Senin, 21 Juli 2014

Nikah Misyar dan Mut'ah

A. Nikah Misyar

Belakangan ini istilah nikah misyar begitu merebak diIndonesia. Dari berbagai media dan situs yang kami baca, istilah nikah misyar ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia.

Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini dilakukan sebagaimana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal.

Ada juga mengistilahkan nikah misyar ini dengan “nikah dengan niat talak” (al-nikâh bi-niyyah al-thalâq) . Disebut dengan nikah dengan niat talak, karena biasanya pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut dalam akad nikah.

Untuk menjawab apakah nikah misyar ini sah atau tidak ?,
mari kita simak keterangan para ulama berikut ini :

1. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺷَﺮْﻁٌ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻣُﻘْﺘَﻀَﺎﻩُ ﻛَﺸَﺮْﻁِ ﺃﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺴِﻢَ ﻟَﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺘَﺴَﺮَّﻯ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻨْﻔِﻖُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺴَﺎﻓِﺮُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻮِ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟْﻮَﻓَﺎﺀُ ﺑِﻪِ ﺑَﻞْ ﻳَﻠْﻐُﻮ ﺍﻟﺸَّﺮْﻁُ ﻭَﻳَﺼِﺢُّ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡُ ﺑِﻤَﻬْﺮِ ﺍﻟْﻤِﺜْﻞِ ﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛُﻞُّ ﺷَﺮْﻁٍ
ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺑَﺎﻃِﻞٌ
“Adapun syarat yang menyalahi kehendaki akad nikah seperti
syarat tidak memberikan jatah pembagian malam bagi isteri,
tidak mengunjungi pada waktu malam, tidak memberikan
nafkah atau tidak melakukan musafir bersamanya ataupun
lainnya, maka tidak wajib memenuhinya, bahkan lagha (ada
penyebutannya seperti tidak ada) syarat tersebut dan sah
nikahnya dengan mahar mitsil, karena sabda Nabi SAW : “Setiap
syarat yang tidak pada kitab Allah, maka itu adalah batal.” [1]
2. Syeikh Syairazi mengatakan dalam kitabnya, al-Muhazzab
sebagai berikut :
ﻭﺍﻥ ﺷﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺘﺴﺮﻯ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﻭ ﻻ ﻳﻨﻘﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺑﻠﺪﻫﺎ ﺑﻄﻞ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﻻﻧﻪ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻻ ﻳﺒﻄﻞ
ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻻﻧﻪ ﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﻣﻘﺼﻮﺩ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻫﻮ ﺍﻻﺳﺘﻤﺘﺎﻉ، ﻓﺈﻥ ﺷﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻄﺄﻫﺎ ﻟﻴﻼ ﺑﻄﻞ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ‏(ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺷُﺮُﻭﻃِﻬِﻢْ ﺇﻟَّﺎ ﺷَﺮْﻃًﺎ ﺃَﺣَﻞَّ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ ﺃَﻭْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺣﻼﻻ‏) ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺸﺮﻁ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ
ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺑﻄﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ، ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻟﻢ ﻳﺒﻄﻞ، ﻻﻥ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻳﻤﻠﻚ ﺍﻟﻮﻃﺊ ﻟﻴﻼ ﻭﻧﻬﺎﺭﺍ ﻭﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﺮﻙ،
ﻓﺈﺫﺍ ﺷﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻄﺄﻫﺎ ﻓﻘﺪ ﺷﺮﻁ ﺗﺮﻙ ﻣﺎﻟﻪ ﺗﺮﻛﻪ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﻟﻮﻃﺊ ﻟﻴﻼ ﻭﻧﻬﺎﺭﺍ، ﻓﺈﺫﺍ ﺷﺮﻃﺖ
ﺃﻥ ﻻ ﻳﻄﺄﻫﺎ ﻓﻘﺪ ﺷﺮﻃﺖ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻣﻦ ﺣﻘﻪ، ﻭﺫﻟﻚ ﻳﻨﺎﻓﻰ ﻣﻘﺼﻮﺩ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻓﺒﻄﻞ .
"Seandainya disyaratkan (dalam akad nikah) tidak mengunjungi
isterinya pada waktu malam hari atau tidak memindahkan
isterinya dari negerinya, maka syaratnya itu batal, karena
syarat tersebut menyalahi kehendaki akad dan tidak batal akad
nikah, karena tidak mencegah maksud akad, yaitu bermesraan
dengan isteri. Karena itu, seandainya disyaratkan tidak
menyetubuhinya pada waktu malam, maka batal syaratnya,
karena sabda Nabi SAW : “Orang-orang beriman atas syarat
mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan yang
mengharamkan yang halal.” Maka jika syarat itu dari pihak
isteri, maka batal akadnya dan jika dari pihak suami, maka tidak
batal akadnya, karena suami memiliki hak menyetubuhi pada
waktu malam dan siang, sedangkan suami boleh meninggalkan
haknya itu, karena itu jika suami mensyaratkan tidak
menyetubuhi isterinya, maka suami tersebut mensyaratkan
meninggalkan sesuatu yang boleh baginya meninggalkannya.
Adapun si isteri berkewajiban atasnya untuk menerima
disetubuhi pada waktu malam dan siang, karena itu jika isteri
mensyaratkan tidak menyetubuhinya, maka isteri tersebut sudah
mensyaratkan mencegah suami dari haknya, sedangkan yang
demikian itu menafikan maksud akad, karena itu batal
akadnya.” [2]

Hadits yang dikutip Syeikh Syairazi di atas riwayat Abu Daud
dan al-Hakim dari Abu Hurairah dan riwayat al-Hakim dari Anas,
Thabrani dari Aisyah dan Rafi’ bin Khadij.[3]

3. Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan :
“Masalah ﺵ : Apabila seorang perempuan menikah dengan syarat
suaminya tidak mengeluarkannya dari rumah ayahnya, jika
syarat tersebut bukan dalam diri akad, maka tidak ada
pengaruh apapun, baik syaratnya itu disebut sebelum akad
ataupun sesudahnya. Maka tidak melazimkan sesuatupun. Atau
syarat tersebut disebut dalam akad, seperti “Aku kawinkan
kamu dengan anakku dengan syarat tidak kamu keluarkannya
dari rumahku, maka sah akad nikah dan lagha syaratnya, tetapi
fasid musamma maharnya (penyebutan maharnya), karena itu
lazim mahar mitsil. Hal ini juga berlaku sama pada setiap
syarat yang tidak mencederai maksud nikah.” [4]

4. Imam al-Nawawi  berkata :
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻘَﺎﺿِﻲ ﻭَﺃَﺟْﻤَﻌُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ ﻧَﻜَﺢَ ﻧِﻜَﺎﺣًﺎ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ﻭَﻧِﻴَّﺘﻪ ﺃَﻟَّﺎ ﻳَﻤْﻜُﺚ ﻣَﻌَﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣُﺪَّﺓ ﻧَﻮَﺍﻫَﺎ ﻓَﻨِﻜَﺎﺣﻪ ﺻَﺤِﻴﺢ
ﺣَﻼﻝ ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻧِﻜَﺎﺡ ﻣُﺘْﻌَﺔ ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧِﻜَﺎﺡ ﺍﻟْﻤُﺘْﻌَﺔ ﻣَﺎ ﻭَﻗَﻊَ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮْﻁِ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮﺭ ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎﻟِﻚ : ﻟَﻴْﺲَ ﻫَﺬَﺍ ﻣِﻦْ
ﺃَﺧْﻠَﺎﻕ ﺍﻟﻨَّﺎﺱ ، ﻭَﺷَﺬَّ ﺍﻟْﺄَﻭْﺯَﺍﻋِﻲُّ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﻧِﻜَﺎﺡ ﻣُﺘْﻌَﺔ ، ﻭَﻟَﺎ ﺧَﻴْﺮ ﻓِﻴﻪِ . ﻭَﺍَﻟﻠَّﻪ ﺃَﻋْﻠَﻢ .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja
yang melakukan nikah secara mutlaq dengan niat (dalam hati)
hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya
sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah
nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan
tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia
(generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang
berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan
tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [5]

5. Berkata ‘Ali Syibran al-Malusi :
“ Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad
untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu dan tidak disebut
dalam akad, maka tidak mengapa tetapi sepatutnya makruh”. [6]

Berdasarkan keterangan-keterangan ulama di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Apabila dalam sebuah akad nikah disebut syarat, tetapi
penyebutannya dilakukan di luar akad, baik sebelum atau sesudah
akad, maka syarat tersebut tidak mengikat siapapun dan tidak ada
dampak hukumnya. Karena syarat yang disebut di luar sebuah akad
tidak lazim dipenuhi.

Apabila syarat tersebut disebut dalam diri akad, maka ini ada
tafsilnya, yakni apabila syarat yang disebutkan itu menyalahi
maqtazha akad, tetapi tidak menafikan maksud akad, seperti suami
tidak boleh membawa isteri meninggalkan rumah ayahnya, maka
lagha syaratnya, namun sah akadnya. Adapun apabila syaratnya
menafikan maksud akad seperti bermesraan atau bersetubuh
dengan isteri, maka tidak sah akadnya. Namun demikian apabila
persyaratan tidak bermesraan atau bersetubuh dengan isteri
dilakukan oleh pihak suami, maka akadnya sah, karena bermesraan
atau bersetubuh merupakan hak suami, karena itu suami boleh
menggunakan haknya dan boleh juga meninggalkannya. Adapun
apabila dilakukan oleh pihak isteri, maka akadnya tidak sah.
Karena isteri tidak boleh mencegah hak suami.

Sebuah akad nikah dengan niat (dalam hati) hanya akan
bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal.
Demikian juga sah akad nikah apabila bersepakat keduanya
sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam dalam waktu
tertentu, namun kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad
Sesuai dengan kesimpulan di atas, maka di sini dapat
dijawab hukum nikah misyar sebagai berikut :

Nikah misyar selama dengan pengertiannya yang kami sebutkan
di atas, maka sah akadnya. Kalau persyaratan yang dibuat itu
disebut di luar akad, maka persyaratan tersebut tidak wajib
dipenuhi. Kalau disebut di dalam akad, maka persyaratan tersebut
lagha (sia-sia, adanya persyaratan tersebut seperti tidak ada) dan
akadnya tetap sah. Mahar pernikahan itu kembali kepada mahar
mitsil (bukan mahar yang disebut dalam akad, tetapi kembali
kepada jenis dan ukuran yang sesuai dengan status dan kedudukan
isteri)

Kalau nikah misyar dimaknai dengan nikah dengan niat talaq,
maka pernikahan dengan makna ini juga sah juga, karena niat saja
tidak memberi pengaruh terhadap keabsahan suatu pernikahan
Nikah misyar bukanlah nikah mut’ah yang disepakati ulama
keharaman dan tidak sahnya. Karena nikah mut’ah adalah nikah
yang dalam akadnya disebut batasan waktu berlakunya pernikahan
sebagaimana banyak dijelaskan ulama.

Catatan
Meskipun demikian,menurut hemat kami apabila pernikahan
misyar ini banyak mendatangkan kemudharatan, karena dalam
prakteknya banyak orang memanfaatkan nikah misyar ini hanya
sekedar menggumbar nafsu syahwatnya dan ujung-ujungnya yang
menjadi korban adalah pihak perempuan, maka pihak pemerintah
harus melarangnya. Qaidah fiqh mengatakan :
ﺗﺼﺮﻑ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻴﺘﻪ ﻣﻨﻮﻁ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ
”Kebijakan pemerintah kepada rakyatnya berdasar kemaslahatan” [7]

B . Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah nikah yang dibatasi jangka waktunya.
Pembatasan ini disebut dalam akad. Karena kalau tidak sebut
pembatasannya dalam akad tidak disebut dengan nikah mut’ah
sebagaimana dijelaskan al-Nawawi dalam Syarh Muslim di atas.
Adapun pengharaman nikah mut’ah berdasarkan hadis shahih
antara lain :

Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa' berkata :
"Rasulullah SAW memperbolehkan nikah mut'ah selama tiga
hari pada tahun Ausath (ketika ditundukannya Makkah, fathu
Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya. " (HR. Muslim)

2. Diriwayatkan dari Rabi' bin Sabrah r.a. sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda :
" Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah
mengijinkan nikah mut'ah, dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya
barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut'ah maka
segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah
kalian berikan kepada wanita yang kalian mut,ah. " (HR. Abu
Dawud, Muslim, an-Nasai, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

3. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan :
" Telah terjadi ijmak atas haram nikah mut’ah dan tidak ada
yang menyalahinya kecuali satu kelompok ahli bid’ah” [8]
==============================================
[1] . Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah,
Juz. IX, Hal. 288
[2] Syairazi, Muhazzab , dicetak dalam Majmu’ Syarh al-
Muhazzab, Cet. Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. XVII, Hal. 357
[3] . Muhammad Najib al-Muthi’i, Tukmalah Majmu’ Syarh al-
Muhazzab, Cet. Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. XVII, Hal. 357
[4] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin,
Cet. Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 200
[5] . Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah,
Juz. IX, Hal. 258-259
[6] . Al-Bakry ad-Dimyathy, I’anah at-Thalibin , Thaha Putra,
Semarang, Juz. III, Hal. 278
[7] . Al-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair , Cet. Al-Haramain,
Singapura, Hal. 83
[8] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah, Juz.
IX, Hal. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar