Selasa, 24 Juni 2014

"TENTANG PENGERTIAN IKHLAS"

TENTANG PENGERTIAN “IKHLAS”

“KEIKHLASAN” yang dituntut di sini (ibadah & ubudiyah) sehari” seorang mu’min adalah segala macam keikhlasan sesuai dengan tingkat masing-masing orang (ikhlasnya seorang syari’at,ikhlasnya seorang thoriqot,ikhlasnya orang ma’rifat ,ikhlasnya orang haqiqat).

1- Ikhlasnya orang biasa adalah terbebasnya amal perbuatannya dari segala bentuk riya’ seperti pamer, ingin dipuji, ingin dilihat atau didengar orang, ingin balasan dari manusia, ingin dianggap baik, ‘ujub (membanggakan diri) dan sebagainya sehingga amalnya murni dilakukan untuk mengharap balasan dari Alloh semata, baik mendapat surga atau pun terbebaskan dari neraka. Ini adalah tingkatan ikhlas kebanyakan orang.

2- Dalam tingkatan ikhlasnya seorang thoriqot ini seorang salik (penempuh jalan menuju Alloh) melihat adanya perannya sendiri dalam amal yang ia lakukan dan berharap dengan itu ia akan memperoleh balasan yang baik dari Alloh. Adapun ikhlasnya para muhibbin (orang-orang khusus yang cinta mati terhadap Alloh) lebih tinggi dari tingkatan orang biasa tersebut.

Para muhibbin melakukan amal kebaikannya bukan karena ingin balasan surga atau dijauhkan dari neraka, melainkan murni dipersembahkan pada Alloh karena Dia memang berhak untuk itu.

Bagi mereka, Alloh memang sepatutnya disembah tanpa harus memberi balasan apapun pada yang menyembah dan yang menyembah tidak layak menuntut apapun dari Alloh karena ibadahnya merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan. Betapa luhur dan sulitnya tingkatan ini, tapi meski demikian dalam tingkatan ini seorang salik juga masih melihat adanya
perannya sendiri dalam amal yang dilakukannya.

3-Dalam tingkat ini Sebagian ulama ahli hakikat, di antaranya Syaikh al-Qusyairi,menjelaskan tentang Ikhlasnya orang ma’rifat adalah maqom khos serta menyebut tingkatan di atas sebagai tingkatan iyyaka na’budu (hanya kepada-Mu kami menyembah) yang berarti kami tidak menyembah siapa pun kecuali pada-Mu dan kami tidak mempersekutukan-Mu dengan yang lain.

Yang ditekankan dalam tingkatan ini adalah penyatuan tujuan amal, yakni murni pada Alloh atau sering juga disebut dengan al-‘amal lillah (tindakan untuk Alloh).

Ada tingkatan yang lebih tinggi lagi dari keduanya, yaitu tingkatan para muqarrabinAL-Muwakhhidiin (haqiqat) yaitu orang” yang didekatkan oleh Alloh pada-Nya dengan melalui panggilan (HIDAYATU AL-IMAAN BI AL-TAUHID) .

Istilah ini dipakai dalam dunia sufi untuk menunjukkan bahwa kedekatan pada Alloh pada hakikatnya bukan hal yang dicapai tapi diberi sehingga istilahnya adalah “Yang didekatkan”, bukannya “Yang mendekatkan diri” atau pun “Yang sudah dekat”).

Dalam tingkatan tertinggi ini, seorang salik tidak lagi melihat adanya peran dirinya sendiri dalam amal perbuatan yang ia lakukan. Baginya semua apa yang terjadi di dunia ini murni dengan kehendak Alloh tanpa campur tangan siapa pun.

Amal perbuatannya dianggap bagian dari kehendak & kuasa Alloh itu dan karenaNya hanya Alloh yang berperan di dalamnya, bukan dirinya sendiri sehingga dalam hatinya sama sekali tidak terbesit adanya minta balasan atau merasa bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu untuk dipersembahkan pada Alloh (TABARRI ‘AN KHAULII MA’AL QUWWATI LILLAH) .

Ulama ahli TAUHID menyebut tingkatan muqarrabin ini sebagai tingkatan iyyaka nasta’in (hanya kepad-Mu kami minta tolong) dalam arti kami tidak minta tolong dengan apapun selain-Mu, tidak dengan diri kami, daya kami atau pun kekuatan kami sendiri.

Jika tingkatan sebelumnya adalah al-‘amal lillah (tindakah untuk Alloh), maka tingkatan ini adalah al-‘amal billah (tindakan sebab/dengan Alloh). Ini adalah tingkatan tauhid yang sempurna yang sesuai dengan makna la hawla wa la quwwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Alloh).

Seorang syeikh imam al-ghozali ra berpesan :

ﺻﺤﺢ ﻋﻤﻠﻚ ﺑﺎﻻﺧﻼﺹ ﻭﺻﺤﺢ ﺍﺧﻼﺻﻚ ﺑﺎﻟﺘﺒﺮﻱ ﻋﻦ ﺣﻮﻝ ﻣﻊ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻠﻪ
“Perbaiki tindakanmu dengan ikhlas dan perbaiki keikhlasanmu dengan membebaskannya dari daya dan kekuatanmu kecuali dengan daya & kekuatannya alloh semata”.

Masing-masing Tindakan / amaliyah melahirkan suatu bentuk hikmah tersendiri.
Misalnya, hati telah sadar akan keutamaan puasa sunah, maka secara otomatis akan menjadi pendorong untuk melakukan ibadah puasa sunah.

Bila di hati telah timbul kesadaran tentang keutamaan bersikap lemah lembut, maka akan menjadi pendorong untuk timbulnya sikap lemah lembut dan begitu seterusnya. Tiap perbuatan lahiriyah selalu mengikuti kecenderungan-kecenderungan bathiniyah. Apabila batinnya telah cenderung pada hal-hal tertentu, maka raga pun akan terdorong untuk melakukannya.

Sebaiknya seorang salik (penempuh jalan kesufian) mengikuti kecenderungan hatinya tersebut agar ibadahnya menjadi maksimal, bukan mengikuti kecenderungan hati orang lain. Semisal, seseorang dianugerahi kemantapan dan kesenangan untuk mengkhotamkan al-Qur’an melebihi kesenangannya melakukan ibadah lain, maka ikuti saja kemauan hati itu dengan banyak-banyak
mengkhatamkan al-Qur’an. Tak perlu dia buru-buru ingin mengikuti langkah Guru
A. yang ahli wirid semalaman atau Guru
B. yang ahli belajar dan mengajar sehari semalaman penuh atau Guru
C. yang ahli puasa setiap hari atau Guru
D. yang ahli sholat sunah ratusan rakaat tiap harinya dan sebagainya.pelajari pelan-pelan
syarat sahnya belajar dengan bimbingan sang ahli di bidangnya ????

Bila saja bila muridiin dan muhibbiin terburu-buru mengikuti langkah orang lain yang pada dasarnya dianugerahi motivasi hati yang berbeda oleh Alloh, maka kemungkinan ibadah yang dia lakukan tidak akan maksimal hikmahnya.Biarlah semuanya mengalir dengan sendirinya. Tekuni saja apa yang menjadi kecenderungan hatimu hingga nanti Alloh memberimu kecenderungan hati untuk melakukan hal-hal yang lain lagi sebagai tanda tingkatanmu telah bertambah.
Tatkala itu terjadi, tambahlah amalanmu dengan amalan lain yang sesuai dengan kecenderungan hati yang baru itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar