Sabtu, 10 September 2016

MAZHAB AHLIR-RA'YI DAN AHLIL-HADIS

Oleh * Achyat Ahmad

Jika kita membaca buku-buku berkenaan dengan tarīkh tasyrī‘ Islam atau sejarah mazhab-mazhab fikih, maka akan sangat mudah kita dapati penjelasan bahwa sejak periode yang paling awal, mazhab-mazhab fikih Islam sudah terpilah pada aliran Ahlir-Ra’yi dan Ahlil-Ḥadīṡ. Fikih Ahlir-Ra’yi berkembang di Irak, dipelopori oleh Imam Abū Ḥanīfah, pendiri mazhab Hanafi. Sedangkan fikih Ahlil-Ḥadīṡ berkembang di Madinah, dipelopori oleh Imam Mālik, pendiri mazhab Maliki.

Pada umumnya, dikemukakan bahwa yang melatarbelakangi pemilahan tersebut adalah kondisi kedua daerah yang nyaris sama sekali berbeda, antara Irak dan Hijaz. Konon, hadis-hadis yang beredar di Irak sangat minim, dan perbendaharaan hadis yang sangat minim itu pun harus melalui seleksi yang super ketat, sebab masyarakat Irak sangat heterogen dan kompleks, di mana wilayah tersebut masih kental dengan tradisi, budaya, pola pikir dan iklim politik warisan Persia.

Padahal, volume peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di Irak, sebagai daerah metropolitan, jauh lebih besar ketimbang fenomena aktual yang terjadi di Hijaz –yang masih natural. Itulah sebabnya mengapa para ahli fikih di Irak kemudian lebih mengandalkan rasio (ra’yi) daripada hadis. Dan dari sini kemudian lahir corak fikih Irak yang khas, yang kemudian dikenal dengan Fikih Ahlir-Ra’yi, yakni fikih yang menitik-beratkan pada penalaran rasional tenimbang merujuk kepada hadis secara tekstual.

Berbeda dengan Irak adalah wilayah Hijaz, wabil-khuṣūṣ Madinah dan Mekah. Wilayah ini memang merupakan gudangnya hadis, karena para sahabat memang tinggalnya di wilayah ini. Itulah sebabnya peristiwa-peristiwa baru yang terjadi dan memerlukan jawaban serta penyelesaian, dapat dengan mudah dicarikan jawabannya dari hadis, di samping peristiwa-peristiwa yang terjadi di Hijaz ini tidak serevolusioner fenomena-fenomena aktual yang terjadi di Irak. Maka tradisi fikih corak ini selanjutnya dikenal dengan Fikih Ahlil-Ḥadīṡ.

* * *

Sekilas, narasi di atas tampak biasa-biasa saja dan wajar, karena memang penjelasan seperti itulah yang banyak beredar di buku-buku. Namun kejanggalan dan bahkan kekeliruan fatal akan segera tampak ketika kemudian banyak orang memahami secara keliru akan apa yang dimaksud Fikih Ahlir-Ra’yi dan Ahlil-Ḥadīṡ itu sendiri.

Mereka memahami bawa para ahli fikih di Irak banyak yang memutuskan hukum dengan penalaran rasional belaka tanpa perlu bersandar pada hadis (naṣ), karena memang hadis di situ sangat minim. Sedangkan para ahli fikih di Hijaz dalam memutuskan persoalan aktual cukup menggunakan hadis dan tidak perlu menggunakan nalar rasional sama sekali, karena memang di situ adalah gudangnya hadis.

Saya termasuk salah seorang yang memiliki pemahaman sedemikian pada awalnya, dan pemahaman itulah yang saya terangkan kepada teman-teman di sejumlah kesempatan, karena memang dalam referensi-referensi tarīkh tasyrī‘ yang saya baca memang seperti itu, sampai kemudian saya menemukan penjelasan berbeda dan meyakinkan di dalam kitab Manhajul-Baḥṡi wal-Fatwā karya Musṭafā Basyīr aṭ-Ṭarābulusī.

Dalam kitab tersebut diterangkan, bahwa menganggap Fikih Ahlir-Ra’yi adalah aktifitas berijtihad atau berfatwa menggunakan akal murni serta mengabaikan hadis, sementara Fikih Ahlil-Ḥadīṡ adalah melakukan penggalian hukum menggunakan hadis murni dengan mengabaikan rasio, adalah anggapan yang salah fatal dan jauh dari kebenaran.
Karena maksud dari Ahlir-Ra’yi adalah para ahli fikih yang melakukan penelitian mendalam dan detail terhadap landasan-landasan syariat (al-Quran dan hadis), lalu mereka mendapati bahwa ternyata hukum-hukum syariat itu bersifat rasional (ma‘qūlatul-ma‘nā), dan bahwa hukum-hukum syariat itu didasarkan pada alasan keberadaan yang akurat (‘illah ḍābiṭah). Maka dari sini mereka memfungsikan akal mereka untuk meneliti dan mengetahui ‘illah-‘illah itu, lalu menjadikan ‘illah itu sebagai pusat beredarnya hukum, akan ada dan tidak adanya.

Sedangkan Fikih Ahlil-Ḥadīṡ tidak dimaksudkan sebagai golongan ulama yang terlepas dari nalar sama sekali lantaran mereka merasa cukup dengan adanya naṣ yang berkelimpahan. Namun maksudnya adalah mereka mempersempit peran nalar untuk menelisik ‘illah-‘illah yang terkandung di dalam naṣ, kecuali jika tidak ada hadis yang berkenaan dengannya, atau tidak ada fatwa dari para sahabat.

Selanjutnya, Musṭafā Basyīr aṭ-Ṭarābulusī mencatat ada beberapa alasan mengapa pemahaman tentang Fikih Ahlir-Ra’yi bukan berarti mereka yang terlepas dari dari naṣ karena terlalu minimnya hadis, di samping kompleksnya iklim dan tradisi Irak; dan kenapa pula yang dimaksud dengan Fikih Ahlil-Ḥadīṡ bukanlah para ulama yang terlepas sama sekali dari nalar karena merasa cukup dengan keberlimpahan hadis di tanah Hijaz:

Pertama, bahwa telah ada sekitar seribu lima ratus sahabat  yang masuk ke Kufah lalu menetap di situ, dan banyak di antara mereka merupakan sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis dari Nabi , seperti Ibnu ‘Abbās, Anas bin Mālik, dan lain-lain. Dan, termasuk sahabat besar pertama yang menghuni Kufah adalah ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, yang memang fokus mengajarkan ajaran Islam pada penduduk Kufah, sehingga jumlah ahli al-Quran, ahli fikih dan ahli hadis yang berguru pada beliau mencapai sekitar empat ribu orang (tābi‘īn). Tren itu terus berlanjut dan semakin menguat ketika Sayyidina ‘Alī bermukim di Kufah, sehingga menjadikan kota itu tak ada bandingannya dalam hal banyaknya ahli fikih dan ahli hadis.

Dalam hal ini, Anas bin Sīrīn berkata: “Aku mendatangi Kufah, lalu aku lihat di situ empat ribu orang yang mempelajari hadis, dan empat ratus di antara mereka telah menjadi ulama ahli.”

Kedua, hadis-hadis ulama Haramain (Mekah-Madinah) telah populer di kalangan ulama tābi‘īn dan tābi‘it-tābi‘īn, termasuk mereka yang berdomisili di Kufah. Penyebabnya, karena para ahli fikih di Kufah tidak mencukupkan diri dengan mengambil riwayat-riwayat hadis dari para sahabat yang bermukim di Kufah saja, namun mereka juga mengambil hadis-hadis dari para sahabat yang bermukim di Mekah dan Madinah. Ibnu Sa‘ad dalam “Ṭabaqāt”-nya menuturkan ada dua ratus dua orang tābi‘īn Kufah yang rutin melakukan aktivitas periwayatan itu.

Di samping itu, para ulama tābi‘īn dan tābi‘it-tābi‘īn Kufah juga kerap menunaikan ibadah haji dan umrah, dan dalam kesempatan itu mereka mengambil hadis-hadis dari ulama Hijaz. Di antara mereka adalah Imam Abū Ḥanīfah sendiri, yang telah menunaikan haji sebanyak lima puluh lima kali, dan dalam kesempatan itu beliau telah bertemu dengan para ulama Hijaz, termasuk Imam Mālik. Dengan demikian, maka sama sekali tidak mengejutkan jika Abū Ḥanīfah yang notabene adalah seorang Imam Fikih Ahlir-Ra’yi di Irak, ternyata di dalam kitab-kitabnya termuat lebih dari tujuh puluh ribu hadis, dan kitabnya yang berjudul “al-Āṡār” merupakan saringan dari empat puluh ribu hadis.

Jadi, para ulama Irak sama sekali tidak terasing dari iklmi dan tradisi hadis dan para ulama ahli hadis, sehingga dikatakan bahwa mereka memiliki perbendaharaan hadis yang sangat minim. Lihatlah al-Imām al-Bukhārī, di mana sejumlah negara telah dikunjunginya dalam rangka mencari hadis, namun ketika disebutkan tentang Kufah, dikatakan bahwa “beliau mengunjungi Kufah berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya”, yang menunjukkan bahwa Kufah memang merupakan gudang hadis.

Ketiga, apabila tradisi, budaya, pola pikir dan nuansa sosial di Irak telah memunculkan corak pemikiran di Irak yang sama sekali berbeda dengan Hijaz, maka bagaimana mungkin lingkungan itu justru malah melahirkan sosok seperti al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, yang justru menjadi seorang Imam Fikih Ahlil-Ḥadīṡ, di mana beliau menyatakan bahwa “Bagiku, hadis lemah lebih utama dari pada hasil nalar”?!

Keempat, sebaliknya, Imam Mālik yang berdomisili di Madinah justru terhitung sebagai seorang ulama mujtahid fikih bir-ra’yi. Dan sudah maklum bahwa beliau merupakan salah satu ulama hadis dengan gelar Amīril-Mu’minīn fil-Ḥadīṡ. Bahkan sebelum Imam Mālik, guru beliau yang bernama Rabī‘ah bin ‘Abdur-Raḥmān, dikenal dengan Rabī‘atur-Ra’yi. Beliau diberi julukan seperti itu karena sering menyertakan peranan nalar dalam ijtihadnya.

Maka dengan demikian, dua aliran mazhab fikih tersebut, antara Fikih Ahlir-Ra’yi dan Fikih Ahlil-Ḥadīṡ, bermuara pada perbedaan titik tekan manhaj atau metodologinya, di mana Fikih Ahlil-Ḥadīṡ mencukupkan pada lahiriah naṣ tanpa perlu menelisik ‘illah yang terkandung di dalamnya (kecuali apabila diperlukan), sedangkan Fikih Ahlir-Ra’yi berpandangan bahwa di balik naṣ-naṣ syariat itu terdapat ‘illah-‘illah yang menjadi pemantik suatu hukum. Namun tentu, dalam perjalanannya, antara naṣ dan peranan nalar mesti selalu menyatu dalam setiap aktivitas ijtihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar