Selasa, 22 Juli 2014

“HADITS SHAHIH MADZHABKU”, DITUJUKAN KEPADA MUJTAHID

MASYHUR dan shahih periwayatan dari Imam As Syafi’i, bahwa beliau telah
menyatakan, ”Jika kalian melihat dalam kitabku menyelisihi Sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka tinggalkanlah perkataanku”,
atau angkapan yang semakna dengannya, ”Jika telah shahih sebuah hadits,
maka ia adalah madzhabku”. Para ulama mujtahid, semisal Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam As Syafi’i juga menyatakan hal yang
semakna dengan apa yang telah disampaikan oleh Imam As Syafi’i.

Namun, apakah itu bermakna bahwa siapa saja ketika mengetahui hadits
shahih maka ia bisa mengatakan, ”Ini adalah madzhab As Syafi’i”, lalu ia
mengamalkan makna dzahir dari hadits itu? Ternyata tidak demikian.

Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari pernyataan para imam
mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki kapasitas
dalam menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih,
sehingga perlu didahulukan hadits shahih tersebut daripada pernyataan sang
Imam?

Kapasitas dalam Menilai Pendapat Imam untuk Dihadapkan dengan Hadits
Shahih

Dalam hal ini, Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan, bahwa beberapa ulama
besar As Syafi’iyah melakukan hal ini, yakni berfatwa dengan hadits ketika
melihat bahwa pendapat madzhab berselisihan dengan hadits. Semisal dari
mereka adalah Imam Al Buwaithi, Abu Qasim Ad Dariki serta Abu Hasan Ath
Thabari (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 53).

Kemudian Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan bahwa mereka yang melakukan
hal ini tidaklah banyak dan beliau menyampaikan, ”Hal ini bukanlah perkara
yang remeh, tidak setiap faqih mudah baginya independen dalam mengamalkan
apa yang ia pandang sebagai hujjah dalam hadits”. (lihat, Adab Al Mufti wa Al
Mustafti, hal. 54)

Dari para ulama yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Shalah, diketahui bahwa
yang mampu melakukan hal ini adalah mujtahid madzhab.

Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i,
bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia
mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya. Dan
sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam
madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)

Selanjutnya, Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam
prasangkanya didominasi bahwa As Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-belum
mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini
tidak lain setelah mentela’ah kitab-kitab As Syafi’I seluruhnya demikian juga
kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga yang semisal
dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit orang yang memiliki
sifat tersebut.” (Al Majmu’, 1/105)

Perlunya syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan Imam As Syafi’i
sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau mengatahuinya
dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil yang
menunjukkan kecacatan, naskh, takhsis atau melakukan takwil padanya. (lihat,
Al Majmu’, 1/105)

Sedangkan pengetahuan Imam As Syafi’I yang menyeluruh mengenai hadits
hukum, Ibnu Huzaimah yang merupakan hafidz hadits yang juga seorang faqih
yang telah mengkaji pendapat-pendapat Imam As Syafi menyatakan,”Aku tidak
mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam masalah
halal dan haram yang tidak dicantumkan As Syafi’i dalam kitab-kitabnya”.
(lihat Al Majmu, 1/105)

Dengan demikian, amat kecil kemungkinan ada hadits yang terlewat dari kajian
Imam As Syafi’i. Namun meski demikian tetap ada upaya koreksi terhadap
pendapat Imam madzhab yang telah dilakukan oleh para ulama derajat yang
sampai pada mujtahid madzhab, seperti masalah tatswib, rajih dalam madzhab
adalah Sunnah, dikarenakan adanya dalil shahih, meski bertentangan dengan
pendapat jadid Imam As Syafi’i.

Kritik terhadap Ulama yang Tidak Tepat dalam Menerapkan Pernyataan Imam
As Syafi’i

Para ulama menyebutkan sejumlah ulama yang menerapkan kaidah Imam As
Syafi’i di atas, namun kurang tepat dalam pelaksaannya. Diantara adalah Ibnu
Al Jarud yang menyampaikan, ”Telah shahih hadits mengenai batalnya puasa
orang yang membekam dan yang dibekam. Maka aku berkata, ’As Syafi’i
menyatakan, ’telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’”. Para
ulama pun menyanggah pendapat Ibnu Al Jarud, karena Imam As Syafi’i telah
mengetahui hadits tersebut dan sengaja meninggalkannya, karena menurut
beliau hadits itu mansukh. (lihat, Al Majmu’, 1/105)

Hal yang sama terjadi pada Abu Al Walid An Naisaburi, ulama madzhab As
Syafi’i yang mengikuti pendapat Ibnu Al Jarud dalam masalah berbukanya
orang yang dibekam dan yang membekam. Para ulama Syafi’iyah pun
menyanggah beliau sebagaimana menyanggah Ibnu Al Jarud. Menurut Imam
As Subki, hal itu terjadi karena keterbatasan upaya mereka dalam melakukan
pengkajian (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa
Huwa Madzhabi, hal. 95).

Hal serupa terjadi pada Abu Al Hasan Al Karaji, yang meninggalkan qunut
Shubuh dengan argumen, ”Telah shahih hadits bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam meninggalkan qunut shubuh”. Imam As Subki sempat
meninggalkan qunut shubuh karena pendapat tersebut. Namun setelah
mengetahui bahwa yang ditinggalkan dari qunut waktu Shubuh dan di luarnya
adalah berdoa atas qabilah Ri’l dan Dzakwan, sedangkan doa qunut Shubuh
secara mutlak ada haditsnya, beliau pun kembali berqunut. As Subki pun
menyampaikan, ”Tidak ada sedikitpun permasalahan hal itu dengan pernyataan
As Syafi’i, dan sesungguhnya keterbatasan menimpa kita dalam sejumlah
pandangan”. (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits
fa Huwa Madzhabi, hal. 95)

Jika para ulama besar terkadang kurang tapat, karena keterbatasan dalam
upaya melakukan kajian dalam menerapkan pernyataan Imam As Syafi’i,
bagaimana dengan kita yang alim pun tidak, faqih pun bukan mujtahid apalagi,
yang menyeru untuk mengoreksi pendapat Imam As Syafi’i dan
meninggalkannya, dengan alasan bahwa madzhab As Syafi’i adalah hadits
shahih.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar