Kamis, 29 Mei 2014

Tujuh tanda-tanda Akhir Zaman

Tujuh tanda-tanda Akhir Zaman

Bismillaahir rahmaanir rahiim...
 
Tanda Pertama.
Dari  Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika dibawa ke hadapan Rasulullah SAW sepotong emas. Emas itu adalah  emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari pertambangan  mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah hasil  dari tambang kita”. Lalu Nabi SAW menjawab,  “Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan yang akan  menguasainya adalah orang-orang jahat. (HR. Baihaqi)

Kita  telah mulai melihat bahwa penguasa-penguasa negara yang mengaku muslim  namun mereka menyerahkan penguasaan tambang minyak, emas, tembaga kepada  kaum non muslim.

Tanda kedua.
Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman Al Qari dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak akan  terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta  zakatnya, tetapi dia tidak mendapatkan seorang pun yang bersedia  menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur Makmur  kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai." (HR Muslim 1681)

Sekarang  kita telah mulai menyaksikan kebenaran sabda junjungan kita ini. Kita  banyak melihat tanah Arab yang dahulunya tandus dan kering kerontang  tetapi sekarang telah mulai menghijau dan ditumbuhi rumput-rumputan dan  pohon-pohon kayu. Contohnya, Padang Arafah yang ada di Mekkah  al-Mukarramah yang dahulunya hanya dikenali sebagai padang pasir tandus  dan tidak ada pohon-pohonan. Sekarang ini Padang Arafah mulai dipenuhi  pohon-pohonan, sehingga kelihatan menghijau dan kita dapat berteduh di  bawah naungannya. Keadaan ini walaupun menyejukkan mata memandang namun  ia mengurangi gambaran keadaan padang Mahsyar, tempat berhimpunnya  seluruh makhluk pada hari qiamat nanti yang merupakan tujuan utama dan  pelajaran penting yang diambil dari ibadah wuquf jamaah Haji di Padang  Arafah pada setiap 9 Zulhijjah tahun Hijriyah.

Tanda ketiga. 
 Telah bercerita kepada kami Yahya bin Bukair telah bercerita kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa Zainab binti Abu Salamah bercerita kepadanya dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan dari Zainab binti Jahsy r.a bahwa Nabi SAW datang kepadanya dengan gemetar  sambil berkata: Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena  keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya'juj dan  Ma'juj seperti ini. Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan  telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku  bertanya; Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?. Beliau menjawab: Ya, benar jika keburukan telah merajalela. (HR Bukhari 3097, 3331, 6535, 6602) (HR Muslim 128, 5129)

Ketika itu bangsa Arab,  banyak orang muslim tetapi tidak banyak lagi muslim yang shalih, di  tanah Arab tidak banyak lagi orang muslim yang mencapai maqom disisi-Nya

Tanda keempat.
Dari  Sahl bin Saad as-Sa‘idi Ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah! Jangan Engkau pertemukan aku dan  mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan suatu zaman dikala  para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah  tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya).” (HR. Ahmad)

Orang banyak mengikuti ulama yang fasih  berbahasa arab akan tetapi mereka tidak dapat menggunakan hati mereka  untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.

Tanda kelima. 
Dari  Ali bin Abi Thalib Ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW.: “Sudah hampir tiba suatu zaman, kala itu  tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan tidak ada dari  Al-Qur’an kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka indah, tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada dibawah kolong langit. Dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah itu akan kembali.” (HR. Al-Baihaqi)

Orang banyak mengikuti ulama yang berilmu namun kosong hidayah dan menebar fitnah.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah SWT melainkan bertambah jauh”

Tanda keenam 
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku mendengar Rasulullah SAW  bersabda : "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara  mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan". (HR  Bukhari 98)

Keadaan orang banyak mengikuti mereka yang berfatwa tanpa ilmu. Berfatwa menggunakan akal pikiran sendiri.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Ilmu agama atau ilmuNya bukan berasal dari akal pikiran manusia namun berasal dari lisannya Rasulullah SAW yang  berasal dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah Azza wa Jalla.
Kemudian  dari Rasulullah SAW disampaikan melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh sampai kepada hambaNya.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran,  sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (HR Ath-Thabarani)

Mereka yang berfatwa tanpa ilmu, mereka memahami agama bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dengan akal pikirannya sendiri.

Ulama keturunan cucu Rasulullah SAW, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang  yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau  guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan  pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari  buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 No:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah SAW bersabda : ”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy, quddisa sirruh (Makna tafsir QS. Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203)

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan   al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta  atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di  neraka” (HR Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut  adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya  Sayyidina Muhammad bin Abdullah SAW.

Kita  tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal  pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan  apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah SAW yang merupakan  kebenaran atau ilmu-Nya.

Rasulullah SAW menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada  Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra

Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
Al-Imam Malik bin Anas ra
Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Tanda ketujuh
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)

Rasulullah  SAW  telah mengabarkan bahwa Islam  pada  akhirnya akan asing pula sebagaimana pada awalnya karena pada  umumnya  kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalankan perkara  syariat  namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka gagal menjadi muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan  atau muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah Ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)

“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya  Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]

Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk(non muslim/jahiliyah). Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlakul karimah.

Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Beruntunglah orang orang yang asing yakni orang yang sholeh diantara orang yang rusak/buruk maknanya semakin akhir zaman maka semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah Ta’ala  dengan hati mereka (ain bashiroh).

Imam Malik~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus  menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik

Imam Malik~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya, sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan  keduanya terjamin benar“.

Begitupula Imam Syafi’i~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana  yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang  berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan

Imam Syafi’i~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau  menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.  Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat  padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi  tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan  kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia  menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya,  Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya  kaum Sufi.  Karena kadang diantara  mereka sangat bodoh dengan agama.”

Namun   ketika beliau berguru kepada  Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau  bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,  muroqobah, rasa takut kepada  Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.”  Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama  Allah SWT dalam setiap saat…”

Imam Nawawi~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi  maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling  dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah  dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada  Allah SWT saat suka maupun duka “. 
(Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)

Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar