Masif sekali beredar di kalangan masyarakat baik terpelajar atau pun juga tidak (dalam hal ini masalah syariah) terkait kaidah yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang Nabi s.a.w tidak kerjakan itu adalah perkara yang haram. Ini yang masyhur. Maka perlu ada pembahasan terkait ini, apakah memang demikian. Apakah memang benar apa yang ditinggalkan Nabi s.a.w atau Nabi s.a.w tidak mengerjakan itu berarti haram dan terlarang untuk dilakukan?
Untuk itu penting untuk dijelaskan terlebih dahulu adalah hakikat ‘meninggalkan’ itu.
Dalam bahasa Arab, meninggalkan disebut dengan al-Tarku [ ﺍﻟﺘﺮﻙ], yang secara bahasa memang mempunyai arti meninggalkan. Sedangkan al-Tarku [ﺍﻟﺘﺮﻙ] dalam pembahasan kita berarti “Meninggalkannya Nabi s.a.w suatu pekerjaan tanpa ada keterangan bahwa beliau melarangnya, baik secara lisan atau juga dengan isyarat serta pernyataannya.”
Disebutkan “tanpa ada keterangan … “ itu dimaksudkan bahwa kalau memang ada keterangan Nabi s.a.w melarangnya baik secara lisan atau pernyataan, maka itu tidak termasuk dalam kategori “meninggalkan”, akan tetapi itu adalah “Larangan!”, karena ada keterangan Nabi melarangnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah semua yang tidak dilakukan Nabi s.a.w itu berbuah haram dan terlarang untuk dikerjakan? Lebih sempit lagi apakah al-Tarku itu konsekuensinya adalah keharaman? Nyatanya tidak ada ulama uhsul fiqh yang menyatakan bahwa keharaman itu dihasilakn dari sebuah perkara yang ditinggalkan Nabi s.a.w, atau juga dari perkara yang Nabi
s.a.w tidak pernah lakukan!
Ketika membahas apa konsekuensi hukum dari al=Tarku (meninggalkannya Nabi sebuah perkara) dalam kitabnya Husnu al-tafahhumi wa al-Darki fi Masalati al-Tarki [ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺘﻔﻬﻢ ﻭﺍﻟﺪﺭﻙ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺘﺮﻙ ] hal. 11, Sheikh Abdullah al-Shiddiq al-Ghumariy mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm bahwa memang meninggalkannya Nabi s.a.w bukan berarti itu dalil keharaman;
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺣَﺪِﻳﺚُ ﻋَﻠِﻲِّ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﻓَﻠَﺎ ﺣُﺠَّﺔَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺻْﻠًﺎ؛ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﺇﻟَّﺎ ﺇﺧْﺒَﺎﺭُﻩُ – ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ – ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠِﻢَ؛ ﻣِﻦْ ﺃَﻧَّﻪُﻟَﻢْ ﻳَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ – ﺻَﻠَّﺎﻫُﻤَﺎ، ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕُ ﻓِﻲ ﻗَﻮْﻟِﻪِ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻧَﻬْﻲٌ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻭَﻟَﺎﻛَﺮَﺍﻫَﺔٌ ﻟَﻬُﻤَﺎ؛ [ ﻭَﻣَﺎ] ﺻَﺎﻡَ – ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ – ﻗَﻂُّ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﻛَﺎﻣِﻠًﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ؛ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻫَﺬَﺍ ﺑِﻤُﻮﺟِﺐٍ ﻛَﺮَﺍﻫِﻴَﺔَ ﺻَﻮْﻡِ [ ﺷَﻬْﺮٍﻛَﺎﻣِﻞٍ ﺗَﻄَﻮُّﻋًﺎ ]
“sedangkan hadits Ali, itu tidak menjadi dalil apa-apa, kecuali hanya pemberitahuan bahwa ia tidak pernah melihat Nabi melakukan shalat 2 rakaat (ba’da ashar), ia benar dengan perkataannya. Akan tetapi tidak ada dalil larangan sahalat 2 rakaat ba’da ashar, tidak juga dimakruhkan. Dan tidak puasanya Nabi sebulan penuh melainkan Ramadhan bukan dalil makruhnya puasa (sunnah) sebulan penuh di bulan lain” (Ibn Hazm / al-Muhalla; 2/36)
Dalam kutipan ini, kita menyaksikan bahwa Imam Ibnu Hazm sama sekali tidak menjalani kaidah “Yang tidak Nabi Kerjakan, berarti haram!”, itu tidak diamalkan oleh beliau. Karena memang al-Tarku itu tidak membuahkan hasil hukum apa-apa. dan sebuah keharaman tidak bisa dihasilkan oleh sesuatu yang ditinggalkan.
Kenapa Imam Ibnu Hazm?
Penulis mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm al-Andalusi ini bukan tanpa alasan, tapi justru guna memperkuat bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara bukan berarti keharaman.
Melihat bahwa Imam Ibn Hazm adalah ulama dari kalangan madzhab fiqh al-Dzahiriyah yang terkenal sangat ketat dalam menjalan sunnah-sunnah Nabi s.a.w dan sangat ketat sekali
memperhatikan tekstual sebuah ayat dan hadits.
Bahkan madzhab al-Dzohiriyah mengharamkan adanya qiyas dalam ushul mereka. jadi menurut mereka, qiyas tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum, karena qiyas tidak pernah ada dalam al-Quran dan juga hadits Nabi s.a.w.
intinya memang sangat tekstualis sekali, sampai-sampai mengharamkan qiyas dan hanya mengamalkan apa yang tertera secara eksplisit saja dalam al-Quran dan hadits.
Imam Ibn Hazm saja yang memang dikenal sangat ketat dan hanya melaksanakan apa yang ada dalam al-Quran dan hadits itu meyakini dengan sangat bahwa yang namanya al-tarku itu tidak membuahkan hukum apa-apa. dan zaman sekarang ini, yang mengatakan bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara berarti itu haram adalah kelompok yang selalu mengaku kepatuhan mereka akan mengikuti al-Quran dan sunnah dengan sangat ketat.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menguatkan pandangan ulama bahwa yang namanya al-Tarku atau meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara tidak berbuah keharaman;
1] Haram adalah Hukum Taklif
Hukum taklif dalam syariah ada 5; Wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Itu menurut Jumhur ulama, akan tetapi dalam madzhab Imam Abu Hanufah, hukum taklif ada 7; Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karahah Tanzih, Makruh Karahah, Haram dan Mubah.
Sama seperti hukum taklif lainnya, Haram pun tidak muncul begitu saja, sesuatu bisa dihukumi haram tentu dengan beberapa bukti dan dalil dari teks- teks syariah yang jelas nyata mengindikasikan larangan. Dan dalam litarasi Ushul fqih, ada beberapa ciri teks syariah yang berbuah hukum haram dalam syariah, yang dalam bahasa ulama Ushul disbeut dengan Shiyagh al-Tahrim [ ﺻﻴﻎ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ]. Di antaranya;
1. Al-Nahyu [ ﺍﻟﻨﻬﻲ] = Larangan
Salah satu ciri yang membuat sesuatu itu dihukumi haram adalah adanya teks syariah yang melarang atau yang dalam bahasa syariah disebut dengan al-Nahyu [ ﺍﻟﻨﻬﻲ]. Bahkan dalam madzhab Imam Abu Hanifah, sesuatu yang haram itu tidak mungkin muncul kecuali dari teks syariah (nash) yang mengindikasikan larangan dengan syarat ia harus qath’iy (pasti dan tidak multi tafsir) baik tsubut (sumber) - nya atau juga dilalah (indikasi) -nya. Contohnya;
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮﺍ ﺍﻟﺰِّﻧَﺎ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻓَﺎﺣِﺸَﺔً ﻭَﺳَﺎﺀَ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra; 32)
ﻋﻦ ﺣﺬﻳﻔﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ “ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﺤَﺮِﻳﺮِ ﻭَﺍﻟﺪِّﻳﺒَﺎﺝِ ﻭَﺍﻟﺸُّﺮْﺏِ ﻓِﻲ ﺁﻧِﻴَﺔِ ﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ ﻭَﺍﻟْﻔِﻀَّﺔِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻫُﻦَّﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ”
Dari Huzaifah, Nabi s.a.w melarang kami (memakai) sutera dan (melarang kami) meminum dari bejana yang terbuat dari emas serta perak. Lalu beliau s.a.w mengatakan; “itu untuk mereka (wanita) di dunia dan untuk kalian (laki-laki) di akhirat”. (HR. al-Bukhari)
Dua tek syariah ini mengindikasikan keharaman yang nyata karena kandungan masing-masing nash itu larangan. Jadi hukum berzina haram karena ayat tersebut, dan memakai emas serta sutra haram bagi laki-laki karena adanya hadits tersebut.
1. Al-Tahrim [ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ] = Teks dengan Kalimat Haram
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔَ ﻭَﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﻟَﺤْﻢَ ﺍﻟْﺨِﻨْﺰِﻳﺮِ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻫِﻞَّ ﺑِﻪِ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (al-Baqarah; 173)
ﻭﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻟَﻤَّﺎ ﻧَﺰَﻟَﺖْ ﺁﻳَﺎﺕُ ﺳُﻮﺭَﺓِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ﻋَﻦْ ﺁﺧِﺮِﻫَﺎ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺣُﺮِّﻣَﺖْﺍﻟﺘِّﺠَﺎﺭَﺓُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮِ
Dari A’isyah r.a, ketika turun beberapa ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah, Rasul s.a.w keluar dan mengatakan; “telah diharamkan jual beli khamr”. (HR al-Bukhari)
Kedua teks syariah di atas menunjukan bahwa bangkai itu haram di makan, dan yang kedua haram menjual serta membeli khamr. Keduanya diharamkan karena ada teks (nash) syariah yang melarangnya tersebut.
1. Ancaman Melaksanakannya [ ﺍﻟﺘﻮﻋﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺑﺎﻟﻌﻘﺎﺏ ]
Kemudian, yang juga membuat sesuatu itu haram dilakukan dalam syariah ini adalah sesuatu yang teks-teks syariah mengancam kita untuk melakukannya atau jika dilakukan ada dosa yang akan didapatkan. Misalnya;
ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻕُ ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَﺎﻗْﻄَﻌُﻮﺍ ﺃَﻳْﺪِﻳَﻬُﻤَﺎ
“pencuri (laki-laki) dan pencuri (wanita), potonglah tangan-tangan mereka …” (al-Maidah; 38)
Dalam ayat ini, Allah s.w.t mengancam bahwa pencuri itu ganjarannya adalah potong tangan. Karena ada ancaman seperti itu, ini menjadikan pencurian itu sebagai sesuatu yang diharamkan.
Sejatinya shiyagh atau redaksi teks syariah yang menunjukkan sebuah kaharaman bukan hnaya 3 ini saja, banyak juga yang lainnya, akan tetapi 3 contoh di atas sebagai contoh yang paling sering muncul. Intinya bahwa kita tidak akan menemukan dalam literasi ushul para ulama Salaf yang mengatakan sesuatu itu haram karena Nabi s.a.w tidak mengerjakannya. Atau haram karena Nabi s.a.w meninggalkan itu.
Dan al-Tarku bukan al-Nahyu (larangan), bukan juga al-Tahrim (perngharaman), bukan juga Dzamm wa al-Tawa’ud ala al-Fi’li (ancaman melaksanakan). Al-Tarku adalah al-tarku yang tidak menghasilakn hukum apa-apa.
2] Yang Diharamkan adalah Yang Dilarang
Mari kita teliti ayat dan hadits berikut ini;
ﻭَﻣَﺎ ﺁَﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮﺍ
“apa yang dikerjakan, ambillah. Dan apa yang dilarang , maka tinggalkanlah” (al-Hasyr; 7)
ﻣَﺎ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ، ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ
“apa yang aku larang, maka tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian” (HR. Muslim)
Ayatnya jelas memerintahkan kita orang muslim untuk selalu mengikuti apa yang telah Nabi s.a.w kerjakan, dan meninggalkan apa yang beliau larang.
Begitu juga hadits setelahnya, perintah yang jelas sekali untuk umat Islam untuk mengikuti dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. dan meninggalkan dengan sepenuhnya apa yang beliau larang.
Namun perlu diperhatikan, bahwa yang diperintah untuk kita meninggalkannya adalah apa-apa yang dilarang, bukan apa yang ditinggalkan. Jelas melarang berbeda dengan meninggalkan. Dan karena inilah, para ulama ushul tidak ada yang mengatakan sesuatu itu haram dan wajib ditinggalkan hanya karena Nabi s.a.w. meniggalkannya. Yang jelas haram dan wajib ditinggalkan serta dijauhi adalah yang Nabi s.a.w. larang bukan yang beliau tinggalkan ( al-Tarku).
3] Meninggalkan itu Banyak Motifnya
Ini yang terpenting dalam perumusan hukum, para ulama ushul tidak menjadikan sebuah hukum dari sesuatu yang mempunyai multi tafsir atau punya banyak kemungkinan yang biasa disebut dengan Ihtimal [ ﺍﺣﺘﻤﺎﻝ].
Berhukum haruslah disandarkan kepada sesuatu/dalil yang pasti dan punya makna jelas tidak bersayap.
Dan dalam hal meninggalkan ( al-Tarku ) Nabi s.a.w. sebuah perkara, itu banyak motifnya (akan disebutkan selanjutnya), bisa karena lupa, atau juga karena khawatir menjadi wajib bagi ummatnya, atau juga karena memang –pada zamannya- tidak ada yang membuatnya untuk melakukan itu.
Karena banyak motifnya, banyak kemungkinannya, banyak tafsirnya, al-tarku ini tidak bisa dijadikan dalil. Dan ulama ushul telah menyepakati ini, sehingga mereka memunculkan sebuah kaidah dalam ilmu ushul Fiqh;
ﺇﺫﺍ ﺗﻄﺮﻕ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺳﻘﻂ ﺑﻪ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ
“kalau punya banyak kemungkinan (multi tafsir), maka tidak bisa dijadikan dalil.”
Dr. Muhammad SUlaiman al-Asyqar, dalam kitabnya yang juga disertasi beliau berjudul Af’al al-Rasul wa Dalalatuha ala al-Ahkam alSyar’iyyah [ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺩﻻﻟﺘﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ], yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa diartikan “Pekerjaan Nabi s.a.w. dan Indikasinya atas Hukum Syariah”. Dalam disertasinya ini, beliau menjelaskan secara rinci perihal
al-Tarku (meninggalkan) Nabi s.a.w. dalam satu bab khusus di jilid 2 dari halaman 45 sampai halaman 70.
Di dalamnya juga beliau menjelaskan beberapa motif Nabi s.a.w. di antaranya;
1. a) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Menjadi Wajib
Ini yang masyhur sekali di telinga kita, bahwa Nabi s.a.w. meningalkan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat, dan hanya melakukan jamaah tarawih bersama mereka di 3 atau 3 malam pertama saja. Ketika ditanya mengapa Nabi s.a.w. meninggalkannya, beliau menjawab; “Aku khawatir itu menjadi wajib bagi kalian, dan kalian tidak sanggup”. (Muttafaq ‘alayh)
1. b) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Dianggap Wajib
Ini hampir sama dengan yang di atas, akan tetapi Dr. al-Asyqar mengatakannya berbeda. Beliau mencontohkan perkara bahwa Nabi s.a.w. selalu melakukan wudhu untuk setiap shalat sebagai sebuah kesunahan. Kemudian pada peristiwa fathu Makkah, beliau hanya melakukan satu kali wudhu untuk shalat seharian penuh itu. Lalu sayyidina Umar menanyakan hal itu kepada Nabi,
kemudian Nabi menjawab bahwa beliau melakukannya sengaja.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari (jil. 1 hal. 316) mengutip serta menguatkan pendapat Imam Thahawi yang menafsirkan hadits tersebut, bahwa melakukan wudhu di setiap kali shalat adalah perkara yang sunnah, dan Nabi s.a.w. meninggalkan kebiasaan itu pada hari fathu Makkah agar umat tidak menganggap bahwa berwudhu di setiap kali shalat sebuah kewajiban, serta memberitahukan kepada umat bahwa ini sesuatu yang boleh.
1. c) Meninggalkan al-Raml dalam Thawaf Khawatir Menyulitkan
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab al-Hajj di masing-masing Kitab Shahih mereka, meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi s.a.w. meninggalkan al-Raml (lari-lari kecil) untuk thawaf di putaran ke-4 sampai seterusnya karena khawatir memberatkan umat.
ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻤْﻨَﻌْﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻣُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﺷْﻮَﺍﻁَ ﻛُﻠَّﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺈِﺑْﻘَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
Ibnu Abbas r.a.: “tidak ada yang mencegah Nabi untuk memerintahkan mereka agar raml di semua putaran Thawaf kecuali karena kasih sayangnya kepada umat”. (Muttafaq ‘alayh)
1. d) Meninggalkan Sesuatu Khawatir ada Mafsadah Yang Muncul
Nabi s.a.w. pernah meninggalkan sesuatu karena khawatir kalau itu dikerjakan, akan menimbulkan mafsadah/keburukan, atau juga stigma negative dari sekitar.
Salah satu contohnya, Nabi s.a.w. membiarkan dan tidak membunuh kaum Munafiq yan sudah jelas kerusakan dan keburukannya kepada ummat. Karena khawatir kalau beliau s.a.w. membunuh, orang-orang Kafir akan membuat opini negative bahwa Nabi s.a.w membunuh sahabatnya sendiri. Dengan kesan negative itu, akhirnya membuat yang lain enggan untuk memeluk Islam.
1. e) Meninggalkan Shalat Jenazah Yang Berhutang
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh shaikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Nabi s.a.w. menolak untuk menshalati jenazah yang masih punya hutang dan belu dilunasi. Nabi s.a.w. menolak untuk itu sebagai hukuman bagi mereka yang masih punya tanggungan namun belum juga diselesaikan agar umat yang lain tidak mengulangi hal yang sama.
Akan tetapi, walaupun beliau menolak shalat untuk orang yang punya hutang, beliau s.a.w. tidak melarang umatnya untuk menshalati jenazah yang punya hutang itu. Dan para ulama pun sama sekali tidak ada yang mengharamkan shalat untuk jenazah yang punya putang dengan alasan Nabi s.a.w menolak untuk menshalatinya.
1. f) Meninggalkan Karena Tidak Biasa
Dalam kitab shahih al-Bukhari dan juga Shahih Imam Muslim, Sahabat Abu Hurairah r.a. pernah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditawari daging panggang, ketika ingin mengambilnya, salah seorang sahabat mengatakan bahwa itu daging dhabb (sejenis kadal), mendengar itu, Nabi s.a.w. tidak jadi mengambilnya.
Ketika ditanya apakah itu haram? Nabi s.a.w. tidak mengatakan demikian, ia hanya tidak biasa saja dengan makanan yang emmang tidak ada di kampungnya itu, namun tidak melarang para sahabat yang lain untuk memakannya.
Itulah beberapa jenis al-tarku (meninggalkan) yang dilakukan oleh Nabi s.a.w., dan sejatinya masih banyak lagi, bahkan banyak sekali perkara-perkara yang memang tidak dilakukan Nabi s.a.w. dalam hidupnya baik berupa ibadah maupun ‘Adah (non-ibadah). Artinya memang motif meninggalkan sebuah perkara itu bisa bermacam-macam, karena memang banyak tafsirnya dan
motifnya, itu tidak bisa serta merta dijadikan dalil untuk sebuah keharaman.
Kalau Semua Yang Ditinggalkan Menjadi Haram …
Dr. Sulaiman al-Asyqar meneruskan bahwa kalau saja semua yang tidak Nabi s.a.w. kerjakan dihukumi sebagai hukum haram dan tidak boleh dilaksanakan, tentu ini akan menutup pintu ijtihad para ulama. Tidak ada juga kemudian Maslahah al-Mursalah, tidak ada juga qiyas yang banyak dijadikan dalil oleh ulama untuk menghukum perkara-perkara yang memang tidak dilakukan oleh Nabi s.a.w.
Dan menjadi haram juga mengamalkan keumuman [ﻋﻤﻮﻡ] ayat atau untuk setiap perkaranya, karena alasan Nabi s.a.w. tidak melakukan itu. Padahal ulama sejagad ini sepakat bahwa ayat dan hadits yang sifatnya umum tetap wajib diamalkan kecuali pada perkara yang sudah di-takhshish (dikhususkan).
Beliau menambahkan, itu juga berarti kita tidak diwajibkan zakat pertanian kecuali apa yang memang sudah Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya saja, yaitu’ Kurma, Gandum, Jelai, dan Kismis.
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺳَﻦَّ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ﻓﻲِ ﺍﻟﺤِﻨْﻄَﺔِ ﻭَﺍﻟﺸَّﻌِﻴْﺮِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻤْﺮِ ﻭَﺍﻟﺰَّﺑِﻴْﺐِ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan zakat pada gandum, jelai, kurma dan kismis.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)
Karena memang hanya 4 jenis tanaman itu saja yang nyata bahwa Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya. Selain jenis yang 4 itu tidak ada zakatnya. Apakah demikian? Nyatanya ulama 4 madzhab tidak mengatakan demikian. Mereka memasukkan segala jenis tanaman lain yang wajib dizakati tidak terbatas 4 jenis itu. Apakah berani kita mengatakan bahwa para ulama 4 madzhab itu melakukan sebuah keharaman? Melakukan sebuah bid’ah dalam agama karena
menambah-nambah kewajiban zakat yang sejatinya Nabi s.a.w. tidak mewajibkan itu? Begitukah?
Jangan Asal Mengharamkan
Maka perlu ada pembahasan yang detil dan terperinci perihal al-tarku ini, apakah konsekuensinya dalam syariah. Yang ditetapkan oleh para ulama ushul, bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w. sebuah perkara itu bisa membuahkan hukum haram dengan dalil atau qarinah yang menguatkan keharamannya tersebut. Sedangkan hanya al-tarku saja, itu tidak bisa dijadikan dalil
keharaman.
Dalam hal ini ulama sepakat bahwa al-tarku itu sama seperti sukut (diam)-nya Nabi s.a.w., dan diamnya Nabi tidak membuahkan hasil hukum apa-apa kecuali dikuatkan dengan dalil atau qarinah lain yang memang benar-benar mendukung.
Untuk itu baiknya tidak asal menuduh orang lain berbuat haram hanya karena kita tidak tahu bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukannya. Periksa dulu betul-betul dan jangan gegabah melempar status negative kepada saudara muslim lainnya yang sama sekali tidak berguna apa-apa kecuali hanya menimbulkan permusuhan belaka.
Wallahu a’lam
Mungkin tulisan ini juga perlu dibaca biar adil:
BalasHapushttps://tulisansulaifi.wordpress.com/2016/10/28/sunnah-tarkiyah-dan-bidah-idhafiyah-menurut-ulama-syafiiyah/
barakallah fiikum