Minggu, 20 Juli 2014

Syawwal, Kesinambungan Anugerah Ramadhan

Marilah kita syukuri segala karunia Allah yang tiada terhingga dan tidak
terbatas. Apapun yang kita minta dan inginkan, Allah siap memberikan seluruhnya
kepada kita sesuai kebijakanNya. Baru saja kita lewati bulan Ramadhan, mudah-
mudahan amal shalih kita dalam bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT.
Taqabbalallaahu minna waminkum, taqabbal yaa kariim.

Anugerah yang kita peroleh secara psikologis/kejiwaan selama bulan suci
Ramadhan, yang diharapkan dapat kita lestarikan selama 11 bulan yang akan
datang adalah kebiasaan untuk selalu beramal shalih, kebiasaan menjadi hamba
yang bertaqwa. Kebiasaan adalah menjadi tujuan Inti dari puasa dan anugerah
terbesar selama Ramadhan.

Seorang pakar renang, yang bergelar profesor atau doktor dalam ilmu berenang,
yang memiliki dan menguasai teori dan macam-macam gaya dalam berenang,
tetapi dia tidak pernah praktek berenang, maka dapat diyakini bahwa dia akan
tenggelam di kolam renang. Karena berenang tidak bisa dikuasal hanya dengan
teori saja, tetapi tergantung dan seberapa sering praktik dan berlatih berenang.
Semua kemampuan praktik bisa didapat dari kebiasaan beramal dan berlatih.
Berlatih pun juga tidak asal-asalan. Tetapi harus istiqomah dan teratur. Begitu
juga dengan amal shalih. Sehingga derajat manusia ditentukan oleh kebiasaan
amalnya. “Dan setiap orang akan memperoleh derajat seimbang dengan apa yang
dikerjakan”. Al-An’am : 132. Kalau amalnya shalih, maka derajatnya adalah
keshalihan dalam hidupnya. Tetapi kalau derajat amalya maksiat, maka derajatnya
kefasikan dalam hidupnya. “Demikianlah kami jadikan hiasan (dipandang baik)
oIeh umat manusia tergantung amal kebiasaanya”. al-Anam:
:108.

Jadi kalau seseorang terbiasa amal shalih, maka dia akan cinta kebaikan.
Sebaliknya kalau seseorang terbiasa maksiat, maka dia akan cinta kepada
kemaksiatan. Witing trisno jalaran son gko kulino (Tumbuhnya cinta karena
kebiasaan). Ibadah akan tampak indah bagi seseorang yang terbiasa beribadah,
dan orang yang terbiasa maksiat akan memandang indah setiap kemaksiatan yang
dikerjakan.

Begitu juga ulama yang tidak mengamalkan ilmunya, maka kahancuranlah yang
didapat. Bahkan dalam sebuah hadith dianggap celaka, karena bagaikan pohon
yang tak berbuah. Tidak membuahkan akhlakul karimah.

Dalam bulan Ramadhan ada motivasi-motivasi, tetapi itu berlaku bagi yang
beriman. Begitu juga dengan turunnya al-Quran yang merupakan sugesti bagi orang
yang beriman. Tetapi bagi orang yang tidak beriman turunnya al-Quran akan
menjadi beban. Surat al-Isra 17:82 menyatakan:

ﻭَﻧُﻨَﺰِّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﻻ ﻳَﺰِﻳﺪُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ
ﺇِﻻ ﺧَﺴَﺎﺭًﺍ
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang dzalim selain kerugian” [QS AL-Isra (17):82].

Yang hidupnya dalam kedzaliman, maka shalat, puasa, zakat, dan perintah-
perintah yang lain adalah beban, merugikan mereka. Nah kalau sugesti dan
motivasi selama bulan Ramadhan itu kita laksanakan dengan istiqomah, maka
akibatnya tercetak dalam jiwa kita, sebuah zhann (persepsi) baru. Allah sudah
memberikan yang terbaik bagi hambaNya, kalau husnuzhzhan (persepsi baik),
maka pemberian Allah itu juga berakibat baik. Kita yang biasanya berpuasa, tidak
berbohong, rajin bangun malam, rajin bertadarrus al-Quran, rajin bersedekah, maka
ketika memasuki bulan Syawwal persepsi tersebut akan kita bawa sebagai
kebiasan yang baik. ltulah presepsi yang kita bawa selepas Ramadhan dalam bulan
Syawwal ini.

Rasanya tidak enak kalau biasanya bertadarrus, kemudian tidak bertadarrus,
rasanya tidak enak berbohong kalau selama Ramadhan kita tidak berbohong. Maka
semua ini tergantung kita dalam meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang baik itu di
sebelas bulan yang akan datang. Ada yang hanya mampu bertahan satu bulan, ada
yang dua bulan, ada yang tiga bulan, ada yang sampai ketemu Ramadhan lagi
mampu dipertahankan, bahkan ada juga yang tidak mampu mempertahankan sama
sekali.

Kita mungkin sudah tahu akan hal ini, tetapi mengapa kita sulit mempraktekannya.
Mengapa beramal shalih sulit istiqomah, mengikuti petunjuk Allah susah. Bertaqwa
secara istiqomah sulit. Kesulitan itu karena kita tidak terbiasa, kalau sudah biasa
tidak ada kata sulit. Contohnya, orang desa yang tidak biasa bersepatu harus
dipaksa pakal sepatu, tentu dia akan kesulitan berjalan. Berbeda dengan orang
yang biasa bersepatu, tentu akan mudah dan enjoy aja. Islam pun awalnya adalah
asing, dan sulit untuk dipraktikkan, seperti halnya para mualtaf, tetapi kalau sudah
biasa akan terasa mudah. Shalat akan sulit bagi yang tidak biasa, zakat juga sulit
bagi yang tidak pernah berzakat dst.

Jadi sebetulnya tidak ada kata sulit bagi yang sudah biasa. Kalaupun ada kesulitan
bagaikan seorang siswa yang diuji untuk kenaikan kelas atau tingkat. Karena
setiap kesulitan ada kemudahan, inna ma’aI ‘usri yusron. Setiap kesulitan itu telah
diatur oleh Allah. Jadi tidak mungkin melebihi batas kemampuan manusia, karena
kesulitan atau ujian itu datangnya dari Allah. Karena orang yang betul-betul tahu,
bahwa kesulitan atau musibah itu datangnya dari Allah, maka dia akan yakin pasti
Allah telah mengukur kemampuan hamba yang diujinya itu. Allah tidak pernah
mendhalimi hambaNya. Kalau dirasa melebihi batas kemampuan, itu hanya
persepsi manusia saja yang jelek, yang husnudhan tentu akan diterirna dengan
sabar.

Demikianlah betapa kebiasaan yang baik selama bulan Ramadhan adalah anugerah
yang terbaik bagi kita, yang telah menjalankan puasa dengan benar, dan Syawwal
sebagai kesinambungan adalah dengan tetap mempertahankan amal shalih yang
sudah istiqomah itu, agar kebiasaan ini memperkuat husnudhan kita. Sebab kalau
nanti setelah kita memperoleh dhan yang baru ini lalu kita membiasakan kebiasan
lain, yang menyimpang (fujuur), maka husnudhan kita akan berubah menjadi
su’udhan lagi terhadap pemberian Allah kepada kita, sebab Allah itu tergantung
persepsi hambanya (ana ‘inda dhanni ‘abdi bihi).

Karena itu bulan Ramadhan adalah bulan pembentukan dhan (presepsi) semua
perintah Allah, Dan bulan Syawwal dan seterusnya adalah bulan-bulan untuk
mempertahankan yang kita peroleh di bulan Ramadhan yang lalu. Karena kita tidak
akan menjadi sempurna, maka kita evaluasi selama 6 bulan seperti yang dilakukan
oleh para sahabat, bagaimana dan apa yang sudah kita dapat, dan apa yang
belum. Dan 6 bulan berikutnya kita gunakan untuk menghadapi bulan Ramadhan
yang akan menyongsong kita, agar amal shalih kita semakin meningkat. Dan
persepsi kita kepada Allah juga semakin baik.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar