“Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah). (QS. Maryam: 65)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. (QS. as-Syura: 11)
Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bersabda:
Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
sayyidina Ali ibn Abi Thalib -berkata:
"Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:
"Sebagian dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
"Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat".
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) berkata:"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-AsmaWa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy‘ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat". Perkataan al-Imam al-Asy'ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H)
dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash: "Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana". Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu‘man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:“Allah ta‘ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri) (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi‘i (w 204 H), perintis madzhab Syafi‘i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, berkata:“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisahpisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil‖ (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: ar-Rahman 'Ala al-'Arsy Istawa‖? Jawab:Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan‖ (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Al-Imam al-Mujtahid Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya‖ (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)
Dan masih sangat banyak lagi dalil dan pendapat yang menunjukkan sesat nya aqidah2 dalam Tauhid yang di namai Manhaj Salaf sekarang,maka berhati2lah wahai saudara ku,dengan kelicikan kaum penyesat ummat itu,jangan mudah tertipu dengan kata2 manis mereka,tapi lihatlah dulu maksud dari nya,karena kebusukan2 mereka semua di balut dengan kata2/istilah yang menggugah hati.
na'uzubillah wa nasta'inuhu min dzalik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar