Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
biografi Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy
Imam Asy'ari mempunyai nama lengkap Ali bin Ismail bin Abi Bisyr bin Ishaq,
masih keturunan kepada sahabat yg Agung Abu Musa Al asy'ari, beliau
dilahirkan di Bashrah tahun 260 H, menjelang wafatnya ayah beliau
mewasiatkan kepada Zakariya bin yahya Assaji untuk mendidiknya dg
ilmu-ilmu agama. Dan dari sana beliau berguru kepada Abi Kholifah
aljamhi, sahl bin nuh dan muhammad bin ya'qub serta abdurrahman bin
khalf. Beliau belajar fiqih kepada Abu ishaq al marwazi , beliau adalah
tokoh fuqoha' dizamannya. Dan disaat usia imam asy'ari genap 10 tahun,
beliau telah menguasai berbagai disiplin ilmu agama islam yg didapat
dari sumbernya yg jernih, hanya saja ayah tiri beliau(suami ibunya
setelah ayah beliau wafat)Abu ali aljuba'i adalah tokoh mu'tazilah,
itulah yg menjadikan beliau menganut mu'tazilah dan mahir dibidang ilmu
kalam,serta menguasai sampai keakar-akar pemahaman mu'tazila, sehingga
nantinya setelah beliau keluar dari mu'tazilah, beliau membongkar
kesalahan pemahaman mu'tazilah dg hujjah mu'tazilah sendiri, dan beliau
berguru kepada abu ali aljuba'i selama 30 tahun, tetapi akhirnya ada
beberapa hal yg mengganjal difikiran imam asy'ari seputar paham
mu'tazilah yg akhirnya sering terjadi diskusi antara beliau dan
gurunya(ali aljuba'i).
Yang menyebabkan beliau keluar dari
mu'tazilah adalah suatu hari beliau mengajukan pertanyaan kepada ali
aljuba'i mengenai 3 orang, dimana dalam mu'tazilah ada paham "Al ishlah
wal ashlah", beliau menayakan bagaimana dg 3 bersaudara yg pertama hidup
sampai tua dan bertaqwa mati beriman , yg kedua dia kafir dan mati
dalam keadaan kafir, yg ketiga mati masih kecil belum ada taklif?
aljuba'i menjawab yg pertama itu disurga, yg kedua dineraka, adapun yg
ketiga tidak disiksa dan tidak mendapat pahala, tetqapi dia
selamat(berada di almannzilah baynal manzilatayni). maka imam asyari
menyangga" bagaimana kalau yg kedua(dineraka) berkata " duhai tuhanku,
kenapa aku tdk kau matikan waktu kecil saja sehingga aku mati tdk dalam
kekafiran dan tidak diadzab karena belum ada taklif?, aljuba'i tdk bisa
menjawab pertanyaan ini, padahal menjadi usul dari ajaran mu'tazilah.
Lalu imam asy'ari pulang dan menelaah kembali kitab2 mu'tazilah sehingga
beliau benar-benar yakin bahwa ajaran mu'tazilah selama ini menyalahi
nahs lebih mengedepankan akal.
lalu pada hari jum'at beliau naik
mimbar dan berkhutbah(Wahai sekalian manusia, siapa yg telah tau aku
berarti telah mengenalku, dan siapa yg belum mengenalku maka aku akan
memperkenalkan diri, dulu aku mengatakan bahwa alqur'an itu makhluq, dan
Allah tidak dapat dilihat, dan bahwasanya perbuatan buruk adalah aku
pelakunya, sekarang aku taubat dari pemahaman itu dan aku keluar dari
mu'tazilah).
dan sebenarnya madzhab abul hasan al asy'ari ini juga
sealur dg pandangan imam syafi'i yg menolak keras paham yg mengatakan
bahwa alqur'an itu makhluq. Dan imam asy'ari menolak faham yg dianut
mu'tazilah bahwa baik buruk yg menentukan adalah akal, sebab menurut
asy'ariyah dan yg berdasarkan nash bahwa baik dasn buruk itu ditentukan
oleh syara', adapun akal sekedar mediator untuk memahami nash
Dan
diriwayat lain dikatakan dari imam subki mengatakan bahwa yg menyebabkan
beliau pindah dari mu'tazilah ke ahlussunnah adalah ketika bulan
Ramadhan beliau bermimpi 3 kali didatangi Rasulullah saw, pertama di
sepuluh awal Ramadhan, kedua disepuluh Ramadhan kedua, ketiga disepuluh
ramadhan terakhir, Rasulullah bersabda "Wahai Ali(abul hasan)..tolonglah
madzhab yg diriwayatkan dariku, sesungguhnya ia adalah haq".
dan
sebelum beliau lebih jauh membangun madzhab ahlussunnah, terlebih dahulu
beliau beruzlah(khalwah) dari manusia selama 15 hari, dan setelah itu
beliau mendapat ilham dan sudah mantab untuk meninggalkan mu'tazilah
menuju ahlussunnah, lalu beliau keluar kepada manusia dan mengumumkan
secara luas taubat beliau dari mu'tazilah pada tahun 300 H
Dan
beliau wafat di Baghdad pada tahun 324 H setelah menulis banyak karangan
kitab, imam zarkasy menyebutkan kitab karangan beliau sebanyak 300
kitab
قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن
الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في
جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر
Al-Ustâdz Abû Ishâq
al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan
al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku
dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh
Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir
lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-
لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى
Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan
al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-
Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu
karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang
Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah
salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah
melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf
al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak
kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai
pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai
mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.
Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap
al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî
sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang
mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang
berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai
al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah
sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop
out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh,
bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak.
Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan
al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu
‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan
al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah
adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik,
al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai
pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika
pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf
al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah.
Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan
tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang
menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa
al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang
beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham
-yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka
al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ
menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus
mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham
Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga
kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi
pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî?
Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan
al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?
Proyek
pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik
telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka
mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti
al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm,
Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm
Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah
bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut
al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî
sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan
beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku
sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan
Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara
al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara
al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen
mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah.
Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu?
Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang
menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa
al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl),
bersemayam, menetap.
Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai
karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘,
Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî
mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu
kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari
kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga
mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm,
lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga
bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah
al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah,
jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya,
yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata
mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang
sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu
sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini
adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya
karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan
akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah.
Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari
paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat
ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar
dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan
pemerintahan.
Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan
yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat
dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah
Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang
didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya
al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka.
Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari
Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil,
tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk
menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka
membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang
ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah
ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis
oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari
kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?
Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb
1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;
Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq
seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang
ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang
ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki
pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu
ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari
Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen)
kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan
paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang.
Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî
ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb
kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya
dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali
kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada
bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima,
Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak
membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah
‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn
Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H,
hal.298-299.
2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî
berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada
masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog
yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat
mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya,
al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr
A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.
Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû
Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah
al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan
Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda
ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti
melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan
menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak
menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1,
1424H, vol.9, hal.372.
3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Ibn
Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan
dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti
Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun
perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î,
Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm
(teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn
Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts,
1424H, vol.1, hal.293.
Ibn Hajar juga menuturkan sembari
menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal
meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai
al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah,
al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr
al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.
Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)
Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr
Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah
Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr
al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
Semenjak
ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga
ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada
metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan
para ahli hadis dan fikih.
Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa
ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar.
Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan
ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa
paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan
itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf
al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh
ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun
al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
Al-Asy‘arî, Ibn
Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai
pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah.
Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî
yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya
mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan
Mu‘tazilah.
Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn
Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi
empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân,
al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah,
rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah
keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid
(w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî
(w.458H), dll.
Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah
kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât
al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.
Daftar Pustaka
Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid,
Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan
al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=368246506640218&set=a.189179864546884.43262.100003646166340&type=1&relevant_count=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar