Sabtu, 19 Juli 2014

Dimanakah posisi taqwa kita.?

Dimana posisi Taqwa Kita?
Marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Peningkatan
ketaqwaan dalam arti usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Masing-masing
manusia berbeda cara mencapai ketaqwaan ini. Ada seorang mufassir dan
muhaddis terkemuka, Syekh Muhammad bin ‘Alan Ashodiqy (1996- 1057 H),
Membagi ketaqwaan itu menjadi 3 tingkatan, yaitu:

Pertama , golongan yang berusaha menjauhkan diri dari ancaman siksa yang kekal.
Dengan jalan membersihkan diri terhadap sifat syirik kepada Allah SWT. [QS. Al-
fath (48):26]
ﺇِﺫْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢُ ﺍﻟْﺤَﻤِﻴَّﺔَ ﺣَﻤِﻴَّﺔَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﻓَﺄَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻜِﻴﻨَﺘَﻪُ
ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺃَﻟْﺰَﻣَﻬُﻢْ ﻛَﻠِﻤَﺔَ ﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯ ﻭَﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺃَﺣَﻖَّ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺃَﻫْﻠَﻬَﺎ
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻋَﻠِﻴﻤًﺎ
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu)
kesombongan Jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan
kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa,
dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya, dan
adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Dalam flrmanNya ini Allah SWT mewajibkan kepada orang-orang mukmin agar
mencapai taqwa dengan menjauhkan diri dari sifat syirik kepada Allah SWT
memurnikan kepercayaannya, hanya kepada Allah SWT. Sehingga nantinya akan
selamat dari siksaan api neraka yang kekal. Jadi golongan ini hanya mementingkan
agar dirinya selamat dari siksa neraka yang kekal. Mereka tidak sanggup Iebih dari
itu. Mereka seakan rela masuk neraka asal tidak selamanya. Ini!ah tingkatan
taqwa yang terendah.

Kedua, yaitu golongan yang berusaha menjauhi segala sesuatu yang berakibat
dosa. Apakah dosa yang diakibatkan oleh perbuatan manusia yang karena dilarang
oleh agama, seperti makanan yang diharamkan. Atau keengganan untuk melakukan
sesuatu yang diperintah oleh agama, seperti meninggalkan shalat wajib. Kelompok
inilah yang dimaksudkan Allah SWT sebagaimana firmanNya surat [QS. AI-A’Raf
(7): 96].
ﻭَﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﻘُﺮَﻯ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺍﺗَّﻘَﻮْﺍ ﻟَﻔَﺘَﺤْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑَﺮَﻛَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ
ﻛَﺬَّﺑُﻮﺍ ﻓَﺄَﺧَﺬْﻧَﺎﻫُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻜْﺴِﺒُﻮﻥَ
“ Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”.

Dalam ayat ini, Allah menjanjikan pemberian rahmat bagi orang yang beriman.
Taqwa yang dimaksud dalam firman ini menurut tafsir Alkhozin ialah taqwa dalam
arti menjauhkan diri dan larangan-larangan Allah SWT dan apa saja yang di
haramkanNya. Maksudnya bukan hanya sekedar memurnikan kepercayaan kepada
Allah saja, akan tetapi kepercayaan yang sudah tertanam itu diwujudkan dalam
bentuk nyata, yakni dengan menjauhi larangan larangan Allah SWT. Golongan ini
hanya mementingkan dirinya sendiri untuk selalu menghindar dari hal-hal yang
mengakibatkan dosa. Tentunya setelah terlebih dahulu menanamkan keimanannya.
Mereka tidak mampu berbuat selebihnya. Mereka tidak mampu menjalankan
perintah-perintah agama secara sempurna. Mereka tidak mampu melakukan
amalan-amalan yang mendapatkan pahala untuk kepentingan ketaqwaannya.
Golongan ini adalah golongan pertengahan, lebih tinggi dibanding golongan yang
pertama.

Ketiga , golongan yang berusaha membersihkan hatinya yang sedang lalai dan
mengerahkan segalanya hanya untuk Allah SWT semata. Apa yang dikerjakan
selalu disandarkan kepada Allah SWT dalam rangka mencari keridhoanNya. Taqwa
inilah yang dikatakan betul-betul taqwa kepada Allah SWT. Dan taqwa inilah yang
sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam firmanNya [QS. Ali Imran (3):102].
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻ ﺗَﻤُﻮﺗُﻦَّ ﺇِﻻ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻣُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan
beragama Islam”.

Tuntutan taqwa pada ayat ini sangat berat, karena taqwa di sini mengandung tiga
unsur, yaitu:

1. Pertama, harus mentaati ajaran agama, baik yang berbentuk perintah ataupun
larangan. Dan tidak boleh sedikitpun lalai, atau berbuat maksiat.
2. Kedua, harus selalu ingat kepada Allah SWT, tanpa melupakan sejenakpun.
3. Ketiga, harus selalu bersyukur kepadaNya, tanpa pernah mengingkarinya.

Karena ketiga unsur ini amat berat, maka muncullah seorang sahabat yang
mengungkapkan keberatannya kepada baginda Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah,
siapa yang mampu menjalankan taqwa yang seperti itu? Maka turunlah Surat At
Taghobun (64):16.
ﻓَﺎﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﻭَﺃَﻧْﻔِﻘُﻮﺍ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻷﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻮﻕَ
ﺷُﺢَّ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan Barangsiapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang
beruntung”.

Setelah turun ayat ini, maka taqwa yang mengandung unsur di atas, hendaklah
dilakukan dalam batas kemampuan maksimal. Sebagai manusia, wajarlah kalau
seorang sahabat Nabi menyatakan keberatan dalam menjalankan taqwa
sepenuhnya pada tingkatan terakhir ini, sebab Tuhan menciptakan manusia disertai
hawa nafsu.

Pengendalian hawa nafsu inilah yang sulit dilakukan o!eh setiap manusia.
Walaupun tuhan telah berkali-kali mengingatkannya agar berhati-hati dalam
menghadapi hawa nafsu. Di antaranya dalam surah Al-Munafiqun (63):09. Dalam
ayat ini Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam mengendalikan keinginan,
menguasai kekayaan dan anak-anak.
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻻ ﺗُﻠْﻬِﻜُﻢْ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟُﻜُﻢْ ﻭَﻻ ﺃَﻭْﻻﺩُﻛُﻢْ ﻋَﻦْ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻔْﻌَﻞْ ﺫَﻟِﻚَ
ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮُﻭﻥَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah
orang-orang yang merugi”.

Bila keinginan nafsu itu sampai melalaikan akan mengingat Allah, berarti telah
mengurangi kualitas ketaqwaan kita. Dalam hal menginginkan untuk menguasai
harta kekayaan dan anak-anak, memang manusia sering kali sampai melupakan
Tuhannya. Hal ini karena harta kekayaan dan anak-anak itu merupakan fitnah
(cobaan) Allah SWT. Bagi yang mampu melewatinya dengan baik, akan
mendapatkan keuntungan besar, dan Allah telah menjanjikan pahala yang besar. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar