Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Februari 2015

HAID DAN PROBLEMATIKA PEREMPUAN

Haid atau biasa disebut menstruasi merupakan sesuatu yang rutin dialami oleh orang perempuan (muslimah) , dan menjadi tanda-tanda baligh (dewasa).

Seorang muslimah apabila sudah baligh maka ia wajib melakukan kewjiban-kewajiban agama, seperti sholat, puasa dan lain sebagainya.

Seringkali kita temukan kaum muslimah yang kebingungan dalam membedakan antara darah haid dan darah istihadloh (darah penyakit). Di sini, kami ingin berbagi pengetahuan dan belajar lebih dalam mengenai haid dan problematika perempuan.

Seorang muslimah yang menginjak usia haid atau sudah mengalami haid wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan haid ( wajib 'ain ). Sehingga baginya diwajibkan pergi dari rumah untuk mengkaji ilmu tersebut, dan bagi seorang suami diharamkan melarang istrinya apabila ia tidak dapat memberi pelajaran sendiri. Sedangkan bagi suami yang dapat mengajarkannya sendiri, maka ia wajib mengajarkannya. Untuk kaum laki-laki hukumnya fardlu kifayah karena hal ini tidak bersentuhan langsung dengannya. Bagi orang tua wajib mengajarkan
hukum-hukum yang berkaitan dengan haid kepada putra-putrinya. Dan bagi mereka yang sudah mengerti jangan segan -segan menyampaikan pengertiannya kepada mereka yang belum mengerti dengan berbagai cara..

A. Pengertian Haid

Haid secara bahasa artinya mengalir. Darah haid atau menstruasi ialah darah yang keluar dari rahim perempuan pada hari-hari tertentu pada saat badan dalam keadaan sehat dan sudah menjadi kebiasaan, bukan karena sakit atau melahirkan. Haid merupakan proses alamiyah yang dialami oleh setiap perempuan dan tidak dapat direkayasa keberadaannya, sudah menjadi
ketetapan Allah khusus untuk kaum perempuan.

Firman Allah yang menjelaskan tentang haid terdapat dalam QS. Al- Baqarah:222, yang artinya: “ Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”

Sabda Rosulullah SAW dalam hadits riwayat Bukhori dijelaskan “ Haid itu adalah sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada cucu wanita Adam”.

B. Usia Haid

Anak perempuan dapat mengeluarkan darah haid apabila ia telah genap berusia 9 tahun dengan hitungan tahun hijriyah, atau 8 tahun lebih 8 bulan lebih 24 hari bila menggunakan hitungan tahun masehi, atau kurang beberapa hari asalkan kurangnya tidak sampai 16 hari.

Masa minimal perempuan mengalami haid disebut dengan masa menarche, biasanya terjadi pada usia 9 – 14 tahun. Sedangkan batas maksimal perempuan tidak mengalami haid, atau masa monopouse tidak ada batasnya.

C. Darah Haid

Perempuan harus memahami ciri- ciri darah haid yang meliputi warna, sifat, dan waktu lamanya mengeluarkan darah. Dari segi warna, darah haid ada 5 macam yaitu merah kehitam-hitaman (coklat tua), merah, merah kekuning-kuningan, kuning, kuning keputih-putihan (krem keruh).

Adapun dari segi sifat, ada yang berbau anyir menyengat, berbau anyir tidak menyengat, kental, dan cair.

Darah yang keluar dari rahim perempuan itu ada 3 macam yaitu darah haid , darah nifas dan darah istihadloh.

Umumnya anak perempuan yang sudah dewasa, setiap bulan mengeluarkan darah haid, lamanya bervariasi, ada yang 7 hari, ada yang kurang dan ada yang lebih dari itu. Oleh karena itu perlu diketahui batas waktu minimal perempuan mengeluarkan darah haid dan batas maksimalnya.

1. Batas minimal masa haid

Orang perempuan mengeluarkan darah haid paling sedikit dalam waktu sehari semalam (24 jam)
Jika ada perempuan mengeluarkan darah sebelum mencapai 24 jam sudah berhenti, maka darah itu bukanlah darah haid, melainkan darah rusak ( istihadloh ). Tetapi bila dalam tempo 15 hari (sebelum lewat 15 hari dari mulainya mengeluarkan darah) perempuan itu mengeluarkan darah lagi dan jumlah waktunya mengeluarkan darah itu dan waktunya mengeluarkan darah sebelumnya sudah mencapai 24 jam atau lebih maka darah itu adalah darah haid yang keluarnya tersendat-sendat.

Jika ada perempuan mengeluarkan darah haid terputus-putus yang diberi hukum haid adalah kesemua waktu keluar darah dan waktu putus yang ada di sela-selanya (bukan hanya keluarnya darah saja). Misal, Keluar darah 3 hari, putus 4 hari, keluar lagi 1 hari, putus 4 hari, keluar lagi 1 hari, maka keseluruhan 13 hari dihikumi haid.

Jika ada perempuan mempunyai kasus seperti di atas, maka aturan ibadahnya sebagai berikut :
* Saat pertama kali melihat keluarnya darah pada usia haid, baik bagi yang baru pertama kali, maupun yang pernah mengalaminya, wajib menghindari hal-hal yang diharamkan, juga harus menjaga agar sesuatu yang dipakai dalam ibadah tidak terkena najisny darah haid.

* Jika lamanya mengeluarkan darah belum mencapai 24 jam, maka ia tidak diwajibkan mandi.

* Jika lamanya mengeluarkan darah sudah mencapai 24 jam, maka sewaktu-waktu darahnya putus, dia harus mandi, sholat dan sebagainya seperti orang suci.

* Jika darahnya masih keluar lagi, maka mandi, sholat, puasa yang dikerjakan pada putus darah tersebut tidak sah. Oleh karena itu, besok dia wajib mengqodlo' puasa yang dikerjakan pada hari putus darah tersebut, dan dia tidak berdosa sebab berhubungan suami istri, karena hanya melihat
dlohirnya saja.

* Kemudian sewaktu-waktu darahnya putus lagi, dia wajib mengerjakan hal-hal seperti di atas lagi.

* Lalu jika darahnya masih keluar lagi, maka keseluruhan hal-hal yang dikerjakan di atas tidak sah lagi, begitu seterusnya selama belum melewati 15 hari 15 malam dihitung dari pertama kali mengeluarkan darah.

2. Batas maksimal masa haid

orang perempuan mengeluarkan darah haid paling lama dalam masa 15 hari 15 malam (360 jam) baik keluarnya terus menerus atau terputus-putus. Apabila perempuan mengeluarkan darah terus menerus dan melebihi 15 hari 15 malam, maka darah itu adalah darah haid yang bercampur
dengan darah istihadloh.

3. Masa suci

masa suci merupakan masa yag memisahkan antara berakhirnya haid dan permulaan haid yang berikutnya. Masa suci perempuan bervariasi, ada yang 23 hari ada yang kurang dari itu dan ada juga yang lebih dari itu.

Namun demikian masa suci mempunyai batas minimal dan batas maksimal. Untuk batas minimal masa suci adalah 15 hari 15 malam dan maksimalnya tidak terbatas, karena ada perempuan yang seumur hidupnya tidak mengalami haid.

Jika ada perempuan mengeluarkan darah lagi sebelum masa sucinya mencapai 15 hari, maka hukumnya sebagai berikut:
1. Apabila darah yang kedua tersebut kaluar masih dalam tempo 15 hari (pada hari yang ke 15 atau sebelumnya) dari permulaan darah yang pertama, maka darah yang kedua tersebut menjadi satu dan bersambung dengan darah yang pertama, demi untuk menyempurnakan
(menggenapkan) maksimalnya masa haid, maka hukumnya yaitu ;

a. Bila berhenti pada hari yang ke 15 atau sebelumnya, maka seluruh darah yang keluar dihukumi haid, begitu pula wakyu yang memisahkan antara dua darah tersebut.

b. Bila berhenti sesudah hari yang ke 15 maka darah tersebut adalah darah haid yang bercampur dengan darah istihadloh.

Contoh :
                         Hari : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
                  Aminah : ------------          ----------------
               Hamidah : ------------       ------------
               Thoyibah : ------------       -----------------------

Keterangan :
1. Seluruh darah yag keluar dari Aminah adalah darah haid, begitu pula waktu yang memisah antara darah yang pertama dan darah yag kedua, ia mengalami masa haid selama 15 hari.

2. Darah yag dikeluarkan oleh Hamidah sama dengan darah yang dikeluarkan oleh Aminah, ia mengalami masa haid selama 13 hari.

3. Darah yang keluar dari thoyibah adalah darah haid yang bercampur
dengan darah istihadloh, darahnya yang kedua berhenti pada hari ke 17.

2. Apabila darah yang kedua tersebut keliar sesudah 15 hari dari permulaan darah yang pertama, maka darah tersebut adalah darah yang lain dan tidak bersambung dengan darah yang pertama. Maka darah yang pertama dihukumi haid, dan untuk menentukan hukumnya darah yang kedua harus dihitung dari permulaan hari suci, dan tidak dihitung dari permulaan darah yang pertama, maka hukumnya yaitu :
a. Bila berhenti pada hari yang ke 15 atau sebelumnya maka seluruhnya dihikumi darah istihadloh.
b. Bila berhenti sesudah hari yang ke 15, maka darah yang keluar pada hari yang ke 15 dan sebelumnya dihukumi darah istihadloh, dan darah yang keluar sesudah hari yang 15 dihukumi darah haid apabila mencapai 24 jam dan tidak melebihi 15 hari.
Contoh :
Hari haid : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Hari suci : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
  1. Nurul : -----------                      
                                                                  ------------
     2. Aini : -----------           
                                                     ----------
   3. Binti : -----------
                                                                       ------------------
Keterangan :
1. Darah yang keluar dari Nurul seluruhnya darah istihadloh, karena darah itu keluar pada hari yang ke 12 dari hari mulainya suci dan berhenti pada hari yang ke 15.
2. Darah yang keluar dari Aini sama dengan darahnya Nurul, seluruhnya dihukumi darah istihadloh , karena darah itu berhenti pada hari yang ke 13.
3. Darah yang kedua yang keluar dari Binti pada hari yang ke 13, 14 dan 15 dihukumi darah istihdloh, dan yang keluar pada hari ke 16 dan 17 dihukumi darah haid.

Wollahu 'alam bisshawab

Kamis, 02 Oktober 2014

Najis dan Cara Mensucikan

Najis dan Cara Mensucikan

Najis adalah sesuatu yang harus dijauhi saat seorang muslim melakukan ritual
ibadah tertentu seperti shalat baik shalat wajib 5 waktu atau shalat sunnah ,
thawaf saat haji dan umrah, dan lain-lain. Tuntunan berikut berkaitan dengan
perkara najis menurut madzhab Syafi'i. Banyak penjelasan di internet seputar najis
yang menggunakan uraian madzhab lain seperti Hanbali atau Hanafi. Panduan ini
khusus mengambil perspektif madzhab Syafi'i agar tidak membingungkan
masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi'i sejak lahir.

DAFTAR ISI
1. Definisi Najis
2. Perkara/Benda Najis
3. Tingkatan Najis
1. Najis Mukhoffafah (Ringan)
2. Najis Mutawassithah (Sedang)
3. Najis Mughalladzoh (Berat)
4. Jenis Najis
1. Najis Hukmiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
2. Najis Ainiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ )
5. Cara Menghilangkan Najis
1. Cara Menghilangkan Najis Ringan (Mukhoffafah)
2. Cara Menghilangkan Najis Sedang (Mutawassitoh)
3. Cara Menghilangkan Najis Anjing (Mugholadzoh)
4. Cara Menghilangkan Najis Hukmiyah (Tidak Kelihatan)
6. Najis Anjing Menurut 4 (Empat) Madzhab
7. Hukum Memelihara Anjing
8. Najis Babi Menurut 4 (Empat) Madzhab
9. Cara Menghilangkan Najis Menurut Empat Madzhab
10. CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM

DEFINISI NAJIS
Najis (Arab, ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ) berasal dari bahasa Arab dari akar kata masdar (verbal noun)
najasah yang secara etimologis bermakna kotor (qadzarah - ﺍﻟﻘﺬﺍﺭﺓ). Sedangkan
dalam terminologi fiqh (syariah), najis adalah sesuatu yang kotor yang
diperhntahkan oleh syariah untuk suci darinya dan menghilangkannya dari baju dan
badan dan dari segala sesuatu yang disyaratkan sucinya saat memakai. Seperti
sucinya baju dan badan pada saat melaksanakan shalat dan tawaf umarah dan
haji.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj ( ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ
ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ) menyatakan bahwa najis dalam definisi syariah adalah perkara kotor yang mencegah sahnya shalat.

PERKARA NAJIS
Perkaran atau sesuatu yang dianggap najis menurut syariah Islam sebagai berikut:
1. Kencing baik kencing bayi atau kencing orang dewasa.
2. Tinja (kotoran manusia) atau kotoran hewan
3. Khamr (mimunam beralkohol).

2. Bangkai hewan yang mati tanpa disembelih secara syariah dan seluruh anggota
badannya seperti daging, tulang, tanduk, kuku, dll kecuali,

(a) belalang, hewan laut dan hewan sangat kecil yang darahnya tidak mengalir
seperti lalat dan sejenisnya. Khusus untuk lalat dan sejenisnya apabila masuk ke
air yang sedikit (kurang 2 qullah) dalam keadaan hidup kemudian mati dalam air,
maka airnya tetap suci.

(b) bangkai manusia, hukumnya suci baik muslim atau nonmuslim (kafir).

3. Darah.
4. Nanah.
5. Muntah.
6. Anjing dan Babi
7. Madzi yaitu cairan putih encer yang keluar bukan karena syahwat. .
8. Wadi yaitu cairan pekat kental yang keluar setelah kencing atau setelah
membawa beban berat.
9. Mani (sperma) anjing dan babi.
10. Susu hewan yang tidak halal dagingnya kecuali susu manusia.

Catatan:
1. Tulang bangkai suci menurut madzhab Hanafi. Rambut dan bulu bangkai suci
menurut madzhab Maliki.
2. Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan hukumnya suci menurut
madzhab Hanbali.
3. Harus dibedakan antara najis dan mutanajjis. Najis adalah perkara najis.
Sedang mutanajjis adalah benda yang terkena atau tersentuh perkara najis. Najis
tidak bisa suci. Sedang mutanajjis dapat suci kalau dihilangkan najisnya.

TINGKATAN NAJIS
Menurut madzhab Syafi'i, tingkatan najis terbagi menjadi 3 (tiga) macam. Yaitu,
najis ringan (mukhaffafah), najis sedang/pertangahan (mutasswithah) dan najis
berat (mughalladzah).

NAJIS MUKHOFFAFAH (RINGAN)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara menghilangkannya cukup dengan
menyiramkan air pada najis tersebut. Najis mukhaffafah terdapat pada kencingnya
anak kecil laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan tidak makan apa-apa kecuali
ASI (air susu ibu).

NAJIS MUTAWASSITAH (SEDANG)
Najis mughalladzah adalah najis yang umum seperti darah, bangkai, koroan
manusia atau hewan, muntah, kencing, dll yang cara mensucikannya adalah
dengan

NAJIS MUGHOLLADZAH (BERAT)
Najis mughalladzah adalah najis kaliber berat yaitu najis anjing dan babi. Yang
cara mensucikannya adalah dengan menyiramkan air sebanyak 7 (tujuh) kali salah
satunya dicampur dengan debu atau tanah.

JENIS NAJIS

Ada dua jenis najis yaitu najis hukmiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ ) dan najis ainiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ).

NAJIS HUKMIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
Najis hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan warnanya, baunya dan rasanya.

NAJIS AINIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ )
Najis ainiyah adalah sebaliknya najis hukmiyah yaitu najis yang kelihatan
warnanya, baunya dan rasanya.

CARA MENGHILANGKAN NAJIS
Adapun cara menghilangkan najis adalah tergantung dari tingkatan (ringan,
sedang, berat) dan jenis najisnya (ainiyah atau hukmiyah).

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS RINGAN (MUKHAFFAFAH)
Najis mukhaffafah adalah terdapat pada kencing anak laki-laki usia di bawah 2
tahun dan belum memakan makanan apapun kecuali ASI (Air Susu Ibu). Adapun
kencing bayi perempuan status najisnya sama dengan kencing orang dewasa .
Cara menghilangkan atau mensucikan najis tersebut adalah dengan menyiramkan
air suci pada kencing anak tersebut sampai merata walaupun air itu tidak
mengalir. Siraman cukup dilakukan satu kali.

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS SEDANG (MUTAWASSITAH)
Najis mutawassitah (sedang) adalah seluruh najis selain najis anjing babi dan najis
bayi laki-laki.

Cara menyucikan najis mutawassitah ainiyah adalah dengan menghilangkan
perkara yang najis yakni rasa, warna dan baunya dengan air yang suci dan
mensucikan. Apabila sulit menghilangkan warna atau baunya, maka tidak apa-apa ( ﻣﻌﻔﻮ ﻋﻨﻪ ).
Apabila air untuk menyucikan kurang dari 2 (dua) qullah maka harus dengan
mengalirkan/menyiramkan air tersebut ke benda yang najis. Apabila air sampai 2
qullah atau lebih, maka tidak disyaratkan mengalirkan air ke benda najis tersebut
bahkan boleh memasukkan benda najis tersebut ke air yang sampai 2 qullah atau
lebih. Kecuali apabila berubah salah satu dari 3 sifatnya (warna, bau dan rasa)
maka air tersebut tetap suci.

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS BERAT (MUGHALLADZAH)
Najis mughalladzah (mugholadhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara
menghilangkannya adalah dengan membasuh najis sebanyak 7 (tujuh) kali dan
salah satu dari tujuh itu dicampur dengan debu atau tanah yang suci.

SABUN SEBGAI GANTI DEBU DALAM MENGHILANGKAN NAJIS ANJING
Ada 3 pendapat tentang boleh tidaknya menggunakan benda selain debu/tanah
untuk menghilangkan najis mugholadhoh sbb:
Pendapat ke-1: Selain debu tidak bisa dipakai sebagai pengganti debu secara
mutlak baik ada debu atau karena tidak adanya. Ini pendapat madzhab Syafi'i,
Hanbali dan Ibnu Hazm

Pendapat ke-2: Selain debu itu dapat berfungsi sebagai ganti dari debu. Baik ada
debu atau karena tidak ada. Ini salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i, dan
Imam Muzani. Dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Pendapat ke-3: Selain debu dapat berfungsi seperti debu apabila tidak ada debu
saja atau apabila ada debu tapi dapat merusak benda yang terkena najis. Ini salah
satu pendapat dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali (Uraian lebih detail soal
perbedaan pendapat ini dapat dilihat di kitab Al-Wasith 1/407).

Catatan:
- Ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang menghukumi cukupnya mensucikan
najis mughalladzah sekali saja.

STATUS AIR BEKAS MEMBASUH NAJIS ANJING BABI PADA BASUHAN PERTAMA
SAMPAI KEENAM
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310 membagi pendapat ulama madzhab
Syafi'i dalam tiga kategori yaitu najis, suci, najis untuk bekas basuhan pertama s/
d keenam, sedang bekas basuhan ketujuh suci.
Bagi yang berpendapat najis, apakah najisnya mugholadzah atau mutawassithoh
dan berapa kali harus dibasuh supaya suci ada dua pendapat. Berikut keterangan
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310:
ﻓﺼﻞ : ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﺒﻘﻲ ﻣﻦ ﻏﺴﻼﺕ ﺇﻧﺎﺀ ﻭﻟﻮﻍ ﺍﻟﻜﻠﺐ
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﺴﻼﺕ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﺇﺫﺍ ﺃﻓﺮﺩﺕ ﻛﻞ ﻏﺴﻠﺔ ﻣﻨﻬﻦ ﻭﻣﻴﺰﺕ ﻓﻘﺪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ
ﻣﺬﺍﻫﺐ :
ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻷﻧﻤﺎﻃﻲ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻌﻪ ﻧﺠﺲ ﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺃﺯﺍﻝ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻧﺠﺲ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻟﺪﺍﺭﻛﻲ ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻌﻪ ﻃﺎﻫﺮ : ﻷﻧﻪ ﻣﺎﺀ ﻣﺴﺘﻌﻤﻞ ، ﻭﻟﻜﻞ ﻏﺴﻞ ﺣﻆ ﻣﻦ
ﺗﻄﻬﻴﺮ ﺍﻹﻧﺎﺀ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﻤﺮﻭﺯﻱ ﻭﺟﻤﻬﻮﺭ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻥ ﻣﺎﺀ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻃﺎﻫﺮ : ﻷﻥ ﺑﻬﺎ ﻃﻬﺮ ﺍﻹﻧﺎﺀ ،
ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ، ﻣﻦ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﻧﺠﺲ ﻻﻧﻔﺼﺎﻟﻪ ‏[ ﺹ : 310 ‏] ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻗﻴﻞ
ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﺫﻟﻚ ﻭﺟﺐ ﻏﺴﻞ ﻣﺎ ﺃﺻﺎﺑﻪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﺪﻥ ﺃﻭ ﺛﻮﺏ ﻭﻓﻲ ﻗﺪﺭ ﻏﺴﻠﻪ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻳﻐﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ : ﻷﻧﻪ ﻣﺎﺀ ﻧﺠﺲ ، ﻭﻷﻧﻪ ﺃﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﻧﺠﺎﺱ ﻟﺘﺄﺛﻴﺮﻩ ﻓﻲ ﺗﻄﻬﻴﺮ ﻏﻴﺮﻩ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻥ ﻳﻐﺴﻞ ﺑﻌﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺻﺎﺑﺘﻪ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻭﺟﺐ ﺃﻥ
ﻳﻐﺴﻠﻪ ﺳﺘﺎ : ﻷﻥ ﺳﺒﻊ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﻗﺪ ﻳﺴﻘﻂ ﺑﺎﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻭﻫﻲ ﺳﺘﺔ ﺃﺳﺒﺎﻋﻪ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ، ﻭﺟﺐ ﺃﻥ
ﻳﻐﺴﻠﻪ ﺧﻤﺴﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﺛﻼﺛﺎ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺎﻣﺴﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺗﻴﻦ
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ، ﻭﻷﻥ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ﺳﺒﻊ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ
ﺳﺎﻗﻄﺎ ، ﻭﺣﻜﻢ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺑﺎﻗﻴﺎ ، ﻫﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻧﺠﺲ ، ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﻧﺎﺀ ﻃﺎﻫﺮ ، ﻓﻔﻲ ﻭﺟﻮﺏ
ﻏﺴﻞ ﻣﺎ ﺃﺻﺎﺏ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻻ ﻳﺠﺐ : ﻷﻥ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻳﺠﺐ ﻏﺴﻠﻪ ﻟﻤﺎ ﺗﻌﻠﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻓﻌﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﻗﺪﺭ ﻏﺴﻠﻪ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺑﻌﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺻﺎﺑﺖ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻭﺻﻔﻨﺎﻩ .
Artinya: Bab air sisa membasuh wadah yang dijilat anjing
Adapun air yang dipakai dalam basuhan yang tujuh apabila disendirikan dari tiap-
tiap basuhan, maka ulama madzhab Syafi'i terbagi dalam 3 pendapat.

Pertama, masing-masing air bekas basuhan itu najis berdasarkan pada hukum asal air
bekas menghilangkan najis adalah najis.

Kedua, masing-masing bekas basuhan yang tujuh itu suci. Karena ia air
mustakmal. Dan masing-masing basuhan itu memiliki bagian dalam menyucikan
wadah.

Ketiga, air basuhan yang ketujuh hukumnya suci. Sedangkan basuhan sebelumnya
dari pertama sampai keenam hukumnya najis karena terpisah dari tempat sedang
najisnya masih ada.

Apabila mengikuti pendapat ini, maka wajib membasuh benda atau badan yang
terkena bekas air basuhan ini. Adapun jumlah basuhan yang harus dilakukan ada
dua pendapat: Pertama, cukup dibasuh satu kali saja. Kedua, harus dibasuh
menurut jumlah yang tersisa dari tujuh pada basuhan yang terkena. (Misalnya,
apabila cipratan air itu pada basuhan yang pertama, maka membasuhnya enam
kali, dst.)

CARA MENGHILANGKAN NAJIS HUKMIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
Adapun menghilangkan atau menyucikan najis hukmiyah adalah sama dengan
menyucikan najis ringan (mukhaffafah) yaitu dengan menyiramkan air suci pada
najis hukmiyah tersebut sampai merata walaupun air itu tidak mengalir.

NAJIS ANJING MENURUT EMPAT MADZHAB
Madzhab yang empat yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali memiliki perbedaan
pendapat tentang najisnya anjing sebagai berikut:
- Madzhab Syafi'i: menghukumi bahwa seluruh bagian anjing adalah najis baik
badan, bulu, lendir, keringat dan air liurnya.

Adapun cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan 7 kali air salah satunya
dicampur dengan tanah. Namun ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang
menyatakan yang wajib dibasuh 7 kali itu adalah yang terkena air ludah anjing
sedangkan yang selain itu cukup dibasuh satu kali ini berdasar pendapat Imam
Nawawi dalam kitab Raudhah dan Al-Majmuk seperti dikutip dari kitab Kifayatul
Akhyar 1/63.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ : ﻭﻓﻲ ﻭﺟﻪ ﺷﺎﺫ ﺃﻧﻪ ﻳﻜﻔﻲ ﻏَﺴﻞ ﻣﺎ ﺳﻮﻯ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﻣﺮﺓ ، ﻛﻐﺴﻞ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ، ﻭﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ : ﺇﻧﻪ ﻣُﺘَّﺠَﻪ ﻭﻗﻮﻱ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ؛ ﻷﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻐﺴﻞ ﺳﺒﻌًﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻴُﻨَﻔﺮﻫﻢ ﻋﻦ ﻣﺆﺍﻛﻠﺔ
ﺍﻟﻜﻼﺏ
Artinya: Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudah: Menurut pendapat yang
langka (syadz), cukup membasuh satu kali pada najis anjing selain bekas jilatan
sebagaimana membasuh najis yang lain. Pendapat ini dikatakan Nawawi dalam
Al-Majmuk Syarah Muhadzab: Pendapat ini diunggulkan dan kuat dari sisi dalil
karena perintah membasuh tujuh kali itu untuk membersihkan dari bekas makan
anjing.

Adapun sabun dapat berfungsi sebagai pengganti tanah untuk menyucikan najis
anjing menurut salah satu pendapat seperti dikutip dalam kitab Kifayatul Akhyar
1/63 sbb:
ﻭﻫﻞ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﺼﺎﺑﻮﻥ ﻭﺍﻷﺷْﻨَﺎﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ؟ ﻓﻴﻪ ﺃﻗﻮﺍﻝ ، ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻧﻌﻢ ، ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺤﺠﺮ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻓﻲ ﺍﻻﺳﺘﻨﺠﺎﺀ ،
ﻭﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺸَّﺐ ﻭﺍﻟﻘَﺮْﻅ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺑﺎﻍ ﻣﻘﺎﻣﻪ ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ‏( ﺭﺀﻭﺱ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ‏) . ﻭﺍﻷﻇﻬﺮ ﻓﻲ
ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻭﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﻭﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻣﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﺘﺮﺍﺏ ﻓﻼ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻛﺎﻟﺘﻴﻤﻢ . ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ
ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺇﻥ ﻭُﺟﺪ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻟﻢ ﻳَﻘُﻢْ ، ﻭﺇﻻ ﻗﺎﻡ . ﻭﻗﻴﻞ : ﻳﻘﻮﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﺴﺪﻩ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻛﺎﻟﺜﻴﺎﺏ ﺩﻭﻥ ﺍﻷﻭﺍﻧﻲ .
Artinya: Apakah sabun dan lumut bisa berfungsi sama dengan debu? Ada beberapa
pendapat. Pertama, iya. Sebagaimana berfungsinya selain batu sama dengan batu
dalam istinjak (Jawa, cewok)... Ini adalah pendapat yang disahihkan Nawawi
dalam kitabnya Ru'us al-Masa'il. Yang paling dhahir dalma pendapat Rofi'i,
Raudah dan Al-Majmuk adalah tidak karena kesuciannya berkaitan dengan debu
maka yang lain tidak bisa disamakan. Pendapat ketiga, apabila ada debu maka
yang lain tidak dianggap. Kalau tidak ada debu, maka sabun bisa dijadikan
pengganti. Menurut satu pendapat: sabun bisa berfungsi seperti debu pada benda
yang bisa rusak dengan debu seperti baju, bukan wadah.

- Madzhab Maliki: berpendapat bahwa anjing yang hidup adalah suci baik
badannya, bulunya maupun air liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat
anjing maka hukumnya ta'abhudi (sunnah).
- Madzhab Hanafi: berpandangan bahwa badan dan bulu anjing itu suci. Sedang
air liur anjing adalah najis. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
- Madzhab Hanbali: ada dua pendapat di antara ulama madzhab Hanbali yaitu (a)
anjing itu najis baik badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan bulu
anjing itu suci. Hanya air liurnya yang najis.
Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah menyatakan
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﻜﻠﺐ . ﻭﺍﻟﺨﻨﺰﻳﺮ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻛﻞ ﺣﻲ ﻃﺎﻫﺮ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻭﻟﻮ ﻛﻠﺒﺎ . ﺃﻭ ﺧﻨﺰﻳﺮﺍ ﻭﻭﺍﻓﻘﻬﻢ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻋﻴﻦ
ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺣﻴﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﻟﻌﺎﺑﻪ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻟﺤﻤﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﻪ ﻓﻠﻮ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ
ﺑﺌﺮ ﻭﺧﺮﺝ ﺣﻴﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺼﺐ ﻓﻤﻪ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻔﺴﺪ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﺍﻧﺘﻔﺾ ﻣﻦ ﺑﻠﻠﻪ ﻓﺄﺻﺎﺏ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﻨﺠﺴﻪ ‏) ﻭﻣﺎ ﺗﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺃﻭ
ﻣﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻣﺎ ﺩﻟﻴﻞ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻓﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ " ﺇﺫﺍ ﻭﻟﻎ ﺍﻟﻜﻠﺐ
ﻓﻲ ﺇﻧﺎﺀ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻠﻴﺮﻗﻪ ﺛﻢ ﻟﻴﻐﺴﻠﻪ ﺳﺒﻊ ﻣﺮﺍﺕ ﻭﺃﻣﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺨﻨﺰﻳﺮ ﻓﺒﺎﻟﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻷﻧﻪ ﺃﺳﻮﺃ ﺣﺎﻻ ﻣﻨﻪ ﻟﻨﺺ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻪ ﻭﺣﺮﻣﺔ ﺍﻗﺘﻨﺎﺋﻪ
Artinya: Anjing dan babi. Madzhab Maliki berpendapat setiap sesuatu yang hidup
itu suci walaupun anjing atau babi. Madzhab Hanafi sepakat atas kesucian anjing
selagi hidup menurut pendapat yang rajih (unggul) kecuali bahwa Hanafi
berpendapat atas najisnya air liur anjing saat hidup karena mengikuti pada
najisnya daging anjing setelah matinya. Apabila ada anjing jatuh ke dalam sumur
lalu keluar dalam keadaan hidup sedang mulutnya tidak mengenai air sumur,maka
airnya tidak najis. Begitu juga basahnya anjing tidak najis apabila menimpa
sesuatu. Hewan yang dilahirkan dari kedua anjing dan babi atau dari salah satunya
walaupun dengan hewan lain. Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits riwayat
Muslim dari Nabi: "Apalagi anjing menjilat wadah kaliah, maka alirkan air dan
basuhlah wadah itu tujuh kali." Adapun najisnya babi maka itu berdasarkan pada
analogi (qiyas) pada najis anjing karena babi lebih buruk perilakunya dibanding
anjing dan karena ada teks Quran atas keharamannya dan haramnya memilikinya.

HUKUM MEMELIHARA ANJING
Hukum memelihara anjing sebagai binatang peliharaan (pet) adalah haram kecuali
untuk keperluan menjaga atau berburu yang terakhir ini boleh karena darurat. Ini
kesepakatan ulama termasuk mereka yang menganggap anjing tidak najis
berdasarkan pendapat ulama yang dikutip Al-Jaziri di atas dan juga pandangan
Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim 3/186 sebagai berikut:
ﺭﺧﺺ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﻛﻠﺐ ﺍﻟﺼﻴﺪ ﻭﻛﻠﺐ ﺍﻟﻐﻨﻢ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻭﻛﻠﺐ ﺍﻟﺰﺭﻉ ﻭﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻗﺘﻨﺎﺀ ﻏﻴﺮﻫﺎ،
ﻭﻗﺪ ﺍﺗﻔﻖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻗﺘﻨﺎﺀ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻟﻐﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ، ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﺘﻨﻲ ﻛﻠﺒﺎً ﺇﻋﺠﺎﺑﺎً ﺑﺼﻮﺭﺗﻪ ﺃﻭ ﻟﻠﻤﻔﺎﺧﺮﺓ ﺑﻪ،
ﻓﻬﺬﺍ ﺣﺮﺍﻡ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ
Artinya: Nabi memberi dispensasi atau keringanan (rukhsoh) pada anjing pemburu,
anjing penggembala kambing, dan dalam riwayat hadits yang lain anjing penjaga
tanaman. Nabi melarang memelihara lainnya. Ulama madzhab Syafi'i dan lainnya
sepakat bahwa haram memelihara anjing tanpa ada keperluan seperti memiliki
anjing karena takjub pada bentuknya atau untuk kebanggaan. Ini semua haram
tanpa perbedaan ulama.

NAJIS BABI MENURUT EMPAT MADZHAB
Hukum babi sama statusnya dengan anjing. Mayoritas madzhab menganggapnya
najis kecuali madzhab Maliki. Lihat detailnya di Hukum Najis Anjing Menurut
Empat Madzhab .

KAEDAH FIQIH TERKAIT NAJIS
ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻓﺈﻥ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺃﺛﺮ ﻟﻬﺎ ‏( ﻃﻌﻢ، ﺭﻳﺢ، ﻟﻮﻥ ‏) ﻓﻬﻮ ﻃﺎﻫﺮ، ﻭﺇﻥ ﺑﻘﻲ ﻟﻮﻥ ﻓﻘﻂ، ﺃﻭ ﺭﻳﺢ ﻓﻘﻂ ﻋﺴﺮ
ﺯﻭﺍﻟﻬﻤﺎ، ﻓﻄﺎﻫﺮ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﺇﻥ ﺑﻘﻲ ﻃﻌﻢ ﻋﺴﺮ ﺯﻭﺍﻟﻪ، ﺃﻭ ﻟﻮﻥ ﻭﺭﻳﺢ ﻣﻌﺎ ﻓﺎﻟﺜﻮﺏ ﻣﺘﻨﺠﺲ
Artinya: Baju apabila hilang najisnya dan tidak ada bekasnya (rasa, bau, warna),
maka hukumnya suci. Apabila tampak warna (najis)-nya saja, atau baunya saja
yang sulit dihilangkan, maka suci. Apabila masih ada rasa dan sulit hilang; atau
warna dan bau secara bersamaan, maka hukumnya mutanajjis (terkena najis).
BACA JUGA: Air Ghusalah (Air bekas mencuci najis).

CARA MENGHILANGKAN ATAU MENYUCIKAN NAJIS MENURUT EMPAT MADZHAB
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN BENDA CAIR SELAIN AIR
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang
atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi
tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu
Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Pendapat kedua, najis tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad
dan Zafar dari madzhab Hanafi. (l

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN ALAT MODERN
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN UAP
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang
dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis.
Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat
menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis.
Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan
memakai air untuk menghilangkan najis.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIGARUK DAN DIGOSOK
Ada tiga pendapat ulama dalam soal in:.
Pendapat pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat
menyucikan pada sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus
musim dingin). Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani
(sperma) saja. Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat
(jazm). Apabila berupa kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau
dikerik dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah
disyaratkan dalam benda padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri
mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air.
Sedangkan Abu Yusuf tidak mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang
basah juga bisa disucikan dengan digosok atau dikerik.

Pendapat kedua, madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya.
Apabila kaki terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan
muza (khuf), maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan
dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran
hewan dan kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.

Pendapat ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini
pendapat Qaul Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari
madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka,
kaki wanita harus dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu
membasuh najis yang mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila
dalam keadaan kering.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN API DAN MATAHARI MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIBAKAR API
Pendapat ulama dalam soal ini terbagi dua:
Pendapat pertama, madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanbali berpendapat
bahwa pembakaran apabila merubah benda yang najis dari segi sifatnya sampai
menjadi benda lain seperti bangkai apabila dibakar menjadi abu, maka ia suci.
Apalagi apabila benda ini asalnya suci lalu terkena najis seperti baju apabila
terkena najis, maka ia menjadi suci dengan dibakar dengan syarat berubah sifat-
sifatnya.

Pendapat kedua, madzhab Syafi'i, sebagian Maliki, sebagian Hanafi, dan pendapat
masyhur dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran tidak menjadikan
suatu benda menjadi benda lain. Ia tetap najis baik benda itu asalnya najis atau
terkena najis. Karena yang tersisa dari pembakaran itu merupakan bagian dari
benda najis.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SINAR MATAHARI
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini.
Pendapat pertama, madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi apabila terkena najis
lalu kering oleh sinar matahari maka ia menjadi suci dengan kesucian yang bersifat
dugaan (dzanni) yakni boleh melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh
bertayammum dengannya karena salah satu syarat tayammum harus dengan tanah
yang pasti sucinya (QS An-Nisa 4:43).

Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi
berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak
boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat
tayammum.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SAMAK
Ada empat perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Perbedaan ini timbul dari
perbedaan mereka dalam menyikapi soal najis atau sucinya hewan yang hidup.
Yang berpendapat hewan hidup itu najis, maka samak tidak menyucikan dan tidak
halal mengambil manfaat darinya. Bagi yang berpendapat bahwa hewan hidup itu
suci, maka samak itu menyucikan dan boleh mengambil manfaat darinya.
Pendapat pertama, samak itu menyucikan seluruh kulit bangkai kecuali kulit babi.
Ini pendapat madzhab Hanafi.

Pendapat kedua, samak itu tidak menyucikan kulit. Ini pendapat madzhab Maliki
dan sebagian pendapat dalam madzhab Hanbali.

Pendapat ketiga, samak itu menyucikan kulit bangkai kecuali anjing dan babi dan
yang lahir dari salah satunya. Ini pendapat madzhab Syafi'i.

Pendapat keempat, samak menyucikan kulit bangkai hewan yang dapat dimakan
dagingnya dan tidak dapat menyucikan yang lain. Ini pendapat lain dari madzhab
Hanbali.
=========================
DAFTAR PUSTAKA
1. ﺃﺑﻮ ﺯﻛﺮﻳﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ dalam kitab ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ
.2 ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺘﻤﻲ dalam kitab ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ
.3 ﺷِﻬَﺎﺏُ ﺍﻟﺪﻳﻦِ ﺃﺣﻤﺪُ ﺑﻦُ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦِ ﺑﻦِ ﺃﺣﻤﺪَ ﺃﺑﻮ ﺷﺠﺎﻉٍ ﺍﻷﺻﻔﻬﺎﻧﻲُّ ﺍﻟﻌﺒَّﺎﺩﺍﻧﻲ dalam kitab ﻣﺘﻦ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﺘﻘﺮﻳﺐ
ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑِ ﺑـ ‏( ﻣﺘﻦِ ﺃﺑﻲ ﺷﺠﺎﻉ
.4ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ dalam kitab ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ
.5 ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ dalam kitab ﺍﻷﻡ
.6 ﻋﺒﺪِ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻬَﺮَﺭِﻱِّ dalam kitab ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ
.7 ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ ﺍﻟﻤﺠﻴﺐ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻟﻐﺰﻱ
8. Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah
9. Kifayatul Akhyar
10. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim
12. Kitab-kitab yang dipakai rujukan dalam soal menghilangkan najis menurut
madzhab empat antara lain:
ﺑﺪﺍﺋﻊ ﺍﻟﺼﻨﺎﺋﻊ
ﺍﻟﺒﺤﺮ ﺍﻟﺮﺍﺋﻖ ﺷﺮﺡ ﻛﻨﺰ ﺍﻟﺪﻗﺎﺋﻖ
ﻣﺮﺍﻗﻲ ﺍﻟﻔﻼﺡ
ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ
ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺇﺑﻄﺎﻝ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ
ﺷﺮﺡ ﺧﻠﻴﻞ ﻟﻠﺨﺮﺷﻲ
ﺍﻟﻘﻮﺍﻧﻴﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻻﺑﻦ ﺟﺰﻯ
ﺃﺳﻨﻰ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﺐ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺭﻭﺽ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ
ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻟﻠﻤﺎﻭﺭﺩﻱ
ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ
ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺮﻭﺽ ﺍﻟﻤﺮﺑﻊ
ﺍﻹﻧﺼﺎﻑ
ﺍﻟﻤﺤﻴﻂ ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻧﻲ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺯﺓ
ﺯﻓﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻬﺬﻳﻞ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ

Jumat, 05 September 2014

Najis dan Cara Mensucikan

Najis dan Cara Mensucikan

Najis adalah sesuatu yang harus dijauhi saat seorang muslim melakukan ritual
ibadah tertentu seperti shalat baik shalat wajib 5 waktu atau shalat sunnah ,
thawaf saat haji dan umrah, dan lain-lain. Tuntunan berikut berkaitan dengan
perkara najis menurut madzhab Syafi'i. Banyak penjelasan di internet seputar najis
yang menggunakan uraian madzhab lain seperti Hanbali atau Hanafi. Panduan ini
khusus mengambil perspektif madzhab Syafi'i agar tidak membingungkan
masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi'i sejak lahir.

DAFTAR ISI
1. Definisi Najis
2. Perkara/Benda Najis
3. Tingkatan Najis
1. Najis Mukhoffafah (Ringan)
2. Najis Mutawassithah (Sedang)
3. Najis Mughalladzoh (Berat)
4. Jenis Najis
1. Najis Hukmiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
2. Najis Ainiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ )
5. Cara Menghilangkan Najis
1. Cara Menghilangkan Najis Ringan (Mukhoffafah)
2. Cara Menghilangkan Najis Sedang (Mutawassitoh)
3. Cara Menghilangkan Najis Anjing (Mugholadzoh)
4. Cara Menghilangkan Najis Hukmiyah (Tidak Kelihatan)
6. Najis Anjing Menurut 4 (Empat) Madzhab
7. Hukum Memelihara Anjing
8. Najis Babi Menurut 4 (Empat) Madzhab
9. Cara Menghilangkan Najis Menurut Empat Madzhab
10. CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM

DEFINISI NAJIS
Najis (Arab, ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ) berasal dari bahasa Arab dari akar kata masdar (verbal noun)
najasah yang secara etimologis bermakna kotor (qadzarah - ﺍﻟﻘﺬﺍﺭﺓ). Sedangkan
dalam terminologi fiqh (syariah), najis adalah sesuatu yang kotor yang
diperhntahkan oleh syariah untuk suci darinya dan menghilangkannya dari baju dan
badan dan dari segala sesuatu yang disyaratkan sucinya saat memakai. Seperti
sucinya baju dan badan pada saat melaksanakan shalat dan tawaf umarah dan
haji.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj ( ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ
ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ) menyatakan bahwa najis dalam definisi syariah adalah perkara kotor yang mencegah sahnya shalat.

PERKARA NAJIS
Perkaran atau sesuatu yang dianggap najis menurut syariah Islam sebagai berikut:
1. Kencing baik kencing bayi atau kencing orang dewasa.
2. Tinja (kotoran manusia) atau kotoran hewan
3. Khamr (mimunam beralkohol).

2. Bangkai hewan yang mati tanpa disembelih secara syariah dan seluruh anggota
badannya seperti daging, tulang, tanduk, kuku, dll kecuali,

(a) belalang, hewan laut dan hewan sangat kecil yang darahnya tidak mengalir
seperti lalat dan sejenisnya. Khusus untuk lalat dan sejenisnya apabila masuk ke
air yang sedikit (kurang 2 qullah) dalam keadaan hidup kemudian mati dalam air,
maka airnya tetap suci.

(b) bangkai manusia, hukumnya suci baik muslim atau nonmuslim (kafir).

3. Darah.
4. Nanah.
5. Muntah.
6. Anjing dan Babi
7. Madzi yaitu cairan putih encer yang keluar bukan karena syahwat. .
8. Wadi yaitu cairan pekat kental yang keluar setelah kencing atau setelah
membawa beban berat.
9. Mani (sperma) anjing dan babi.
10. Susu hewan yang tidak halal dagingnya kecuali susu manusia.

Catatan:
1. Tulang bangkai suci menurut madzhab Hanafi. Rambut dan bulu bangkai suci
menurut madzhab Maliki.
2. Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan hukumnya suci menurut
madzhab Hanbali.
3. Harus dibedakan antara najis dan mutanajjis. Najis adalah perkara najis.
Sedang mutanajjis adalah benda yang terkena atau tersentuh perkara najis. Najis
tidak bisa suci. Sedang mutanajjis dapat suci kalau dihilangkan najisnya.

TINGKATAN NAJIS
Menurut madzhab Syafi'i, tingkatan najis terbagi menjadi 3 (tiga) macam. Yaitu,
najis ringan (mukhaffafah), najis sedang/pertangahan (mutasswithah) dan najis
berat (mughalladzah).

NAJIS MUKHOFFAFAH (RINGAN)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara menghilangkannya cukup dengan
menyiramkan air pada najis tersebut. Najis mukhaffafah terdapat pada kencingnya
anak kecil laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan tidak makan apa-apa kecuali
ASI (air susu ibu).

NAJIS MUTAWASSITAH (SEDANG)
Najis mughalladzah adalah najis yang umum seperti darah, bangkai, koroan
manusia atau hewan, muntah, kencing, dll yang cara mensucikannya adalah
dengan

NAJIS MUGHOLLADZAH (BERAT)
Najis mughalladzah adalah najis kaliber berat yaitu najis anjing dan babi. Yang
cara mensucikannya adalah dengan menyiramkan air sebanyak 7 (tujuh) kali salah
satunya dicampur dengan debu atau tanah.

JENIS NAJIS

Ada dua jenis najis yaitu najis hukmiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ ) dan najis ainiyah ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ).

NAJIS HUKMIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
Najis hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan warnanya, baunya dan rasanya.

NAJIS AINIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﺔ )
Najis ainiyah adalah sebaliknya najis hukmiyah yaitu najis yang kelihatan
warnanya, baunya dan rasanya.

CARA MENGHILANGKAN NAJIS
Adapun cara menghilangkan najis adalah tergantung dari tingkatan (ringan,
sedang, berat) dan jenis najisnya (ainiyah atau hukmiyah).

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS RINGAN (MUKHAFFAFAH)
Najis mukhaffafah adalah terdapat pada kencing anak laki-laki usia di bawah 2
tahun dan belum memakan makanan apapun kecuali ASI (Air Susu Ibu). Adapun
kencing bayi perempuan status najisnya sama dengan kencing orang dewasa .
Cara menghilangkan atau mensucikan najis tersebut adalah dengan menyiramkan
air suci pada kencing anak tersebut sampai merata walaupun air itu tidak
mengalir. Siraman cukup dilakukan satu kali.

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS SEDANG (MUTAWASSITAH)
Najis mutawassitah (sedang) adalah seluruh najis selain najis anjing babi dan najis
bayi laki-laki.

Cara menyucikan najis mutawassitah ainiyah adalah dengan menghilangkan
perkara yang najis yakni rasa, warna dan baunya dengan air yang suci dan
mensucikan. Apabila sulit menghilangkan warna atau baunya, maka tidak apa-apa ( ﻣﻌﻔﻮ ﻋﻨﻪ ).
Apabila air untuk menyucikan kurang dari 2 (dua) qullah maka harus dengan
mengalirkan/menyiramkan air tersebut ke benda yang najis. Apabila air sampai 2
qullah atau lebih, maka tidak disyaratkan mengalirkan air ke benda najis tersebut
bahkan boleh memasukkan benda najis tersebut ke air yang sampai 2 qullah atau
lebih. Kecuali apabila berubah salah satu dari 3 sifatnya (warna, bau dan rasa)
maka air tersebut tetap suci.

CARA MENGHILANGKAN/MENYUCIKAN NAJIS BERAT (MUGHALLADZAH)
Najis mughalladzah (mugholadhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara
menghilangkannya adalah dengan membasuh najis sebanyak 7 (tujuh) kali dan
salah satu dari tujuh itu dicampur dengan debu atau tanah yang suci.

SABUN SEBGAI GANTI DEBU DALAM MENGHILANGKAN NAJIS ANJING
Ada 3 pendapat tentang boleh tidaknya menggunakan benda selain debu/tanah
untuk menghilangkan najis mugholadhoh sbb:
Pendapat ke-1: Selain debu tidak bisa dipakai sebagai pengganti debu secara
mutlak baik ada debu atau karena tidak adanya. Ini pendapat madzhab Syafi'i,
Hanbali dan Ibnu Hazm

Pendapat ke-2: Selain debu itu dapat berfungsi sebagai ganti dari debu. Baik ada
debu atau karena tidak ada. Ini salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i, dan
Imam Muzani. Dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Pendapat ke-3: Selain debu dapat berfungsi seperti debu apabila tidak ada debu
saja atau apabila ada debu tapi dapat merusak benda yang terkena najis. Ini salah
satu pendapat dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali (Uraian lebih detail soal
perbedaan pendapat ini dapat dilihat di kitab Al-Wasith 1/407).

Catatan:
- Ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang menghukumi cukupnya mensucikan
najis mughalladzah sekali saja.

STATUS AIR BEKAS MEMBASUH NAJIS ANJING BABI PADA BASUHAN PERTAMA
SAMPAI KEENAM
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310 membagi pendapat ulama madzhab
Syafi'i dalam tiga kategori yaitu najis, suci, najis untuk bekas basuhan pertama s/
d keenam, sedang bekas basuhan ketujuh suci.
Bagi yang berpendapat najis, apakah najisnya mugholadzah atau mutawassithoh
dan berapa kali harus dibasuh supaya suci ada dua pendapat. Berikut keterangan
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310:
ﻓﺼﻞ : ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﺘﺒﻘﻲ ﻣﻦ ﻏﺴﻼﺕ ﺇﻧﺎﺀ ﻭﻟﻮﻍ ﺍﻟﻜﻠﺐ
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻐﺴﻼﺕ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﺇﺫﺍ ﺃﻓﺮﺩﺕ ﻛﻞ ﻏﺴﻠﺔ ﻣﻨﻬﻦ ﻭﻣﻴﺰﺕ ﻓﻘﺪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ
ﻣﺬﺍﻫﺐ :
ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻷﻧﻤﺎﻃﻲ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻌﻪ ﻧﺠﺲ ﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺃﺯﺍﻝ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻧﺠﺲ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻟﺪﺍﺭﻛﻲ ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻌﻪ ﻃﺎﻫﺮ : ﻷﻧﻪ ﻣﺎﺀ ﻣﺴﺘﻌﻤﻞ ، ﻭﻟﻜﻞ ﻏﺴﻞ ﺣﻆ ﻣﻦ
ﺗﻄﻬﻴﺮ ﺍﻹﻧﺎﺀ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﻤﺮﻭﺯﻱ ﻭﺟﻤﻬﻮﺭ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺃﻥ ﻣﺎﺀ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻃﺎﻫﺮ : ﻷﻥ ﺑﻬﺎ ﻃﻬﺮ ﺍﻹﻧﺎﺀ ،
ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ، ﻣﻦ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﻧﺠﺲ ﻻﻧﻔﺼﺎﻟﻪ ‏[ ﺹ : 310 ‏] ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ، ﻓﺈﺫﺍ ﻗﻴﻞ
ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﺫﻟﻚ ﻭﺟﺐ ﻏﺴﻞ ﻣﺎ ﺃﺻﺎﺑﻪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﺪﻥ ﺃﻭ ﺛﻮﺏ ﻭﻓﻲ ﻗﺪﺭ ﻏﺴﻠﻪ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻳﻐﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ : ﻷﻧﻪ ﻣﺎﺀ ﻧﺠﺲ ، ﻭﻷﻧﻪ ﺃﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﻧﺠﺎﺱ ﻟﺘﺄﺛﻴﺮﻩ ﻓﻲ ﺗﻄﻬﻴﺮ ﻏﻴﺮﻩ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻥ ﻳﻐﺴﻞ ﺑﻌﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺻﺎﺑﺘﻪ ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻭﺟﺐ ﺃﻥ
ﻳﻐﺴﻠﻪ ﺳﺘﺎ : ﻷﻥ ﺳﺒﻊ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﻗﺪ ﻳﺴﻘﻂ ﺑﺎﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻭﻫﻲ ﺳﺘﺔ ﺃﺳﺒﺎﻋﻪ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ، ﻭﺟﺐ ﺃﻥ
ﻳﻐﺴﻠﻪ ﺧﻤﺴﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﺛﻼﺛﺎ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺎﻣﺴﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺗﻴﻦ
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺩﺳﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ، ﻭﻷﻥ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ﺳﺒﻊ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻏﺴﻠﻪ ﻣﺮﺓ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ
ﺳﺎﻗﻄﺎ ، ﻭﺣﻜﻢ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺑﺎﻗﻴﺎ ، ﻫﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻧﺠﺲ ، ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﻨﻔﺼﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﻧﺎﺀ ﻃﺎﻫﺮ ، ﻓﻔﻲ ﻭﺟﻮﺏ
ﻏﺴﻞ ﻣﺎ ﺃﺻﺎﺏ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻻ ﻳﺠﺐ : ﻷﻥ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ .
ﻭﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻳﺠﺐ ﻏﺴﻠﻪ ﻟﻤﺎ ﺗﻌﻠﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﺴﻞ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﺍﻟﻤﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﻓﻌﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﻗﺪﺭ ﻏﺴﻠﻪ ﻭﺟﻬﺎﻥ :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺑﻌﺪﺩ ﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﺒﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺻﺎﺑﺖ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻭﺻﻔﻨﺎﻩ .
Artinya: Bab air sisa membasuh wadah yang dijilat anjing
Adapun air yang dipakai dalam basuhan yang tujuh apabila disendirikan dari tiap-
tiap basuhan, maka ulama madzhab Syafi'i terbagi dalam 3 pendapat.

Pertama, masing-masing air bekas basuhan itu najis berdasarkan pada hukum asal air
bekas menghilangkan najis adalah najis.

Kedua, masing-masing bekas basuhan yang tujuh itu suci. Karena ia air
mustakmal. Dan masing-masing basuhan itu memiliki bagian dalam menyucikan
wadah.

Ketiga, air basuhan yang ketujuh hukumnya suci. Sedangkan basuhan sebelumnya
dari pertama sampai keenam hukumnya najis karena terpisah dari tempat sedang
najisnya masih ada.

Apabila mengikuti pendapat ini, maka wajib membasuh benda atau badan yang
terkena bekas air basuhan ini. Adapun jumlah basuhan yang harus dilakukan ada
dua pendapat: Pertama, cukup dibasuh satu kali saja. Kedua, harus dibasuh
menurut jumlah yang tersisa dari tujuh pada basuhan yang terkena. (Misalnya,
apabila cipratan air itu pada basuhan yang pertama, maka membasuhnya enam
kali, dst.)

CARA MENGHILANGKAN NAJIS HUKMIYAH ( ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺤﻜﻤﻴﺔ )
Adapun menghilangkan atau menyucikan najis hukmiyah adalah sama dengan
menyucikan najis ringan (mukhaffafah) yaitu dengan menyiramkan air suci pada
najis hukmiyah tersebut sampai merata walaupun air itu tidak mengalir.

NAJIS ANJING MENURUT EMPAT MADZHAB
Madzhab yang empat yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali memiliki perbedaan
pendapat tentang najisnya anjing sebagai berikut:
- Madzhab Syafi'i: menghukumi bahwa seluruh bagian anjing adalah najis baik
badan, bulu, lendir, keringat dan air liurnya.

Adapun cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan 7 kali air salah satunya
dicampur dengan tanah. Namun ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang
menyatakan yang wajib dibasuh 7 kali itu adalah yang terkena air ludah anjing
sedangkan yang selain itu cukup dibasuh satu kali ini berdasar pendapat Imam
Nawawi dalam kitab Raudhah dan Al-Majmuk seperti dikutip dari kitab Kifayatul
Akhyar 1/63.
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ : ﻭﻓﻲ ﻭﺟﻪ ﺷﺎﺫ ﺃﻧﻪ ﻳﻜﻔﻲ ﻏَﺴﻞ ﻣﺎ ﺳﻮﻯ ﺍﻟﻮﻟﻮﻍ ﻣﺮﺓ ، ﻛﻐﺴﻞ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ، ﻭﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻮﺟﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ : ﺇﻧﻪ ﻣُﺘَّﺠَﻪ ﻭﻗﻮﻱ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ؛ ﻷﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻐﺴﻞ ﺳﺒﻌًﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻴُﻨَﻔﺮﻫﻢ ﻋﻦ ﻣﺆﺍﻛﻠﺔ
ﺍﻟﻜﻼﺏ
Artinya: Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudah: Menurut pendapat yang
langka (syadz), cukup membasuh satu kali pada najis anjing selain bekas jilatan
sebagaimana membasuh najis yang lain. Pendapat ini dikatakan Nawawi dalam
Al-Majmuk Syarah Muhadzab: Pendapat ini diunggulkan dan kuat dari sisi dalil
karena perintah membasuh tujuh kali itu untuk membersihkan dari bekas makan
anjing.

Adapun sabun dapat berfungsi sebagai pengganti tanah untuk menyucikan najis
anjing menurut salah satu pendapat seperti dikutip dalam kitab Kifayatul Akhyar
1/63 sbb:
ﻭﻫﻞ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﺼﺎﺑﻮﻥ ﻭﺍﻷﺷْﻨَﺎﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ؟ ﻓﻴﻪ ﺃﻗﻮﺍﻝ ، ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻧﻌﻢ ، ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺤﺠﺮ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻓﻲ ﺍﻻﺳﺘﻨﺠﺎﺀ ،
ﻭﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺸَّﺐ ﻭﺍﻟﻘَﺮْﻅ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺑﺎﻍ ﻣﻘﺎﻣﻪ ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ‏( ﺭﺀﻭﺱ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ‏) . ﻭﺍﻷﻇﻬﺮ ﻓﻲ
ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻭﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﻭﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻣﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﺘﺮﺍﺏ ﻓﻼ ﻳﻘﻮﻡ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻛﺎﻟﺘﻴﻤﻢ . ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ
ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺇﻥ ﻭُﺟﺪ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻟﻢ ﻳَﻘُﻢْ ، ﻭﺇﻻ ﻗﺎﻡ . ﻭﻗﻴﻞ : ﻳﻘﻮﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﺴﺪﻩ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﻛﺎﻟﺜﻴﺎﺏ ﺩﻭﻥ ﺍﻷﻭﺍﻧﻲ .
Artinya: Apakah sabun dan lumut bisa berfungsi sama dengan debu? Ada beberapa
pendapat. Pertama, iya. Sebagaimana berfungsinya selain batu sama dengan batu
dalam istinjak (Jawa, cewok)... Ini adalah pendapat yang disahihkan Nawawi
dalam kitabnya Ru'us al-Masa'il. Yang paling dhahir dalma pendapat Rofi'i,
Raudah dan Al-Majmuk adalah tidak karena kesuciannya berkaitan dengan debu
maka yang lain tidak bisa disamakan. Pendapat ketiga, apabila ada debu maka
yang lain tidak dianggap. Kalau tidak ada debu, maka sabun bisa dijadikan
pengganti. Menurut satu pendapat: sabun bisa berfungsi seperti debu pada benda
yang bisa rusak dengan debu seperti baju, bukan wadah.

- Madzhab Maliki: berpendapat bahwa anjing yang hidup adalah suci baik
badannya, bulunya maupun air liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat
anjing maka hukumnya ta'abhudi (sunnah).
- Madzhab Hanafi: berpandangan bahwa badan dan bulu anjing itu suci. Sedang
air liur anjing adalah najis. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
- Madzhab Hanbali: ada dua pendapat di antara ulama madzhab Hanbali yaitu (a)
anjing itu najis baik badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan bulu
anjing itu suci. Hanya air liurnya yang najis.
Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah menyatakan
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﻜﻠﺐ . ﻭﺍﻟﺨﻨﺰﻳﺮ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻛﻞ ﺣﻲ ﻃﺎﻫﺮ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻭﻟﻮ ﻛﻠﺒﺎ . ﺃﻭ ﺧﻨﺰﻳﺮﺍ ﻭﻭﺍﻓﻘﻬﻢ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻃﻬﺎﺭﺓ ﻋﻴﻦ
ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺣﻴﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﻟﻌﺎﺑﻪ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻟﺤﻤﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﻪ ﻓﻠﻮ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ
ﺑﺌﺮ ﻭﺧﺮﺝ ﺣﻴﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺼﺐ ﻓﻤﻪ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻟﻢ ﻳﻔﺴﺪ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻭﻛﺬﺍ ﻟﻮ ﺍﻧﺘﻔﺾ ﻣﻦ ﺑﻠﻠﻪ ﻓﺄﺻﺎﺏ ﺷﻴﺌﺎ ﻟﻢ ﻳﻨﺠﺴﻪ ‏) ﻭﻣﺎ ﺗﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺃﻭ
ﻣﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻣﺎ ﺩﻟﻴﻞ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻓﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ " ﺇﺫﺍ ﻭﻟﻎ ﺍﻟﻜﻠﺐ
ﻓﻲ ﺇﻧﺎﺀ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻠﻴﺮﻗﻪ ﺛﻢ ﻟﻴﻐﺴﻠﻪ ﺳﺒﻊ ﻣﺮﺍﺕ ﻭﺃﻣﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺨﻨﺰﻳﺮ ﻓﺒﺎﻟﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻷﻧﻪ ﺃﺳﻮﺃ ﺣﺎﻻ ﻣﻨﻪ ﻟﻨﺺ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻤﻪ ﻭﺣﺮﻣﺔ ﺍﻗﺘﻨﺎﺋﻪ
Artinya: Anjing dan babi. Madzhab Maliki berpendapat setiap sesuatu yang hidup
itu suci walaupun anjing atau babi. Madzhab Hanafi sepakat atas kesucian anjing
selagi hidup menurut pendapat yang rajih (unggul) kecuali bahwa Hanafi
berpendapat atas najisnya air liur anjing saat hidup karena mengikuti pada
najisnya daging anjing setelah matinya. Apabila ada anjing jatuh ke dalam sumur
lalu keluar dalam keadaan hidup sedang mulutnya tidak mengenai air sumur,maka
airnya tidak najis. Begitu juga basahnya anjing tidak najis apabila menimpa
sesuatu. Hewan yang dilahirkan dari kedua anjing dan babi atau dari salah satunya
walaupun dengan hewan lain. Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits riwayat
Muslim dari Nabi: "Apalagi anjing menjilat wadah kaliah, maka alirkan air dan
basuhlah wadah itu tujuh kali." Adapun najisnya babi maka itu berdasarkan pada
analogi (qiyas) pada najis anjing karena babi lebih buruk perilakunya dibanding
anjing dan karena ada teks Quran atas keharamannya dan haramnya memilikinya.

HUKUM MEMELIHARA ANJING
Hukum memelihara anjing sebagai binatang peliharaan (pet) adalah haram kecuali
untuk keperluan menjaga atau berburu yang terakhir ini boleh karena darurat. Ini
kesepakatan ulama termasuk mereka yang menganggap anjing tidak najis
berdasarkan pendapat ulama yang dikutip Al-Jaziri di atas dan juga pandangan
Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim 3/186 sebagai berikut:
ﺭﺧﺺ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﻛﻠﺐ ﺍﻟﺼﻴﺪ ﻭﻛﻠﺐ ﺍﻟﻐﻨﻢ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻭﻛﻠﺐ ﺍﻟﺰﺭﻉ ﻭﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻗﺘﻨﺎﺀ ﻏﻴﺮﻫﺎ،
ﻭﻗﺪ ﺍﺗﻔﻖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻗﺘﻨﺎﺀ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻟﻐﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ، ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﺘﻨﻲ ﻛﻠﺒﺎً ﺇﻋﺠﺎﺑﺎً ﺑﺼﻮﺭﺗﻪ ﺃﻭ ﻟﻠﻤﻔﺎﺧﺮﺓ ﺑﻪ،
ﻓﻬﺬﺍ ﺣﺮﺍﻡ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ
Artinya: Nabi memberi dispensasi atau keringanan (rukhsoh) pada anjing pemburu,
anjing penggembala kambing, dan dalam riwayat hadits yang lain anjing penjaga
tanaman. Nabi melarang memelihara lainnya. Ulama madzhab Syafi'i dan lainnya
sepakat bahwa haram memelihara anjing tanpa ada keperluan seperti memiliki
anjing karena takjub pada bentuknya atau untuk kebanggaan. Ini semua haram
tanpa perbedaan ulama.

NAJIS BABI MENURUT EMPAT MADZHAB
Hukum babi sama statusnya dengan anjing. Mayoritas madzhab menganggapnya
najis kecuali madzhab Maliki. Lihat detailnya di Hukum Najis Anjing Menurut
Empat Madzhab .

KAEDAH FIQIH TERKAIT NAJIS
ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻓﺈﻥ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺃﺛﺮ ﻟﻬﺎ ‏( ﻃﻌﻢ، ﺭﻳﺢ، ﻟﻮﻥ ‏) ﻓﻬﻮ ﻃﺎﻫﺮ، ﻭﺇﻥ ﺑﻘﻲ ﻟﻮﻥ ﻓﻘﻂ، ﺃﻭ ﺭﻳﺢ ﻓﻘﻂ ﻋﺴﺮ
ﺯﻭﺍﻟﻬﻤﺎ، ﻓﻄﺎﻫﺮ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﺇﻥ ﺑﻘﻲ ﻃﻌﻢ ﻋﺴﺮ ﺯﻭﺍﻟﻪ، ﺃﻭ ﻟﻮﻥ ﻭﺭﻳﺢ ﻣﻌﺎ ﻓﺎﻟﺜﻮﺏ ﻣﺘﻨﺠﺲ
Artinya: Baju apabila hilang najisnya dan tidak ada bekasnya (rasa, bau, warna),
maka hukumnya suci. Apabila tampak warna (najis)-nya saja, atau baunya saja
yang sulit dihilangkan, maka suci. Apabila masih ada rasa dan sulit hilang; atau
warna dan bau secara bersamaan, maka hukumnya mutanajjis (terkena najis).
BACA JUGA: Air Ghusalah (Air bekas mencuci najis).

CARA MENGHILANGKAN ATAU MENYUCIKAN NAJIS MENURUT EMPAT MADZHAB
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN BENDA CAIR SELAIN AIR
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang
atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi
tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu
Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Pendapat kedua, najis tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad
dan Zafar dari madzhab Hanafi. (l

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN ALAT MODERN
MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN UAP
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang
dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis.
Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat
menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis.
Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan
memakai air untuk menghilangkan najis.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIGARUK DAN DIGOSOK
Ada tiga pendapat ulama dalam soal in:.
Pendapat pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat
menyucikan pada sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus
musim dingin). Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani
(sperma) saja. Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat
(jazm). Apabila berupa kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau
dikerik dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah
disyaratkan dalam benda padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri
mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air.
Sedangkan Abu Yusuf tidak mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang
basah juga bisa disucikan dengan digosok atau dikerik.

Pendapat kedua, madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya.
Apabila kaki terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan
muza (khuf), maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan
dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran
hewan dan kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.

Pendapat ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini
pendapat Qaul Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari
madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka,
kaki wanita harus dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu
membasuh najis yang mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila
dalam keadaan kering.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN API DAN MATAHARI MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN DIBAKAR API
Pendapat ulama dalam soal ini terbagi dua:
Pendapat pertama, madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanbali berpendapat
bahwa pembakaran apabila merubah benda yang najis dari segi sifatnya sampai
menjadi benda lain seperti bangkai apabila dibakar menjadi abu, maka ia suci.
Apalagi apabila benda ini asalnya suci lalu terkena najis seperti baju apabila
terkena najis, maka ia menjadi suci dengan dibakar dengan syarat berubah sifat-
sifatnya.

Pendapat kedua, madzhab Syafi'i, sebagian Maliki, sebagian Hanafi, dan pendapat
masyhur dari madzhab Hanbali berpendapat bahwa pembakaran tidak menjadikan
suatu benda menjadi benda lain. Ia tetap najis baik benda itu asalnya najis atau
terkena najis. Karena yang tersisa dari pembakaran itu merupakan bagian dari
benda najis.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SINAR MATAHARI
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini.
Pendapat pertama, madzhab Hanafi berpendapat bahwa bumi apabila terkena najis
lalu kering oleh sinar matahari maka ia menjadi suci dengan kesucian yang bersifat
dugaan (dzanni) yakni boleh melakukan shalat di tempat itu tapi tidak boleh
bertayammum dengannya karena salah satu syarat tayammum harus dengan tanah
yang pasti sucinya (QS An-Nisa 4:43).

Pendapat kedua, madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Zafar dari madzhab Hanafi
berpendapat bahwa bumi/tanah tidak bisa suci sebab menjadi kering. Maka tidak
boleh melaksanakan shalat di tempat itu juga tanahnya tidak boleh dibuat
tayammum.

MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SAMAK
Ada empat perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Perbedaan ini timbul dari
perbedaan mereka dalam menyikapi soal najis atau sucinya hewan yang hidup.
Yang berpendapat hewan hidup itu najis, maka samak tidak menyucikan dan tidak
halal mengambil manfaat darinya. Bagi yang berpendapat bahwa hewan hidup itu
suci, maka samak itu menyucikan dan boleh mengambil manfaat darinya.
Pendapat pertama, samak itu menyucikan seluruh kulit bangkai kecuali kulit babi.
Ini pendapat madzhab Hanafi.

Pendapat kedua, samak itu tidak menyucikan kulit. Ini pendapat madzhab Maliki
dan sebagian pendapat dalam madzhab Hanbali.

Pendapat ketiga, samak itu menyucikan kulit bangkai kecuali anjing dan babi dan
yang lahir dari salah satunya. Ini pendapat madzhab Syafi'i.

Pendapat keempat, samak menyucikan kulit bangkai hewan yang dapat dimakan
dagingnya dan tidak dapat menyucikan yang lain. Ini pendapat lain dari madzhab
Hanbali.
=========================
DAFTAR PUSTAKA
1. ﺃﺑﻮ ﺯﻛﺮﻳﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ dalam kitab ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ
.2 ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺘﻤﻲ dalam kitab ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ
.3 ﺷِﻬَﺎﺏُ ﺍﻟﺪﻳﻦِ ﺃﺣﻤﺪُ ﺑﻦُ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦِ ﺑﻦِ ﺃﺣﻤﺪَ ﺃﺑﻮ ﺷﺠﺎﻉٍ ﺍﻷﺻﻔﻬﺎﻧﻲُّ ﺍﻟﻌﺒَّﺎﺩﺍﻧﻲ dalam kitab ﻣﺘﻦ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﺘﻘﺮﻳﺐ
ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑِ ﺑـ ‏( ﻣﺘﻦِ ﺃﺑﻲ ﺷﺠﺎﻉ
.4ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ dalam kitab ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ
.5 ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ dalam kitab ﺍﻷﻡ
.6 ﻋﺒﺪِ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻬَﺮَﺭِﻱِّ dalam kitab ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ
.7 ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ ﺍﻟﻤﺠﻴﺐ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺍﻟﻐﺰﻱ
8. Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah
9. Kifayatul Akhyar
10. Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim
12. Kitab-kitab yang dipakai rujukan dalam soal menghilangkan najis menurut
madzhab empat antara lain:
ﺑﺪﺍﺋﻊ ﺍﻟﺼﻨﺎﺋﻊ
ﺍﻟﺒﺤﺮ ﺍﻟﺮﺍﺋﻖ ﺷﺮﺡ ﻛﻨﺰ ﺍﻟﺪﻗﺎﺋﻖ
ﻣﺮﺍﻗﻲ ﺍﻟﻔﻼﺡ
ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ
ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺇﺑﻄﺎﻝ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ
ﺷﺮﺡ ﺧﻠﻴﻞ ﻟﻠﺨﺮﺷﻲ
ﺍﻟﻘﻮﺍﻧﻴﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﻻﺑﻦ ﺟﺰﻯ
ﺃﺳﻨﻰ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﺐ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺭﻭﺽ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ
ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻟﻠﻤﺎﻭﺭﺩﻱ
ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ
ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺮﻭﺽ ﺍﻟﻤﺮﺑﻊ
ﺍﻹﻧﺼﺎﻑ
ﺍﻟﻤﺤﻴﻂ ﺍﻟﺒﺮﻫﺎﻧﻲ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺯﺓ
ﺯﻓﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻬﺬﻳﻞ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺍﻟﻌﻨﺒﺮﻱ