PARA ulama mu’tabar telah menjelaskan makna dan maksud pernyataan Imam
As Syafi’i, “Hadits Shahih adalah madzhabku”, juga menetapkan kapasitas
siapa yang mampu melaksanakan pesan tersebut, yakni para mujtahid
madzhab. Al Hafidz Ibnu Shalah telah menulis pembahasan ini dalam Adab Al
Mufti wa Al Mustafi, demikian pula murid beliau Imam An Nawawi dalam
muqadimah Al Majmu’, juga Imam Al Mujtahid Taqiyuddin As Subki menulis
risalah khusus mengenai hal ini, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza
Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi. (baca, “Hadits Shahih Madzhabku”,
Ditujukan kepada Mujtahid) http
://abuhalim34.blogspot.com/2014/07/hadits-shahih-madzhabku-ditujukan.html?m=1
Jika di atas adalah para ulama Syafi’iyah, tidak ketinggalan para ulama
madzhab lainnya juga menjelaskan apa maksud pernyataan itu ketika
disampaikan oleh imam madzhab mereka. Dalam hal ini, para ulama madzhab
Hanafi juga menjelaskan siapa yang memiliki kapasitas dalam mengoreksi
pendapat Imam Abu Hanifah untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam, yakni Imam Ahmad Ridha. Untuk masalah ini,
ulama madzhab Hanafi yang berasal dari India ini menulis Fadhl Al Mauhibi fi
Ma’na idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi.
Dalam risalah tersebut ulama yang dijuluki sabagai mujadid abad 13 H ini
memaparkan sejumlah tahapan kemampuan yang harus dikuasai bagi siapa
yang hendak mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits.
Karena ini berkenaan dengan pengetahuan terhadap hadits shahih sekaligus
madzhab, maka ada sejumlah syarat tersebut berkenaan dengan penguasaan
terhadap ilmu keduanya.
Jika diringkas dari pandangan ulama yang memiliki lebih dari 50 karya dalam
berbagai disiplin ilmu ini, ada dua syarat dalam melaksanakan pesan Imam Abu
Hanifah tersebut. Pertama, telah sampai pada pengetahuan pelaku bahwa
hadits tersebut belum sampai kepada imam. Kedua, pelakunya menguasai
secara sempurna mengenai hukum rijal, matan hadits serta metode dalam
berhujjah dan mengambil kesimpulan hukum dari metodologi madzhab. Dan
untuk sampai pada syarat ke dua, ada 4 hal yang harus dikuasai:
1. Penguasaan terhadap ilmu rijalul hadits secara terperinci dan mendetail.
2. Telah mentelaah dengan mendalam matan-matan hadits yang berada dalam
kitab-kitab hadits secara sempurna dan menyeluruh.
Dalam hal ini Imam Abu Hatim Ar Razi menyampaikan, ”Kita tidak akan sampai dalam pengetahuan terhadap hadits- hadits hingga kita menulis 60 variannya, dan setelah itu
memungkinkan bagi pelakunya untuk menghukumi bahwa hadits itu syadz,
munkar, ma’ruf, mahfudz, marfu’ mauquf, fard atau masyhur.
3. Mengetahui ilal khafiyah, yakni perkara-perkara yang mencacati hadits meski
dhahir hadits terlihat selamat. Masuk kepada tingkatan ini para huffadz besar
semisal Imam Al Bukhari.
4. Memiliki kemampuan dalam ijithad. Hanya dengan 3 kemampuan
sebelumnya dalam ilmu hadits, belum mencukupi seseorang untuk sampai pada
tingkatan ini. Sebab itulah Imam Sufyan bin Uyainah, yang merupakan guru dan
Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad serta guru dari para guru Imam Al Bukhari
dan Muslim menyampaikan, ”Hadits-hadits itu penyesat, kecuali bagi para
fuqaha ’”.
Selanjutnya Imam Ahmad Ridha menjelaskan bahwa seseorang yang mencapai
tingkatan ke empat ini ia menguasai bahasa Arab dengan cabang-cabangnya
secara sempurna, menguasai dalil Al-Qur`an dan As Sunnah serta pendapat
para sahabat dan fuqaha baik yang terdahulu maupun setelahnya, serta
menguasa metodologi pengambilan hukum.
Ketika sampai pada tingakatan ke empat ini, barulah seseorang bisa
mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Imam Ahmad Ridha merujuk hal ini kepada
pernyataan Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari menyampaikan, ”Janganlah
sekali-kali kalian tergesa-gesa mengingkari dan menyalahkan pendapat
seorang mujtahid kecuali setelah kalian menguasa seluruh dalil-dalil syar’i,
menguasai seluruh cabang bahasa Arab yang mana syariat terkandung di
dalamnya serta pengetahuan kalian terhadap makna-maknanya…”
Dan menurut Imam Ahmad Ridha ulama yang mereka yang telah mencapai
derajat ini, tidak lain adalah mujtahid madzhab semisal Imam Abu Yusuf murid
Imam Abu Hanifah, dimana Yahya bin Ma’in berkata mengenai beliau, ”Shahib
al-Hadits, shahib as sunnah”.
Bukan untuk Mereka yang Hanya Belajar Hadits Melalui Terjemah
Selanjutnya, Imam Ahmad Ridha yang kumpulan fatwanya Al Athya An
Nabawiyah fi Al Fatwa Ar Ridhawiyah mencapai 10 jilid ini setelah menjelaskan
syarat-syarat di atas, beliau menegaskan bahwa apa yang dimaksud para
ulama madzhab Hanafi ketika mereka menegaskan perlunya mengikuti hadits
dan meninggalkan pendapat Imam jika bertentangan dengannya, hal itu berlaku
bagi yang memiliki keahlian, ”Bukan orang-orang primitif yang tidak memiliki
keahlian yang membaca terjemahan berbahasa Urdu dari Al Bukhari, At
Tirmidzi, Al Misykat lantas mereka menilai bahwa mereka muhadditsun. Atau
sejumlah orang yang mengklaim bahwa madzhab para imam menyelisihi hadits,
dalam rangka mencegah manusia untuk taklid kepada para imam namun
mewajibkan mereka untuk percaya kepada sejumlah menusia di abad ini.”
Kesimpulannya, para ulama baik Syafi’i maupun Hanafi sepakat bahwa maksud
dari pernyataan dari Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, ”Jika hadits telah
shahih maka ia adalah madzhabku”, ditujukan kepada para ulama mujtahid
madzhab.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar