Dahulu kala, seorang pemuda dari Kudus Jawa Tengah punya hobi mengembara mencari ilmu. Bertahun-tahun ia berpetualang di Jawa Tengah dari satu pesantren ke pesantren lain. Setelah lama mengembara, ia belum menemukan guru yang dianggap betul-betul alim dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Maka pergilah ia menyisir pesantren-pesantren di Jawa Timur. Lama mencari, sampai tiba di pesantren KH Yasin, Pasuruan. Kiai Yasin menyarankan agar ia belajar kepada Hadratussyekh KH Nawawie bin Noerhasan, Sidogiri.
Pemuda itu tertarik dan ‘nyantri di Sidogiri. Pertama ikut ngaji, ia langsung merasa cocok, sebab Kiai Nawawie jarang sekali memberi makna, apalagi menerangkan.
Waktu itu yang mengaji kepada beliau adalah santri-santri senior. Bahkan tak jarang yang sudah jadi kiai.
Diam-diam Kiai Nawawie yang dikenal ‘allamah (sangat alim) dan khumul (tak suka menampilkan diri) tahu perihal sikap pemuda itu yang sudah merasa alim. Suatu ketika, saat memberi pelajaran ilmu Falak, sengaja beliau tidak menerangkan dan langsung menunjuknya untuk menjelaskan.
Pemuda itu gelagapan, karena dalam ilmu Falak ia sama sekali tak mengerti. Sejak itulah perasaan merasa alim dibuangnya jauh-jauh. Dan ia pun menjadi salah satu santri kesayangan Kiai Nawawie, hingga kemudian dinikahkan dan disuruh menetap di Pasuruan.
Dikutip dari
Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri
patut dijadikan ibrah
BalasHapus