Thaghut dari segi etimologi berarti “melampaui batas.” Dari segi
terminologi, thaghut mempunyai beberapa pengertian sesuai pendapat
para ulama: setan, al-kahin (dukun), tandingan-tandingan selain Allah,
berhala-berhala, dan segala sesuatu yang dengannya seorang hamba melampaui
batas, baik berupa yang diibadahi, yang diikuti, atau yang ditaati.
Siapakah thaghut?
Apakah pemerintah dan aparatnya, mulai dari Presiden, menteri, gubernur,
bupati, camat hingga ketua RT, bisa disebut thaghut? Apakah pegawai
negeri seperti guru, dosen, pegawai rumah sakit yang menolong orang melahirkan,
pegawai kantor pos yang mengantar surat, pegawai PLN yang mencatat rekening
listrik, pegawai dinas kebersihan yang mengutip sampah setiap pagi,
Polisi yang berjemur menjaga lalu lintas di tengah jalan, TNI yang membangun
jalan dan jembatan di desa, ustadz dan ulama yang berkhutbah di masjid-masjid,
anak-anak sekolah mulai dari SD hingga SMA dan mahasiswa, bisa disebut thaghut?
Kalau jawabnya “ya”,
berarti kita semua adalah “thaghut”. Itu berarti, Islam semakin tumbuh sebagai
tragedi kemanusiaan ketimbang sebagai “rahmat”, juga serta merta menyuguhkan
suasana traumatik di kalangan umat beragama. Berarti ada yang salah dalam
pemahaman beragama kita, sehingga kita salah kaprah dalam memahami
istilah-istilah yang diproduksi ajaran Islam. Kerancuan ini sekaligus
menjadikan istilah-istilah itu sebagai doktrin dan agitasi yang menimbulkan
radikalisasi dan perpecahan.
Tetapi demikianlah,
dengan doktrin, semuanya bisa “dibereskan”. Mengapa doktrin? Karena masih ada
pemimpin-pemimpin di jaringan underground yang bisa memberikan
pengaruh kepada rekrutan-rekrutan baru. Apalagi doktrin dan agitasi dengan
menggunakan bahasa agama sulit dideteksi dan juga tidak ada undang-undang yang
bisa menjerat mereka yang menganjurkan kebencian atau perbuatan teror.
Gerakan Islam dengan
karakter-karakter “radikal” atau “ekstrim” jelas sarat dengan kekerasan dan
cenderung menghalalkan agitasi dan peperangan. Gerakan Islam seperti ini pun
kemudian mengagitasi umat secara ideologis dengan mengacaukan gambaran
perjuangan Islam yang hakiki, mempersulit perjuangan dengan mengusung
interpretasi yang “salah” terhadap simbol-simbol Islam. Tidak heran bila
kejadian-kejadian teror yang marak belakangan ini serta merta dikaitkan dengan
kelompok jihadis yang mengusung kekerasan sebagai basis penghayatan dan
applikasi beragamanya. Ambil contoh JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid) yang
berideologi “jihad dan dakwah” lebih mengedepankan indoktrinasi dan brain
washing (cuci otak) ketimbang nilai-nilai moral dan humanisme ajaran
Islam. Akibatnya, semua orang yang berseberangan dengan pemahaman mereka
dianggap “thaghut” dan musuh yang harus dihabisi melalui aksi-aksi kriminal
yang dijustifikasikan sebagai ajaran Islam seperti “ightiyalat” (operasi
membunuh aparat) dan “isytisyhadiah” (bom bunuh diri).
Konsep “thaghut”
ditafsirkan secara sepihak, seolah-olah thaghut bermakna tunggal,
yaitu penguasa yang zalim, korup, menindas dan tidak adil. Pemerintah dan semua
aparatur negara dijadikan target tuduhan kafir, musyrik.
Padahal, hingga hari ini, tak ada satupun definisi thaghut yang dapat
disepakati oleh semua pihak, baik ulama terdahulu (salaf) maupun ulama
kontemporer (khalaf). Artinya, telah terjadi ikhtilafan katsiran
(perbedaan pendapat yang banyak) sejak dahulu dalam memaknai thaghut.
Oleh karena hal itu telah menjadi ajang konflik dan medan pertarungan
pemikiran, maka tidak ada siapapun yang berhak memberikan justifikasi dan
mengklaim interpretasinya yang paling benar atau mempunyai legalitas di sisi
syari’at. Tentu saja pendapat segelintir orang tidak bisa menjadikan yang haram
itu halal, namun fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa pendapat ulama dalam hal
ini tidaklah tunggal.
Kesalahan dalam
memahami pengertian thaghut berpengaruh dalam gerakan jihadis berhaluan keras.
Jadi, radikalisme yang hadir di Indonesia bukan semata-mata sebagai fenomena
impor tetapi salah kaprah di dalam memahami konsep politik Islam. Artinya,
pemanipulasian konsep thaghut menjadi pendorong aksi-aksi teror
mereka.
Para ekstremis dan
teroris religius, meminjam istilah John L. Esposito, telah memperkuat kepercayaan
ini tatkala mereka dengan bebasnya mendeklarasikan jihad untuk mensahkan
serangan-serangan terhadap pembunuhan semua orang yang tidak sependapat dengan
mereka. Gerakan jihad
semacam ini tidak mendapat dukungan luas dari umat
keseluruhan.
Maraknya gerakan
radikalisme dalam masyarakat Muslim secara langsung memperteguh citra lama
tentang Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan intoleran.
Kesan ini sulit dibantah, karena gelombang radikalisme Islam telah menjadi
bagian penting dari rentetan kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini.
Meskipun demikian, sulit pula membenarkan pandangan yang umumnya tersebar dalam
media massa Barat bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam. Karena
ciri utama agama ini sebenarnya adalah rahmatan lil ‘alamien, bukan ghadhab
(radikalisme) dan irhab (terorisme).
Bagi anda yang mengatakan Pemerintah itu Thaghut apakah
punya buku nikah? coba cek gambar di halaman depan! maka jelas anda juga
pengikut Thaghut!
|
Bagi anda yang mengatakan Indonesia
itu negara Thaghut apakah punya KTP? coba cek gambar di bagian belakang.
Ternyata anda juga punya kartu anggota thaghut!
|
Sumber dari ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar