiga puluh tahun". Sa'id berkata:"Aku berkata kepada Safinah: "Sesungguhnya orang-orang Bani Umayyah berasumsi bahwa khilafah ada pada mereka". Safinah menjawab: "Mereka telah berbohong. Sebenarnya mereka para raja, dan termasuk seburuk-buruk para raja. (Al-Qaiqasyandi, Ma'atsir al-lnafah fi Ma'alim al-Khilafah, (Beirut, 'Alam al-Kutub, 1985), juz 1, hal. 12, (edisi Abdussattar Ahmad Farraj).
Kedua,dalam sekian banyak hadits juga dikemukakan bahwa
umat Islam harus tunduk patuh terhadap pemimpin mereka, selama tidak
memerintahkan kemaksiatan. Dalam hadits-hadits tersebut juga
diisyarat-kan, bahwa kepemimpinan yang harus ditaati tersebut bukan
kepemimpinan khilafah, akan tetapi kepemimpinan yang sewenang-wenang
atau kerajaan.
Ketiga,dalam kitab-kitab fiqih juga dikemukakan bahwa yang
diwajibkan itu memang mengangkat seorang imam, yaitu seorang pemimpin
secara umum, tanpa harus bernama khilafah. Hal ini sebagaimana diketahui
dengan sedikit membaca kitab-kitab fiqih. Memang DPP HTI mengutip
pernyataan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu' Syarhal-Muhadzdzab juz XXI/26,
bahwa khilafah, imamah dan imarah itu termasuk kosa kata yang mutaradif (sinonim). Tetapi adadua hal yang tidak dipahami oleh HTI; yaitu:
- Istilah mutaradif tersebut bersifat kebahasaan (lughawi) saja,sementara dalam segi aplikasi para ulama, ketiga kosa kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Setiap khalifah pasti dikatakan imam, tetapi imam belum tentu khalifah, sebagaimana dapat dipahami dari keterangan kitab al-Majmu' secara lengkap, dan bukan sepotong.
- Kitab al-Majmu' juz XXI itu bukan tulisan Imam an-Nawawi, tetapi tulisan ulama kontemporer yaitu Syaikh Muhammad Najibal-Muthi'i. Jadi, dalam hal ini DPP HTI keliru dua kali.
Keempat, para ulama menyatakan bahwa wajibnya mengangkat
seorang imam itu ketika umat Islam mampu melakukan dan mungkin
dilaksanakan, sebagaimana ditegas-kan olehImam al-Haramain al- Juwaini
dalam al-Ghiyatsi,dan telah kami kutip dalam buku Hizbut Tahrir dalam
Sorotan. Al-lmam al-Hafizh Abu Amr al-Dani al-Maliki al-As/ari,
(371-444H/981- 1053 M), seorang pakar hadits dan qira'at dari Andalusia,
berkata:
وإقامة الإمام مع القدرة والإمكان فرض على الأمة لا يسعهم جهله،
والتخلف عنه، وإقامته إلى أهل الحل والعقد من الأمة دون النص من رسول الله
صلى الله عليه وسلم
"Mengangkatseorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi
wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh
ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan ahlul halli
wal 'aqdi dari umat, bukan berdasarkan nashdari Rasulullah SAW.
(Al-Hafizh Abu Amr al-Dani,al-Risalah al-Wafiyah, (Dar Ibn al-Jauzi,
Riyadh 1429 H), hal.130, (edisi Muhammad bin Sa'id al- Qahthani).
Kelima,ketika umat Islam tidak mampu mengangkat seorang
pemimpin tunggal, karenastruktur sosial dan politik umat Islam yang
telah berubah dan tidakmemungkinkan terangkatnya seorang pemimpin
tunggal, seperti yang terjadi padazaman sekarang, para ulama membenarkan
terjadinya banyak kepemimpinan politikdi setiap daerah yang
memungkinkan. Imam al- Haramain al-Juwaini (419-478H/1028-1085 M)
berkata:
قال بعض العلماء: لو خلا الزمان عن السلطان فحق على قطان كل بلدة
وسكان كل قرية أن يقدموا من ذوي الأحلام والنهى، وذوي العقول والحجا من
يلتزمون امتثال إشاراته وأوامره، وينتهون عن مناهيه ومزاجره؛ فإنهم لو لم
يفعلوا ذلك، ترددوا عند إلمام المهمات، وتبلدوا عند إظلال الواقعات
"Sebagian ulama berkata: "Apabila suatu masa mengalami
kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap
desa, hams mengangkat di antara orang-orang yang memiliki kecerdasan
dan pemikiran, seseorang yang dapat mereka ikuti petunjuk dan
perintahnya, dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak
melakukan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi
persoalan penting dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sedang
terjadi." (Imam al-Haramain al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi lltiyats al-
Zhulam, (MaktabahImam al-Haramain, Kairo, 1401 H), hal. 386-387, (edisi
Abdul 'Azhim al-Daib).
Pernyataan di atas memberikan penjelasan tidak wajibnya
memperjuangkan imamah (kepemimpinan tunggal), ketika situasi tidak
memungkinkan dan umat Islam terpecah-belah menjadi banyak negara yang
berdaulat seperti dewasa ini. Hanya saja kajian fiqih agak mendetil
seperti ini kurang dipahami oleh kalangan DPP HTI, karena tersembunyi di
balik sekian banyak statemen dan pandangan ekstrem dan radikal Syaikh
al-Nabhani,
pendiriHizbut Tahrir dalam kitab-kitabnya. La haula walaquwwata ilia billah.
Dikutip dari buku 'Jurus Ampuh Membungkam HTI' oleh: Muhammad Idrus Ramli, hal 4-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar