Al-‘Allâmah Asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan[1]: Kaedah-kaedah mendasar yang sangat bermanfaat:
(Satu); Kaedah yang telah disebutkan oleh al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqîh Wa al-Mutafaqqih, sebagai berikut:
"والثانية: لا تثبت الصفة لله بقول صحابي أو تابعي إلا بما صح من الأحاديث النبوية المرفوعة المتفق على توثيق رواتها، فلا يحتج بالضعيف ولا بالمختلف في توثيق رواته حتى لو ورد إسنادٌ فيه مُختَلَف فيه وجاء حديث ءاخر يَعْضِدُه فلا يُحتَجُّ به"
“Ke dua: Bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat ditetapkan hanya dengan dasar perkataan seorang sahabat, atau perkataan seorang tabi’in. Sifat-sifat Allah hanya dapat ditetapkan dengan hadits-hadits Nabi yang marfû’ dan telah disepakati bahwa para perawi hadits-hadits tersebut sebagai orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Dengan demikian penetapan sifat-sifat Allah tidak dapat diambil dari hadits yang dla’îf, atau hadits yang para perawinya diperselisihkan; apakah mereka orang-orang tsiqah atau tidak?!
Bahkan jika ada hadits yang menyebutkan tentang sifat Allah dan para perawi hadits tersebut masih diperselisihkan, walaupun kemudian hadits ini dikuatkan dengan adanya hadits lain (yang semakna dengannya dengan jalur yang berbeda), hadits ini tetap tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan sifat Allah” [2].
(Dua); Masih dalam kitab yang sama al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi juga menuliskan kaedah sebagai berikut:
"وإذا روى الثقة المأمون خبرًا متّصل الإسناد رُدّ بأمور: أحدها: أن يخالف موجبات العقول فيعلم بطلانه لأن الشرع إنما يَرِدُ بمجوَّزات العقول وأمّا بخلاف العقول فلا، والثاني: أن يخالف نص الكتاب أو السنة المتواترة فيعلم أنه لا أصل له أو منسوخ، والثالث: أن يخالف الإجماع فيستدل على أنه منسوخ أو لا أصل له، لأنه لا يجوز أن يكون صحيحًا غير منسوخ وتجمع الأمة على خلافه"
”Jika seorang perawi yang tsiqah yang dapat dipercaya meriwayatkan suatu hadits dengan sanad yang bersambung (muttashil), maka hadits tersebut dirujuk kepada beberapa perkara berikut ini;
Pertama: Jika hadits itu menyalahi ketetapan-ketetapan akal sehat maka nyatalah bahwa hadits tersebut tidak bisa diterima, karena seluruh ajaran dalam syari’at ini tidak datang kecuali sejalan dengan ketetapan akal sehat (rasional) dan tidak menyalahinya.
Ke dua: Jika hadits tersebut menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits-hadits mutawâtir maka nyatalah bahwa hadits itu tidak memiliki dasar yang benar, atau bisa jadi hadits tersebut telah dihapus (mansûkh), karena tidak dapat diterima adanya sebuah hadits yang tidak mansûkh, (walaupun hadits tersebut shahih) sementara hadits tersebut menyalahi sesuatu yang telah disepakati oleh umat Islam”[3].
(Tiga); Para ulama hadits telah menyebutkan bahwa sebuah hadits jika menyalahi akal yang sehat, atau menyalahi teks-teks al-Qur’an, atau menyalahi hadits mutawâtir dan hadits tersebut tidak dapat ditakwil maka dapat dipastikan bahwa hadits tersebut sebagai hadits batil. Ketetapan ini telah disebutkan olah para ulama Fiqih dan ulama Ushul Fiqih dalam karya-karya mereka, di antaranya seperti yang telah disebutkan oleh al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam kitab Jama’ al-Jawâmi’ dan oleh lainnya.
Al-Imâm Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata:
"لا تثبت لله صفة إلا بالكتاب أو خبر مقطوع له بصحته يستند إلى أصل في الكتاب أو في السنة المقطوع على صحتها، وما بخلاف ذلك فالواجب التوقف عن إطلاق ذلك ويتأول على ما يليق بمعاني الأصول المتفق عليها من أقوال أهل العلم من نفي التشبيه"
”Sifat bagi Allah tidak boleh ditetapkan kecuali dengan al-Qur’an atau hadits yang telah dipastikan ke-shahih-annya, yang hadits ini didasarkan kepada kebenaran al-Qur’an atau kepada hadits lain yang juga dipastikan kebenarannya. Adapun hadits yang menyalahi hal-hal ini maka kewajiban dalam hal ini adalah tawaqquf; artinya tidak menjadikannya sebagai dalil dalam penetapanm sifat Allah di atas. Lalu kemudian hadits tersebut ditakwil dengan makna yang sesuai dengan kaedah-kaedah yang telah disepakati oleh para ulama dalam menafikan keserupaan (tasybîh) bagi Allah” [4].
Kemudian al-Imâm al-Khaththabi berkata:
"وذِكر الأصابع لم يوجد في الكتاب ولا في السنة التي شرْطها في الثبوت ما وصفناه، فليس معنى اليد في الصفات معنى الجارحة حتى يتوهم بثبوتها ثبوت الأصابع بل هو توقيف شرعي أطلقنا الاسم فيه على ما جاء به الكتاب من غير تكييف ولا تشبيه"
“Penyebutan “al-Ashabi’” (jari-jari) tidak ada sedikitpun dalam al-Qur’an, juga tidak ada dalam hadits-hadits dengan kreteria-kreteria yang telah kami sebutkan. Adapun penyebutan kata “al-Yad” di antara sifat-sifat Allah bukan dalam pengertian “tangan” yang hal tersebut mengharuskan adanya jari-jari. Ketetapan adanya penyebutan kata “al-Yad” dengan dinisbatkan kepada Allah adalah secara tawqîfiy; artinya bahwa kita menetapkan hal tersebut sebagaimana telah ditetapkan oleh al-Qur’an, tanpa memahaminya sebagai sifat-sifat benda (takyîf) dan tanpa menyerupakannya (tasybîh) dengan suatu apapun”[5].
[1] Sharih al Bayan Fi Radd 'Ala Man Khalaf al-Qur’an, h. 57-58
[2] al-Faqîh Wa al-Mutafaqqih, h. 132
[3] Ibid.
[4] al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, h. 335-336
[5] Ibid, h. 335-336. Dengan demikian kata “al-Yad” pada hak Allah ini juga tidak boleh diterjemahkan menjadi “tangan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar