Selasa, 26 Januari 2016

RIWAYAT HIDUP IMAM AL-QUSYAIRI SEORANG ULAMA DAN WALI ALLAH YANG TERSOHOR

Nama Al-Qusyairi tidak asing lagi di kalangan pengkaji tasawuf. Tambahan pula ianya sering disebut-sebut dalam kitab-kitab tasawuf, terutama sekali berkaitan dengan kitabnya, Ar-Risalah.

Bahkan nama al-Qusyairi digandingkan dan disatukan dengan nama kitab tersebut dan terkenal dengan sebutan 'Ar-Risalah al-Qusyairiyyah' yang tak asing lagi bagi para pengkaji tasawuf.

Begitu terkenalnya penyatuan dua nama tersebut, hingga terkesan bahwa ar-Risalah adalah satu-satunya kitab al-Qusyairi yang pernah ditulis sepanjang hidupnya. Hal itu tentu saja tidak benar. Al-Qusyairi telah menulis sekitar dua puluh buku, dan ar-Risalah sebenarnya juga bukan karyanya yang terpenting. Ada kitab lain yang lebih penting dan lebih agung, yaitu 'Lath'aif al-Isyarat'. Sebuah kitab tafsir qur'an yang masuk dalam kategori Tafsir Isyari.

Beliau dilahirkan di Ustua, Nisapur, daerah Khurasan, Iran pada bulan Rabi`ul Awwal 376 H., atau july 986 M., dan meninggal di Nisapur juga pada 16 Rabi`ul Akhir 465 H., atau sekitar 1074 M hidup sekitar 90 tahun, dan menghabiskan sebahagian masa hidupnya di Nisapur.

Nama beliau adalah Abdul karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Muhammad al-Qusyairi. Bermadzhab Syafi`i dalam fiqihnya dan Asy`ari dalam ilmu kalam(Aqidah).

Beliau memulai karier keilmuannya dengan belajar kepada para ulama Nisapur, yang waktu itu kota tersebut menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di kawasannya. Guru-gurunya yang terkenal misalnya Abu Bakr Muhammad ath-Thusi, Ibnu Furok, al-Asfarayini, al-Baqillani dan lain-lain. Kepada para guru tersebut al-Qusyairi banyak belajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqih, hadits, ilmu kalam, ilmu bahasa dan lain-lain.

Pada suatu hari al-Qusyairi begitu tertarik dan terpesona oleh apa yang disampaikan oleh Abu Ali ad-Daqqaq (seorang ulama Nisapur yang terkemuka, luas dan dalam ilmunya, akhlaknya sangat terpuji dan merupakan imam muktabar pada zamannya. Bermadzhab Syafi`i dalam fiqihnya, Asy`ari dalam ilmu kalam dan al-Junaid dalam tarikatnya). Ia merasakan sesuatu yang lain dari apa yang pernah ia dengar dari guru-guru sebelumnya.

Abu Ali ad-Daqqaq banyak berbicara tentang kotoran jiwa manusia, bagaimana cara-cara pencerahan jiwa yang kotor tadi, upaya-upaya dan latihan menuju pencerahan tersebut, tentang intuisi dan kalbu, juga masalah-masalah kerohanian lainnya. Mulalah al-Qusyairi berguru kepada Abi Ali ad-Daqqaq. Kini ia tidak saja mempelajari ilmu-ilmu agama yg zahir, tapi juga tekun dalam mempelajari ilmu-ilmu batin. Ia tidak saja mahir dalam ilmu-ilmu rasional, namun juga mendalam di bidang ilmu-ilmu intuitif dan kerohanian. Rangkuman antara ilmu syari'at dan ilmu hakikat oleh Al-Qusyairi membuat Ali ad-Daqqaq menjadi kagum. Dan kemudian memilihnya untuk menjadi anak menantu, menjadi pasangan hidup bagi puterinya yang bernama Fatimah. Walaupun sebenarnya banyak kerabat yang meminang. Maka lengkaplah hubungan al-Qusyairi dengan ad-Daqqaq: sang guru, syekh, mertua dan sahabat.

Kehidupan al-Qusyairi tidak lepas dari dugaan yang menimpanya akibat kedengkian para fuqaha dan mutakalimin Mu`tazilah yang waktu itu mempunyai kedudukan penting di Khurasan. Mereka begitu mendengki al-Qusyairi yang menganut madzhab Asy`ari, setelah namanya jadi terkenal di seluruh negeri. Para ulama Mu`tazilah yang memang dekat dengan penguasa, selalu mencari-cari dan membuat-buat tuduhan palsu untuk mengadu domba antara al-Qusyairi dengan sultan. Mereka begitu membenci penganut madzab Asy`ari dan selalu merupaya untuk membasminya. Akhirnya suatu hari mereka berhasil menghasut sultan dan menfitnah al-Qusyairi serta beberapa ulama besar Asy`ari lainnya termasuk imam haramain al-Juwaini.

Al-Qusyairi ditangkap dan diseret di jalanan kota itu, kemudian dipenjarakan. Beberapa waktu kemudian seorang sahabat dan muridnya berhasil membebaskannya dari kehidupan penjara yang amat mencengkam. Atas dasar nasihat sahabatnya, sejak itu al-Qusyairi meninggalkan tanah kelahirannya, terpaksa meninggalkan harta, anak-anak dan istrinya serta mengembara dari satu negeri ke negeri islam lainnya, hingga tibalah di kota Baghdad.

Amirul Mukminin yang berkuasa waktu itu adalah Khlaifah Al-Qa`im Bi Amirillah, seorang yang sangat bertaqwa kapada Allah, wara` dan zahid dalam hidupannya. Ia begitu gembira menerima al-Qusyairi, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengajar di masjid-masjid Baghdad.

Sementara itu penguasa negeri kelahirannya, Khurasan, juga telah berganti. Sultan yang baru iaitu Alb Arsalan, seorang sunni yang sangat taat, baik hati dan bijaksana, mengembalikan lagi kota Nisapur kedalam kehidupan yang tenang, aman dan tenteram.

Para pendengki ulama yang banyak mengelilingi Sultan telah disingkirkan. Al-Qusyairi pun akhirnya kembali ke keluarganya dan tanah kelahirannya. Hal tersebut merupakan sepuluh tahun terakhir dari hidupnya yang di lalui dengan terhormat dan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar