Senin, 16 Februari 2015

PANDANGAN ULAMA' AHLUS SUNNAH WAL JAMAA'AH TERHADAP NGALAP BERKAH/TABARRUK

Sebagian kalangan yang mengklaim dirinya sebagai pelopor kemurnian tauhid seringkali menggugat amalan-amalan yang diwarisi kaum muslimin dari generasi ke generasi. Mereka lupa
bahwa kesepakatan ulama merupakan sebuah dalil keabsahan sebuah amalan agama. Jika ulama suatu masa telah sepakat dalam hukum suatu masalah, maka tidak perlu lagi adanya koreksi. Sebab Rasulullah SAW menjamin kemaksuman kesepakatan ummat Islam.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
"Allah tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan. Dan "tangan " Allah beserta jama'ah." (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Turmudzi dll dengan sanad Shahih).

Bahkan jika ada yang menyimpang dari apa yang telah disepakati ulama, maka hal tersebut menunjukkan tanda-tanda kesesatan dan tanda-tanda ahli neraka. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
" Dan barangsiapa yang menyendiri (dari jamaah), maka ia menyendiri ke neraka." (HR. TurmudzilShahih).

Ngalap berkah dengan orang-orang shaleh merupakan kesepakatan ulama Islam, khususnya kalangan Madzhab Empat serta ulama hadits dan tafsir. Berikut ini berbagai fatwa ulama Madzhab Empat serta ulama hadits terhadap keabsahan anmalan tabarruk dengan orang-orang shalih.

1. Madzhab Hanafi

Salah seorang tokoh panutan Madzhab Hanafi, Imam Ibnu Abidin berkata:
"Dan tidak mengapa mencium tangan seorang alim yang wara' karena mengharapkan barokah/ngalap berkah/tabarruk." (Addur Al Mukhtar Juz 5 hal. 701).

2. Madzhab Maliki

Salah seorang Ulama Maliki, Syaikh Ali bin Ahmad Ash Sho'idi Al Adawi menceritakan riwayat salah seorang Ahli Fikih sekaligus sufi Agung dan guru besar Madzhab Maliki, Imam Muhammad bin Abdillah bin Ali AI Kharasyi.

"Kepadanya berpuncak kepemimpinan di Mesir sehingga dikatakan batıwa tidaklah tersisa seorang pun di Mesir pada akhir usianya kecuali mereka itu pernah menjadi murid beliau atau murid dari murid beliau. Beliau adalah Imam dalam masalah ilmu dan ma'rifat. Para paingeran dan pembesar meyakini beliau dengan keyakinan yang sempurna. Jika beliau melewati pasar dengan menaiki keledai, maka manusia berebut untuk mendekat kepada beliau karena ingin mendapatkan keberkahan (tabarruk/ngalap berkah) dengan mencium tangan beliau. Mereka yang tidak sampai kepada tangan beliau, maka mereka mengusap punggung beliau atau mengusap kendaraan beliau kemudian mengusapkan tangan tersebut ke wajah mereka masing-masing.

Beliau dikenal di seluruh penjuru bumi, seperti - Maghrib (Afrika Utara), Takrur, Syam, Hijaz, Turki, Yaman. Dan mereka menjadikan beliau sebagai perumpamaan. Para ulama Mesir, baik yang khos maupun yang 'am mengakui keutamaan beliau." (Syarh Mukhtashshor Khilil Juz 1 hal.3).

3. Madzhab Syafi'i

Imam Ibn Hajar al-Haytami mengatakan dalam kıtab beliau al-Khayrat al-hisan fî manaqib al-imam Abi Hanifa al-NıTman, bab 35:
"Saat Imam al-Syafii berada di Baghdad, beliau akan mengunjungi makam Imam Abu Hanifa (Imam Hanafi, ed.), memberikan salam padanya, dan kemudian meminta Allah untuk memenuhi hajatnya melalui wasilah Imam Abu Hanifa (yatawassal ilallah ta'ala bihi fi qada' hajatihi)."

Imam Kawthari (Qadi Hanafî kontemporer di zaman akhir Dinasti Ottoman, ed.) menyebutkan hal ini dalam kitab Maqalat-nya (hal. 412) bahwa hafiz al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan tentang tawassul Syafi'i melalui Abu Hanifa dipermulaan kitab Tarikh Baghdad-nya (1:123) dengan isnad yang baik.

Mengenai tawassul dengan orang-orang shalih selain Rasulullah SAW, Imam Syafî'i berkata:
"Barangsiapa yang ingin bertabarruk dengan memanggul jenazah (orang shalih) dari keempat sisinya, maka hendaklah ia memulai dengan penyangga bagian kiri di depan, dst." (Roudhotuth Tholibin Juz 1 hal. 185).

4. Madzhab Hambali

Imam Ibnu Jamaah (Asy-Syafi'i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah menceritakan perihal ayahnya (Imam Ahmad bin Hanbal). Ia (Abdullah) meriwayatkan: Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasul dan bertabarruk dengan mengusap-usap jüga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaünana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah.
Beliau menjawab: "Tidak mengapa." (Lihat: Wafa' al-Wafa' Jilid: 4 Halaman: 1414).

Hafiz al-Iraqi meriwayatkan pula dengan isnad beliau dalam kitab beliau Fath al-muta'al: "Kami meriwayatkan bahwa Imam Ahmad mencari barakah (tabarruk) denğan meminum air cucian dari baju Imam as-Syafi'i, dan Ibn Taymiyyah sendiri juga meriwayatkannya." Dan ada riwayat lain, bahwa Imam Syafi'i yahg bertabarruk dari air cucian baju Imam Ahmad.

5.Tabarruk menurut Ulama Ahli Hadits

Salah seorang tokoh hadits yang menjadi rujukan ulama hadits seluruh dunia adalah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani. Kitab beliau yang berjudul Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori adalah kitab standar hadits yang diakui mutunya di seluruh dunia Islam dari berbagai madzhab. Dalam kitab ini beliau berkata:
"Dan telah berlalu hadits riwayat 'ltban dan permintaannya kepada Rasulullah SAW agar beliau shalat di rumahnya supaya kemudian Itban dapat menjadikan tempat tersebut sebagai tempat shalatnya. (Dan telah lewat pula) penerimaan Rasulullah SAW terhadap permintaan tersebut. Maka ini merapakan dasar diperbolehkannya mengambil barakah/ngalap berkah dengan bekas-bekas orang-orang shaleh." (Fathul Bari Juz 2 hal.235).

Demikianlah fatwa dan pendapat para ulama yang menerima ilmu secara estafet/bersilsilah tentang ngalap berkah dengan orang-orang shaleh. Sehingga dengan demikian, gugatan sekelompok kecil orang-orang yang mengklaim sebagai ahli ilmu terhadap amalan tabarruk
dengan orang-orang shalih justru menunjukkan bahwa kredibilitas keilmuan mereka perlu dipertanyakan.

Diskusi tentang Tabarruk, Ulama Sunni vs Penggugşt Tabarruk Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th 1328H), seorang ulama terkenal dan ternama di kota Makkah. Beliau adalah
ayahanda dari Ahli Hadits terkemuka saat ini, Almarhum Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki. Disamping aktif dalam berdakvrah baik di Masjidil Haram atau di kota kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki juga merupakan seorang ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah shalat Jumat dengan judul "Hadits al-Jumah". Hal ini karena beliau diakui kepakarannya dalam bidang
Ilmu Hadits.

Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu dipanggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan, Selama menjalankan tugas dakwah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki selalu
membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampingmya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.

Sayyid Alwi pernah terlibat diskusi dengan seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahabi (Salafy) yang getol menentang tabarruk dan bahkan memusyrikkan amalan 'tersebut, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Beliau adalah guru dari Ulama Wahabi terkemuka saat ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Syaikh Sa'di memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa'di, termasuk ulama Wahabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi, bin Abbas Almaliki al-Hasani sedang duduk-duduk di serambi Masjid Al-Haram bersama halaqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidıl Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan thawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat.

Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan airnya dengan derasnya.

Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz, seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia (Al Muthawwa'iin), yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz , yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka'bah itu, "Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu.perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik."

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itupun segera berhamburan menuju halaqah al-Imam al-Sayyid 'Alwi Almaliki al-Hasani dan menanyakan perihal hukum
mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang
kedua kalinya, orang-orang Hijaz itupun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi Baduwi itu, "Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid 'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itupun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa'di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa
Sayyid 'Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya.

Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halaqah Sayyid 'Alwi dan duduk di sebelahnya.

Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tata krama layaknya seorang ulama. Syaikh Ibnu Sa'di bertanya kepada
Sayyid 'Alwi: "Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?" Sayyid 'Alwi menjawab: "Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah." Syaikh Ibnu Sa'di berkata:
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?

" Sayyid 'Alwi menjawab: "Karena Allah SWT berfîrman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. Qaf: 9).

Allah SWT juga berfirman mengenai Ka'bah:
"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bakkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. Ali Imran: 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turan dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini." Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di merasa heran dan kagum kepada Sayyid 'Alwi.

Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid 'Alwi: "Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini."

Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di:
"Tenang dılu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimia dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka.

Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka'bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain."

Akhirnya mendengar saran Sayyid 'Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di segera bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.

Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi Baduwi itupun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.

Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam 'Alwi bin 'Abbas Almaliki al-Hasani.

Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya), Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu. Semoga kita semua menjadi pencari keberkahan dari Rasulullah SAW, para Rasul, Ghaütsu Hadzaz Zaman RA, para auliya' serta benar-benar mendapatkan barokah khusus dari beliau-beliau tersebut. Amien. (Abul Fatih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar