Jumat, 26 Februari 2016

Memahami Tawassul dan Hukumnya

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ

Kita sering mendengar seorang muslim berdoa dengan mengucapkan beberapa kalimat berikut, “Ya Allah, berkat waliMu Fulan, berilah aku….” atau ” Ya Allah, dengan kebesaran Fulan, jadikanlah aku….”, atau “Ya Allah, berkat puasaku, mudahkanlah…” atau “Ya Allah, berkat shalawat yang kami baca, anugerahilah aku…”, atau “Ya Allah, berkat waliMu yang dimakamkan di kuburan ini, selamatkanlah aku…”, dan lain sebagainya.

Semua yang tertera di atas merupakan contoh Tawassul. Yang menjadi pertanyaan bagaimana sebenarnya hukum tawassul itu sendiri?

Tawassul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam usahanya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala atau untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰـهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿سورة المائدة:٣٥﴾

“Hai orang-orang yang berimana, patuhlah kepada Allah, dan carilah wasilah kepadaNya, dan berjuanglah di jalan Allah, supaya kamu jadi beruntung” (Quran Surat Al-Maidah: 35).

Sesuatu dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) jika ia dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.

Berdoa dengan bertawassul artinya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebutkan sesuatu yagn dicintai dan diridhai Allah. Contohnya, jika seseoarang ingin mendapatkan ampunan Allah, kemudian dia berdoa demikian, “Ya Allah, berkat namaMu Ar-Rahman dan Al-Ghaffur, ampunilah segala kesalahanku” atau “Ya Allah, berkat kebesaran nabiMu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mudahkanlah segala urusanku yang Engkau ridhai”.

Seseorang yang bertawassul berarti mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya tersebut, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu, ia pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang -menurut prasangka baiknya- dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah hakikat tawassul.

Secara garis besar, doa tawassul dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu tawassul dengan amal shaleh sendiri dan tawassul dengan amal shaleh orang lain. Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan amal shaleh sendiri seperti shalat, puasa, membaca Al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam. Dalilnya adalah cerita tentang tiga orang yang terjebak dalam sebuah gua dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar radhiyallohu ‘anhu (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Kalau bertawassul dengan amal shaleh sendiri diperbolehkan, lalu bagaimana dengan tawassul yang bukan dengan amal kita sendiri melainkan dengan orang lain atau nama seseorang seperti perkataan, “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad…” atau “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…”  atau “Ya Allah, berkat para Rasul dan waliMu…”, dan lain-lain, bagaimanakah hukumnya?

Bagi orang-orang yang tidak memahami alasan mengapa seseorang bertawassul dengan orang lain akan menuduhnya telah berbuat syirik. Tuduhan ini tidak hanya salah tetapi sangat berbahaya. Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal shalehnya sendiri. Bagaimana bisa?

Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut adalah seorang yang shaleh yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran RasulMu Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Atau ada orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Kita semua tahu bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada RasulNya, dan cinta kepada orang-orang yang shaleh merupakan amal yang sangat mulia.

Ingatkah anda akan cerita seorang Badui yang datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menanyakan perihal kiamat? Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, kapan kiamat tiba?”.

“Apa yang kamu pesiapkan untuk menghadapinya?”, tanya Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.

“Aku tidak mempersiapkan apa-apa, hanya saja aku mencintai Allah dan RasulNya”, jawab Badui tersebut.

Rasulullah lantas bersabda, “Sesungguhnya engkau akan bersama dengan yang engkau cintai”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Dengan demikian, setiap orang yang bertawassul dengan orang lain berarti ia sedang bertawassul dengan amal shalehnya sendiri yaitu cinta. Sehinga tidak ada bedanya jika orang yang ia jadikan sebagai wasilah (perantara) tersebut masih hidup atau telah meninggal dunia. Sebab, kematian tidak dapat membatasi cinta seseorang. Cinta kita kepada para Rasul dan kaum Sholihin tidak hanya ketika mereka masih hidup.

Disamping itu, tawassul dengan orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Sahabat Nabi, dan kaum Sholihin. Di bawah ini akan kami beberapa contoh yang insya Allah bermanfaat.

Tawassul Nabi Muhamamad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Orang-orang yang Berdoa

Abu Said Al-Khudri radhiyallohu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya dan menuju masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:

اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَآءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اِتِّقَاءَ سُخْطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيْذَنِيْ مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوبِيْ ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepadaMu. Dan aku memohon kepadaMu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murkaMu dan mengharapkan ridhaMu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Barangsiapa yang membaca doa ini), maka Allah menyambutnya dengan wajahNya dan 70 ribu malaikat memohonkan ampun untuknya (Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).

Sejumlah ulama besar dalam Ilmu Hadits menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih dan hasan, diantaranya adalah Ibnu Khuzaimah, Mundziri, Abul Hasan (guru Mundziri), Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, dan Abi Hatim (Lihat: Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu An-Tushah-hah, cet. X, Darul Auqaf Was Syu’un Al-Islamiyyah, Dubai, 1995, hal. 147).

Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Muhamamd Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertawassul dengan kemuliaan semua orang yang berdoa memohon kepada Allah, baik mereka yang masih hidup, telah meninggal dunia, maupun yang belum lahir di muka bumi ini.

Tawassul Nabi Adam ‘Alaihis Salam dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam

Dalam sebuah riwayat, Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:

لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ اللّٰهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ لأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ ، رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيـْتُ عَلَى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُـوْبًا: لآ إِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ ، فَعَلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلىٰ اِسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ اللّٰهُ صَدَقْتَ يَا آدَمُ اِنَّهُ لَأَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيَّ اُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ ، وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ

“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Muhamamd agar Engkau mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Ku ciptakan?’. Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan TanganMu dan Engkau tiupkan kepadaku dari RuhMu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy tercantum tulisan yang berbunyi La Ilaha Illalloh Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan namaMu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai. Allah berkata,”Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaKu dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”. (Hadits Riwayat Hakim)

Beberapa ulama besar dalam Ilmu Hadits menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih, diantaranya: Imam Hakim, Al-Hafidz As-Suyuti, Qasthalani, Zarqani, As-Subki, Al-Hafidz Al-Haitsami.

Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Nabi Adam ‘Alaihis Salam bertawassul dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahkan jauh hari sebelum beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tawassul Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Seluruh Nabi

Ketika Ibu Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhu meninggal dunia yang bernama Fatimah binti Assad radhiyallohu ‘anha meninggal dunia, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub Al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Namun, ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar kubur dan kemudian berkata:

اَللّٰهُ الَّذِيْ يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad dan bimbinglah ia untuk mengucapkan hujjahnya serat luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) NabiMu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih”.

Setelah itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menshalatkan jenazahnya dan memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash-Shiddiq (Hadits Riwayat Thabrani).

Menurut Al-Hafidz Al-Ghimari, hadits di atas merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.

Dalam hadits di atas disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang semuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa ‘Alaihis Salam.

Tawassul Para Sahabat dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam

Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebuataanya tersebut. Tetapi lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتُقْضَى لِيْ اَللّٰهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepadaMu dengan (bertawassul dengan) NabiMu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku” (Hadits Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud).

Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan shahih. Imam Hakim dan Adz-Dzhabi juga menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih.

Saudaraku, dalam hadits di atas Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengajarkan cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku ketiak beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafatnya beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Buktinya sejumlah Sahabat Nabi menggunakan tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang seringkali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat 2 rakaat di masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi menemui Sayyidina Utsman bin Affan. Inilah doanya:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ اَتَوَجَّهُ بِكَ إِلٰى رَبِّكَ رَبِيْ جَلَّ وَعَزَّ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan bertawajjuh kepadaMu dengan (bertawassul dengan) Nabi kami Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Nabi yang penuh kasih. Duhai Muhammad, sesungguhnya dengan bertawassul denganmu, aku bertawajjuh kepada Allah, Tuhanmu dan Tuhanku yang Maha Agung dan Maha Mulia agar Ia mewujudkan hajatku”.

Setelah melaksanakan saran Utsman bin Hunaif, lelaki itu pergi menghadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu. Sesampainya di depan pintu, sang penjaga menyambutnya dan membawanya masuk degnan menggandeng tangannya. Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu kemudian mendudukannya di permadani tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa hajatmu?”. Setelah menyebutkan semua hajatnya, Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu pun memenuhi permintaannya. Kemudian beliau radhiyallohu ‘anhu berkata, “Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan sesuatu, segerelah datang kemari”.

Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu, lekali itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu.

“Semoga Allah membalas kebaikanmu. Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah memperhatikan hajatku maupun memandangku”, ujar lelaki itu kepada Utsman bin Hunaif.

“Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun kepadanya. Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengeluhkan kebutuhannya…. (sampai akhir cerita seperti yang tersebut di atas).

Saudaraku, cerita di atas membuktikan bahwa para Sahabat Nabi juga bertawassul dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sepeninggal beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Disamping itu, dalam Tafsir Ibnu Katsir juga diceritakan bahwa ada seorang Badui berziarah ke makam Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan berdoa di depan makan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ini jelas membuktikan bahwa sepeninggal Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Sahabat Nabi  juga bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.

Tawassul Sayyidina Umar bin Khattab dengan Sayyidina Abbas Radhiyallohu ‘Anhuma

Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu meminta hujan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muthllib. Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu berkata dalam doanya:

اَللّٰهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepadamu kami bertawassul dengan NabiMu, Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa kepadaMu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan” (Hadits Riwayat Bukhari).

Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan kepada mereka semua.

Hadits di atas menyebutkan dengan jelas bahwa Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu bertawassul dengan Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu, paman Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ada sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayyidina Umar bertawassul dengan Sayyidina Abbas yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sendiri mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para Sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tuna netra di masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu. Lalu, apa maksud tawassul Sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada semua Sahabat bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayyidina Abbas adalah karena kedekatan beliau dengan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu merupakan paman Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, ahli bait Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.

Kesimpulan

Tawassul merupakan salah satu bentuk doa. Beberapa hadits di atas telah membuktikan bahwa tawassul denagn amal shaleh sendiri dan dengan orang lain yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia, merupakan bagian dari ajaran Islam. Oleh karena itu, mari kita berhati-hati dan tidak menuduh seorang muslim telah berbuat syirik hanya karena bertawassul dengan mereka yang telah meninggal dunia.

Oleh: Sayyidil Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Surakarta, dalam bukunya yang berjudul “Mana Dalilnya 1: Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, dan Tahlil”, Cetakan XXIII, Maret 2008, Penerbit Taman Ilmu Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar