Selasa, 03 September 2013

Rabi’ah, yang memuja Tuhan karena cinta

RABI’AH AL-ADAWIYAH





Salah seorang Wali Allah pilihan pada zamannya, yang kedudukan ruhaninya mengungguli hampir semua Wali Allah. Meski beliau adalah perempuan, namun karena ketinggian kedudukan spiritualnya, para Sufi menjulukinya “Mahkota Kaum Pria” (Taj al-Rijal). Fariduddin Aththar memujinya sebagai “Zahid mulia yang tinggal di biar orang-orang Allah, wanita suci dalam selubung ketulusan, terbakar api cinta, tenggelam dalam kerinduan … utusan kesucian Maryam.” Bahkan Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa kedudukan Sayyidatuna Rabi’ah adalah sejajar dengan kedudukan Syekh Qutub al-Alam ABDUL QADIR AL-JAILANI.

Sayyidatuna Rabi’ah al-Adawiyah adalah termasuk kabilah Al-Atik, yang silsilah keturunannya berasal dari Nabi Nuh. Tidak diketahui dengan jelas kapan beliau lahir. Menurut salah satu riwayat, pada malam beliau dilahirkan, tidak ada sehelai kain, lampu atau setetes minyak untuk mengolesi pusarnya. Beliau adalah anak keempat dan karenanya dinamai Rabi’ah. Sang ayah telah lama berjanji untuk tidak meminta bantuan kepada siapapun. Karenanya, meski mereka butuh lampu dan minyak, sang ayah tidak mau meminta kepada tetangganya. Sang ayah merasa sedih, namun saat tertidur beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang berkata kepadanya, “Jangan bersedih. Engkau telah dianugerahi anak perempuan yang akan menjadi Wali Allah besar. Syafaatnya diharapkan oleh tujuh puluh ribu orang dari umatku.” Dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW berpesan agar ayah Rabi’ah berkirim surat kepada Isa Radan, pemimpin di Basrah. Pesannya adalah, “Besok kirimlah surat kepada Isa Radam. Setiap malam ia biasa bershalawat 100 kali dan setiap malam jum’at 400 kali. Namun pada malam Jum’at ini dia lupa bershalawat. Katakan kepadanya bahwa, sebagai tebusannya, dia harus memberimu 400 dinar.”

Setelah Isa Radan menerima surat itu, dia memerintahkan, “Uang sepuluh ribu dinar harus diberikan kepada orang-orang miskin sebagai rasa syukurku karena Nabi telah sudi menyebut namaku.” Dan ayah Rabi’ah pun diberi 400 dinar. Setelah orang tua Rabi’ah meninggal dunia, petaka kelaparan melanda Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar. Rabi’ah sendiri dijual sebagai budak. Selama menjadi budak, beliau senantiasa berpuasa dan shalat tahajud setiap malam tanpa melupakan tugas yang diberikan oleh tuannya. Suatu malam tuannya terbangun mendengar suara rintihan munajat Rabi’ah: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa satu-satunya yang kudambakan adalah mematuhi perintah-Mu … aku tidak akan berhenti menyembah-Mu walau sesaatpun. Namun Engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk. Karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.” Mendengar ucapan ini, sang tuan kemudian membebaskan Rabi’ah. Sejak saat itu Rabi’ah mengabdikan diri sepenuhnya dalam ibadah. Konon beliau shalat 1000 rakaat setiap harinya. Di setiap malam selepas Isya beliau biasa berdoa: “Ya Allah, semua telah sunyi, dan segala yang bergerak telah diam. Semua pecinta telah bersembunyi bersama kekasihnya. Kini aku menyendiri bersama-Mu. Wahai Kekasih, biarkan kesendirianku bersama-Mu malam ini akan menyelamatkanku dari api neraka kelak di akhirat. Ya Allah, bintang-gemintang telah nampak. Semua mata telah lelap. Di balik gerbang istana para pangeran telah tidur. Para pecinta telah bersama kekasihnya, bersuka ria. Namun dihadapan wajah-Mu aku berdiri sendirian.” Kemudian beliau akan meneruskan beribadah sampai tiba waktu subuh.

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai peniup seruling, namun kemudian bertaubat dan hidup dalam keadaan tunawisma di reruntuhan bangunan. Beliau membuat kamar untuk menyendiri dan beribadah. Akhirnya beliau pergi ke Mekah dan beruzlah ke gurun pasir. Tahun wafatnya Rabi’ah juga tidak diketahui dengan pasti. Sebagian menyebutkan beliau wafat pada tahun 135 H, sebagian menyebut tahun 180 H atau 185 H. Di saat-saat terakhir hidupnya, sekelompok Wali Allah berkumpul di sekitar peraduannya. Sayyidatuna Rabi’ah tiba-tiba berucap, “Berdirilah dan berilah jalan kepada para Nabi Allah.” Merekapun berdiri dan meninggalkan ruangan. Kemudian terdengar suara, “Wahai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai oleh-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku” (Q.S. 89: 27-30).

Ajaran dan Karamah
Sayyidatuna Rabi’ah umumnya dianggap sebagai Sufi awal yang memperkenalkan ajaran cinta Tuhan tanpa pamrih. Dalam sebuah riwayat yang terkenal, beliau mengatakan bahwa ibadahnya semata-mata demi cintanya kepada Allah, bukan lantaran takut neraka atau ingin sorga. Dalam salah satu cerita dikisahkan pada suatu hari beliau, mungkin dalam keadaan jadzab, tampak keluar rumah membawa seember air dan sebuah obor. Ketika ditanya untuk apa dua benda itu, beliau menjawab, “Aku akan melemparkan api ke dalam sorga dan mengguyurkan air ke dalam neraka agar jelas siapa yang memuja Tuhan karena cinta, bukan karena takut api neraka atau mengharapkan kenikmatan sorga.” Cinta Sayyidatuna Rabi’ah kepada Tuhan adalah cinta absolut, tak ada lagi ruang tersisa bagi selain-Nya. Karenanya konon beliau tak pernah menikah. Ketika ditanya mengapa beliau tidak menikah, beliau menjawab: “Aku khawatir akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiran itu, maka aku akan menikah. Pertama, di saat sekarat, akankah keimananku cukup untuk menyelamatkanku? Kedua, akankah buku amalku diberikan kepadaku di tangan kanan atau kiriku? Ketiga, saat sekelompok orang digiring ke sorga dan sekelompok lainnya digiring ke neraka, di kelompok manakah aku nanti akan berada?” Dalam riwayat lain dikemukakan satu tambahan, “Ketika aku ditanya oleh Malaikat Munkar dan Nakir, apakah nanti aku bisa menjawabnya?”
Sayyidatuna Rabi’ah juga dianggap sebagai pencetus konsep tentang Tuhan yang pencemburu: “Dia tidak akan memperkenankan apapun berbagi dengan-Nya.” Dalam cinta semacam ini seorang Sufi menyatu atau menjadi milik-Nya sepenuhnya. Dalam sebuah munajatnya, beliau berkata, “Ilahi, bagian apapun dari dunia ini yang Kau anugerahkan kepadaku, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan bagian apapun dari akhiratku berikanlah kepada para sahabat-Mu, sebab Engkau telah cukup bagiku.” Masih menurut beliau, “Orang yang mencintai Allah akan senantiasa menangis [karena rindu] sampai ia beristirahat dalam pelukan Sang Kekasih, yakni Allah SWT.”

Banyak kisah karamah yang dinisbahkan kepada beliau. Salah satu yang dahsyat adalah saat beliau mengarungi gurun pasir, mendadak Ka’bah datang langsung menyambutnya. Beliau juga dipatuhi oleh semua binatang liar dan buas. Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa beberapa sahabat mengunjunginya pada suatu malam. Namun Sayyidatuna Rabi’ah tidak punya lampu. Beliau kemudian meniup jari-jarinya dan seketika itu juga jemarinya menyala terang hingga pagi hari.Ketika orang menanyakan keajaiban ini, beliau menjawab, “Ini sama dengan putihnya telapak tangan Nabi Musa.” Ketika orang keberatan dengan jawaban itu karena Rabi’ah bukan Nabi, beliau menerangkan, “Para pengikut Nabi beroleh sedikit berkah berupa karamah. Anugerah Allah kepada Nabi berupa mukjizat, sedangkan para Awliya Allah diberkahi melalui keutamaan kepatuhan dan ketaatan kepada Nabi dengan kekuatan yang serupa, yang disebut karamah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar