Mas’alah:
Bagaimana hukumnya mengerjakan
proses bayi tabung. Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan dari
persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mania tau sperma laki-laki dan sel
telur wanita, lalu dimasukan kedalam suatu alat dalam waktu beberapa hari
lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan
kedalam rahim ibu.
Jawab:
Hukumnya
tafsil sbb:
- Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
- Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.
- Bila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.
Keterangan:
- Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’
- Tentang anak yang dihasilkan dari sperma, tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani terdapat perbedaan pendapat antara imam ibnu hajar dan imam romli
- Menurut imam ibnu hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq ( baik muhtarom atau tidak ) sedang menurut imam romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik mani dengan syarat keluarnya mani tersebut harus muhtarom.
Dasar
pengambilan Dalil:
- Al-jami’ul Shoghir hadis no. 8030
مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم
لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير 8030
Terjemah:
Tidak ada dosa yang lebih besar
setelah syirik (mensekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang
laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. ( HR. ibnu
abiddunya dari hasyim bin malik al-thoi)
- Hikmatu Tasyri’wal Safatuhu, II : 48
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه
Terjemah:
Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan
tanaman (rahim) orang lain.
- Al-Qolyubi, IV : 32
ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ (
لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ
لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ.
Terjemah:
Apabila seoarang perempuan datang
dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan
dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena
bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang tidak
haram (suaminya).
( وَلَوْ أَتَتْ
بِوَلَدٍ عَلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ ) مَعَ إمْكَانِ كَوْنِهِ مِنْهُ (
لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَهُ ،
وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ وَطَرِيقُ نَفْيِهِ اللِّعَانُ
الْمَسْبُوقُ بِالْقَذْفِ فَيَلْزَمَانِ أَيْضًا وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ قَذْفُهَا
إذَا عَلِمَ زِنَاهَا ، أَوْ ظَنَّهُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي جَوَازِهِ ، وَإِلَّا
فَلَا يَقْذِفُهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ قَالَهُ
الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ ( وَإِنَّمَا يَعْلَمُ ) أَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْهُ (
إذَا لَمْ يَطَأْ ) ( أَوْ ) وَطِئَ وَ ( وَلَدَتْهُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ
مِنْ الْوَطْءِ ) الَّتِي هِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( أَوْ فَوْقَ أَرْبَعِ
سِنِينَ ) الَّتِي هِيَ أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ ( فَلَوْ وَلَدَتْهُ لِمَا
بَيْنَهُمَا ).[1][5]
- Bujairimi Iqna’ IV : 36
( الحاصل ) المراد
بالمنى المحترام حال خروجه فقط على ما اعتمده مر وان كان غير محترم حال الدخول،
كما اذا احتلم الزوج وأخذت الزوجة منيه فى فرجها ظانة أنه من منىّ اجنبى فإن هذا
محترم حال الخروج وغير محترم حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت الزوجة قبل الوطء
على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر أن يكون محترما فى الحالين كماقرره شيخنا.
Terjemah:
(kesimpulan) yang dimaksud mani
muhtarom (mulya) adalah pada waktu keluarnya saja, seperti yang dikuatkan imam
romli, meskipun tidak muhtarom padawaktu masuk. Contoh : suami bermimpi keluar
mani, dan istrinya mengambilnya ( air mani tersebut) lalu dimasukan kefarjinya
dengan persangkaan, bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan
suaminya) maka hal ini dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom
waktu masuknya kefarji, dan dia wajib punya iddah (masa penantian) jika
suaminya menceraikan sebelum disetubui. Menurut yang mu’tamad, berbeda dengan
pendatnya imam ibnu hajar yang mengatakan, kreterianya harus muhtarom keduanya
(waktu masuk dan keluar) seperti ketetapan dari syaikuna ( Rofi’I Nawawi).
- Kifayatu Al-akhyar, II : 113
لو إستمنى الرجل منية بيد امرأته او امته جاز لأنها محل
استمتاعها
Terjemah:
Jika
seorang suami sengaja mengeluarkan air maninya dengan perantara tangan
istrinya, atau tangan perempuan amatnya, maka boleh, karena perempuan tersebut
tempat istima’ (senang-senang) bagi seorang suami.
- Tuhfa, VI : 431 ( belum ketemu )
- Al-bajuri, II : 172
- Al-bughya : 238
[1][5]
Di maktabah syamilah, (I T), III : 170
Mas’alah:
Bagaimana hukumnya cangkok mata?
Transplantasi kornea atau cangkok mata ialah
mengganti selaput mata seseorang dengan selaput mata orang lain, atau kalau
mungkin dengan selaput mata binatang. Jadi yang diganti hanya selaputnya saja bukan
bola mata seluruhnya. Adapun untuk mendapatkan kornea / selaput mata ialah
dengan cara mengambil bola mata seluruhnya dari orang yang sudah mati. Bola
mata itu kemudian dirawat baik-baik dan mempunyai kekuatan paling lama 72 jam
(tiga hari tiga malam). Sangat tipis sekali dapat dihasilkan cangkok kornea
dari binatang.
Jawab:
Hukumnya
ada dua pendapat:
- Haram, walaupun mayat itu tidak terhormat seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.
Dasar Pengambilan Dalil:
1) Ahkamul Fuqoha, III : 58
مسألة : ماقولكم فى إفتاء مفتى ديار المصرية بجواز أخد
حداقة الميت لوصلها إلى عين الأعمى. هل هو صحيح أولا ؟ قرر المؤتمر بأن ذلك
الإفتاء غير صحيح ، بل يحرم أخد حداقة الميت ولو غير محترم كمرتد وحربى. ويحرم
وصله بأجزاء الآدمى لأن ضرر العمى لايزيد على مفسدة إنتهاك حرمات الميت كما فى
حاشية الرشيدى على ابن العماد. صحيفة 26 وعبارته : أماالآدمى فوجوده حنئيد كالعدم
كما قال الحلبى على المنهج، ولوغير محترم كمرتد وحربى فيحرم الوصل به ويجب نزعه.
انتهى. ولقول صلى الله عليه وسلم : كسر عظم الميت ككسره حيا ( رواه أحمد فى المسند
وأبو داود وابن ماجه) وعن عائشة "كسر عظم الميت ككسر عظم الحى فى الإثم (رواه
ابن ماجه عن أم سلمة) حديث حسن.
2) Hasiah Ar-Rosidi ‘ala ibni ‘imad, hal, 26
- Boleh disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenuhi 4 syarat :
1) Karena dibutuhkan
2) Tidak ditemukan selain dari anggota tubuh
manusia
3) Mata yang diambil harus dari mayit muhaddaroddam
(halal darahnya)
4) Antara yang diambil dan yang menerima harus ada
persamaan agama
Dasar Pengambilan Dalil:
- Fathul Jawad 26
وبقى مالم يوجد صالح غيره فيحتمل جواز الجبر بعظم الآدمى
الميت كمايجوز للمضطر أكل الميت وإن لم يخش إلا مبيح التيمم. وجزم المدابغى
بالجواز، حيث قال : فان لم يصلح إلاعظم الآدمى قدم نحو الحربى كالمرتد ثم الذمى ثم
المسلم.
Terjemah:
Dan
masih ada, bila sudah tidak di jumapai yang baik boleh menambali (cangkok)
dengan tulang orang yang sudah mati. Seperti halnya boleh memakan bangkai orang
yang sudah mati meski tidak hawatir sampai batas diperbolehkannya tayamum. Dan
imam al-madabighi yakin dengan hukum boleh, dia menyatakan jika tidak ada yang
bagus (untuk menambal) kecuali tulang orang, maka dahulukanlah orang kafir
harbi, orang murtad, lalu kafir dzimy, kemudian orang islam.
- Al-mahali
وله أى للمضطر أكل أدمى ميت لأن حرمة الحى أعظم من حرمة
الميت
Terjemah:
Jika
terpaksa dan yang ditemukan hanya bangkai orang mati, maka boleh memakannya,
karena kehormatan orang yang masih hidup masih dikuatkan dari pada kehormatan
orang yang sudah mati.
- Bijaeromi iqna, IV : 272 (belum ditulis)
والأوجه كماهو ظاهر كلامهم عدم النظر إلى أفضلية الميت مع
إتحادهما إسلاما وعصمة.
Terjemah:
Menurut
yang aujah, seperti penjelasan ahli fiqih tidak memandang pada istemewanya
seorang mayit jika sama-sama islam dan terjaga.
- Mughni Muhtaj, IV : 307
( وَلَهُ ) أَيْ
الْمُضْطَرِّ ( أَكْلُ آدَمِيٍّ مَيِّتٍ ) إذَا لَمْ يَجِدْ مَيْتَةً غَيْرَهُ
كَمَا قَيَّدَاهُ فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْحَيِّ
أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ.
Terjemah:
Boleh bagi orang yang terpaksa makan
bangkai orang ketika tidak di temukan lainnya, seperti alasan dalam kitab
syarah dan kitab raudloh, karena kehormatan orang hidup lebih diutamakan dari pada
orang mati.
وَلَهُ أَكْلُ آدَمِيٍّ. الشَّرْح : (
وَلَهُ ) أَيْ الْمُضْطَرِّ ( أَكْلُ آدَمِيٍّ مَيِّتٍ ) إذَا لَمْ يَجِدْ
مَيْتَةً غَيْرَهُ كَمَا قَيَّدَاهُ فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ ؛ لِأَنَّ
حُرْمَةَ الْحَيِّ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ ، وَيُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ
مَا إذَا كَانَ الْمَيِّتُ نَبِيًّا فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ مِنْهُ
جَزْمًا كَمَا قَالَهُ إبْرَاهِيمُ الْمَرْوَزِيُّ وَأَقَرَّهُ وَمَا إذَا كَانَ
الْمَيِّتُ مُسْلِمًا وَالْمُضْطَرُّ كَافِرًا ، فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ
مِنْهُ لِشَرَفِ الْإِسْلَامِ ، بَلْ لَنَا وَجْهُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَكْلُ
الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ وَلَوْ كَانَ الْمُضْطَرُّ مُسْلِمًا .
تَنْبِيهٌ : حَيْثُ جَوَّزْنَا أَكْلَ مَيْتَةِ الْآدَمِيِّ
الْمُحْتَرَمِ لَا يَجُوزُ طَبْخُهَا وَلَا شَيُّهَا لِمَا فِيهِ مِنْ هَتْكِ
حُرْمَتِهِ، وَيَتَخَيَّرُ فِي غَيْرِهِ بَيْنَ أَكْلِهِ نِيئًا وَمَطْبُوخًا
وَمَشْوِيًّا.[1][6]
- Al-Muhadzab, I : 251
وان اضطر ووجد آدميا ميتا جاز أكله لان حرمة الحى آكد من
حرمة الميت.
Terjemah:
Jika
terpaksa dan yang di temukan hanya bangkai orang mati maka boleh memakannya,
karena kehormatan orang yang masih hidup lebih di kuatkan dari pada orang yang
sudah mati.
(والثانى) أنه يأكل
الميتة لانه منصوص عليها والصيد مجتهد فيه وان اضطر ووجد آدميا ميتا جاز له أكله
لان حرمة الحى آكد من حرمة الميت وان وجد مرتدا أو من وجب قتله في الزنا جاز له أن
يأكله لان قتله مستحق وان اضطر ولم يجد شيئا فهل يجوز له أن يقطع شيئا من بدنه
ويأكله فيه وجهان (قال) أبو إسحق يجوز لانه احياء نفس بعضو فجاز كما يجوز أن يقطع
عضوا إذا وقعت فيه الآكلة لاحياء نفسه ومن أصحابنا من قال لا يجوز لانه إذا قطع
عضوا منه كان المخافة عليه أكثر وان اضطر إلى شرب الخمر أو البول شرب البول لان
تحريم الخمر أغلظ ولهذا يتعلق به الحد فكان البول أولى وان اضطر إلى شرب الخمر
وحدها ففيه ثلاثة أوجه (أحدها) أنه لا يجوز أن يشرب لما روت أم سلمة رضى الله عنها
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (ان الله سبحانه وتعالى لم يجعل شفاءكم فيما حرم
عليكم) (والثانى) يجوز لانه يدفع به الضرر عن نفسه فصار كما لو أكره على شربها
(والثالث) أنه ان اضطر إلى شربها للعطش لم يجز لانها تزيد في الالهاب والعطش وان
اضطر إليها للتداوي جاز).[2][7]
- Al-qolyubi, I : 182
( وَلَوْ وَصَلَ
عَظْمَهُ ) لِانْكِسَارِهِ وَاحْتِيَاجِهِ إلَى الْوَصْلِ .
Terjemah:
Jika
menyambung tulangnya karena pecah dan ia memerlukan sembungan dengan tulang
najis karena daftar orang-orang yang menyatakan dirinya rela di ambil bola mata
nya sesudah mati untuk kepentingan manusia.
( وَلَا يَضُرُّ
نَجَسٌ يُحَاذِي صَدْرَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ عَلَى الصَّحِيحِ )
لِعَدَمِ مُلَاقَاتِهِ لَهُ ، وَالثَّانِي يَقُولُ الْمُحَاذِي مِنْ مَكَانِ
صَلَاتِهِ فَتُعْتَبَرُ طَهَارَتُهُ .
( وَلَوْ وَصَلَ
عَظْمَهُ ) لِانْكِسَارِهِ وَاحْتِيَاجِهِ إلَى الْوَصْلِ .
( بِنَجَسٍ ) مِنْ الْعَظْمِ ( لِفَقْدِ الطَّاهِرِ )
الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ ( فَمَعْذُورٌ ) فِي ذَلِكَ فَتَصِحُّ صَلَاتُهُ مَعَهُ
وَلَيْسَ عَلَيْهِ نَزْعُهُ إذَا وَجَدَ الطَّاهِرَ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ
وَأَصْلِهَا ، وَقَضِيَّةُ مَا فِي التَّتِمَّةِ أَنَّهُ يَجِبُ نَزْعِهِ إنْ لَمْ
يَخَفْ مِنْهُ ضَرَرًا ( وَإِلَّا ) أَيْ وَإِنْ لَمْ يَفْقِدْ الطَّاهِرَ أَيْ
وَجَدَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ ( نَزْعُهُ ) أَيْ النَّجِسِ ( إنْ لَمْ يَخَفْ ) مِنْ
نَزْعِهِ ( ضَرَرًا ظَاهِرًا ) وَهُوَ مَا يُبِيحُ التَّيَمُّمَ كَتَلَفِ عُضْوٍ
فَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ مَعَهُ .[3][8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar