RABI’AH AL-ADAWIYAH
Salah seorang Wali Allah pilihan pada zamannya, yang kedudukan
ruhaninya mengungguli hampir semua Wali Allah. Meski beliau adalah
perempuan, namun karena ketinggian kedudukan spiritualnya, para Sufi
menjulukinya “Mahkota Kaum Pria” (
Taj al-Rijal). Fariduddin
Aththar memujinya sebagai “Zahid mulia yang tinggal di biar orang-orang
Allah, wanita suci dalam selubung ketulusan, terbakar api cinta,
tenggelam dalam kerinduan … utusan kesucian Maryam.” Bahkan Muhyiddin
Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa kedudukan Sayyidatuna Rabi’ah adalah sejajar
dengan kedudukan Syekh Qutub al-Alam ABDUL QADIR AL-JAILANI.
Sayyidatuna Rabi’ah al-Adawiyah adalah termasuk kabilah Al-Atik, yang
silsilah keturunannya berasal dari Nabi Nuh. Tidak diketahui dengan
jelas kapan beliau lahir. Menurut salah satu riwayat, pada malam beliau
dilahirkan, tidak ada sehelai kain, lampu atau setetes minyak untuk
mengolesi pusarnya. Beliau adalah anak keempat dan karenanya dinamai
Rabi’ah. Sang ayah telah lama berjanji untuk tidak meminta bantuan
kepada siapapun. Karenanya, meski mereka butuh lampu dan minyak, sang
ayah tidak mau meminta kepada tetangganya. Sang ayah merasa sedih, namun
saat tertidur beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW yang
berkata kepadanya, “Jangan bersedih. Engkau telah dianugerahi anak
perempuan yang akan menjadi Wali Allah besar. Syafaatnya diharapkan oleh
tujuh puluh ribu orang dari umatku.” Dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW
berpesan agar ayah Rabi’ah berkirim surat kepada Isa Radan, pemimpin di
Basrah. Pesannya adalah, “Besok kirimlah surat kepada Isa Radam. Setiap
malam ia biasa bershalawat 100 kali dan setiap malam jum’at 400 kali.
Namun pada malam Jum’at ini dia lupa bershalawat. Katakan kepadanya
bahwa, sebagai tebusannya, dia harus memberimu 400 dinar.”
Setelah Isa Radan menerima surat itu, dia memerintahkan, “Uang
sepuluh ribu dinar harus diberikan kepada orang-orang miskin sebagai
rasa syukurku karena Nabi telah sudi menyebut namaku.” Dan ayah Rabi’ah
pun diberi 400 dinar. Setelah orang tua Rabi’ah meninggal dunia, petaka
kelaparan melanda Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar. Rabi’ah
sendiri dijual sebagai budak. Selama menjadi budak, beliau senantiasa
berpuasa dan shalat tahajud setiap malam tanpa melupakan tugas yang
diberikan oleh tuannya. Suatu malam tuannya terbangun mendengar suara
rintihan munajat Rabi’ah: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa satu-satunya yang
kudambakan adalah mematuhi perintah-Mu … aku tidak akan berhenti
menyembah-Mu walau sesaatpun. Namun Engkau telah membuatku tunduk kepada
seorang makhluk. Karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah
kepada-Mu.” Mendengar ucapan ini, sang tuan kemudian membebaskan
Rabi’ah. Sejak saat itu Rabi’ah mengabdikan diri sepenuhnya dalam
ibadah. Konon beliau shalat 1000 rakaat setiap harinya. Di setiap malam
selepas Isya beliau biasa berdoa: “Ya Allah, semua telah sunyi, dan
segala yang bergerak telah diam. Semua pecinta telah bersembunyi bersama
kekasihnya. Kini aku menyendiri bersama-Mu. Wahai Kekasih, biarkan
kesendirianku bersama-Mu malam ini akan menyelamatkanku dari api neraka
kelak di akhirat. Ya Allah, bintang-gemintang telah nampak. Semua mata
telah lelap. Di balik gerbang istana para pangeran telah tidur. Para
pecinta telah bersama kekasihnya, bersuka ria. Namun dihadapan wajah-Mu
aku berdiri sendirian.” Kemudian beliau akan meneruskan beribadah sampai
tiba waktu subuh.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai
peniup seruling, namun kemudian bertaubat dan hidup dalam keadaan
tunawisma di reruntuhan bangunan. Beliau membuat kamar untuk menyendiri
dan beribadah. Akhirnya beliau pergi ke Mekah dan beruzlah ke gurun
pasir. Tahun wafatnya Rabi’ah juga tidak diketahui dengan pasti.
Sebagian menyebutkan beliau wafat pada tahun 135 H, sebagian menyebut
tahun 180 H atau 185 H. Di saat-saat terakhir hidupnya, sekelompok Wali
Allah berkumpul di sekitar peraduannya. Sayyidatuna Rabi’ah tiba-tiba
berucap, “Berdirilah dan berilah jalan kepada para Nabi Allah.”
Merekapun berdiri dan meninggalkan ruangan. Kemudian terdengar suara,
“Wahai Jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan
diridhai oleh-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam sorga-Ku” (Q.S. 89: 27-30).
Ajaran dan Karamah
Sayyidatuna Rabi’ah umumnya dianggap sebagai Sufi awal yang
memperkenalkan ajaran cinta Tuhan tanpa pamrih. Dalam sebuah riwayat
yang terkenal, beliau mengatakan bahwa ibadahnya semata-mata demi
cintanya kepada Allah, bukan lantaran takut neraka atau ingin sorga.
Dalam salah satu cerita dikisahkan pada suatu hari beliau, mungkin dalam
keadaan
jadzab, tampak keluar rumah membawa seember air dan
sebuah obor. Ketika ditanya untuk apa dua benda itu, beliau menjawab,
“Aku akan melemparkan api ke dalam sorga dan mengguyurkan air ke dalam
neraka agar jelas siapa yang memuja Tuhan karena cinta, bukan karena
takut api neraka atau mengharapkan kenikmatan sorga.” Cinta Sayyidatuna
Rabi’ah kepada Tuhan adalah cinta absolut, tak ada lagi ruang tersisa
bagi selain-Nya. Karenanya konon beliau tak pernah menikah. Ketika
ditanya mengapa beliau tidak menikah, beliau menjawab: “Aku khawatir
akan tiga hal. Jika kalian sanggup membebaskanku dari kekhawatiran itu,
maka aku akan menikah. Pertama, di saat sekarat, akankah keimananku
cukup untuk menyelamatkanku? Kedua, akankah buku amalku diberikan
kepadaku di tangan kanan atau kiriku? Ketiga, saat sekelompok orang
digiring ke sorga dan sekelompok lainnya digiring ke neraka, di kelompok
manakah aku nanti akan berada?” Dalam riwayat lain dikemukakan satu
tambahan, “Ketika aku ditanya oleh Malaikat Munkar dan Nakir, apakah
nanti aku bisa menjawabnya?”
Sayyidatuna Rabi’ah juga dianggap sebagai pencetus konsep tentang
Tuhan yang pencemburu: “Dia tidak akan memperkenankan apapun berbagi
dengan-Nya.” Dalam cinta semacam ini seorang Sufi menyatu atau menjadi
milik-Nya sepenuhnya. Dalam sebuah munajatnya, beliau berkata, “Ilahi,
bagian apapun dari dunia ini yang Kau anugerahkan kepadaku, berikanlah
kepada musuh-musuh-Mu, dan bagian apapun dari akhiratku berikanlah
kepada para sahabat-Mu, sebab Engkau telah cukup bagiku.” Masih menurut
beliau, “Orang yang mencintai Allah akan senantiasa menangis [karena
rindu] sampai ia beristirahat dalam pelukan Sang Kekasih, yakni Allah
SWT.”
Banyak kisah karamah yang dinisbahkan kepada beliau. Salah satu yang
dahsyat adalah saat beliau mengarungi gurun pasir, mendadak Ka’bah
datang langsung menyambutnya. Beliau juga dipatuhi oleh semua binatang
liar dan buas. Dalam kisah lain diriwayatkan bahwa beberapa sahabat
mengunjunginya pada suatu malam. Namun Sayyidatuna Rabi’ah tidak punya
lampu. Beliau kemudian meniup jari-jarinya dan seketika itu juga
jemarinya menyala terang hingga pagi hari.Ketika orang menanyakan
keajaiban ini, beliau menjawab, “Ini sama dengan putihnya telapak tangan
Nabi Musa.” Ketika orang keberatan dengan jawaban itu karena Rabi’ah
bukan Nabi, beliau menerangkan, “Para pengikut Nabi beroleh sedikit
berkah berupa karamah. Anugerah Allah kepada Nabi berupa mukjizat,
sedangkan para Awliya Allah diberkahi melalui keutamaan kepatuhan dan
ketaatan kepada Nabi dengan kekuatan yang serupa, yang disebut karamah.”