Hadits Jariyah dalam Pandangan Ulama Salaf dan kholaf
Hadits Jariyah sebelumnya sering dijadikan hujjah oleh kaum Murjiah (aliran Islam sempalan) untuk menetapkan keimanan hanya cukup dengan pengakuan saja tanpa amal. Dan sekarang hadits Jariyah ini pun menjadi hujjah andalan kaum sufahaa ul ahlaam (wahabi salafi) untuk menetapkan keberadaan Allah di langit.
Inti persamaannya adalah aliran sempalan selalu menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas ajaran bathil mereka, dan yang menentang ihtijaj (cara berhujjah) mereka adalah selalu kaum Ahlus sunnah wal jama’ah yang mencontoh imam Ahlus sunnah yaitu imam Ahmad bin Hanbal ketika menggugurkan ihtijaj kaum Murjiah dengan hadits jariyah.
Tidak satu pun ulama salaf shaleh yang menulis kitab hadits, memasukkan hadits jariyah ke dalam bab aqidah. Bahkan imam Muslim sendiri memasukkannya ke dalam bab furu’, seandainya hadits tersebut hujjah dalam masalah aqidah niscaya Imam Muslim sudah memasukkan di awal dalam bab iman, namun beliau tidak melakukannya. Ini bukti bahwa imam Muslim memandang hadits jariyah tidak sampai pada tingkatan hujjah dalam bab aqidah.
Nah, sekarang kita akan lihat komentar para ulama ahli hadits baik salaf maupun kholaf tentang hadits Jariyah, yang dengannya kita akan mengetahui bahwa hujjah kaum Murjiah dan Wahabi sangat bertolak belakang dengan hujjah ulama salaf dan kholaf dalam masalah hadits Jariyah sehingga anda akan melihat dengan jelas dan yakin bahwasanya wahabi bukanlah pengikut manhaj salaf shaleh.
1. Imam Syafi’i berkomentar :
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Diatas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atauNabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.[1]
Poin-poin dari komentar imam Syafi’i tersebut adalah :Poin pertama : Para ulama hadits (tentunya ulama salaf sebelum imam Syafi’i) telah mempermasalahkan sanad dan matan hadits jariyah tersebut. Para ulama hadits mengatakan bahwa redaksi hadits tersebut berbeda-beda sehingga sebagian ulama menilainya idhthirab (goncang/kacau). Imam al-Hafidz al-Baihaqi berkomentar tentang hadits jariyah tersebut :
“Ini adalah hadis shahih,Muslim telah mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan memotong (tidakkeseluruhan/total riwayat) dari hadis (riwayat) al Awza’i dan Hajâj ash Shawwâfdari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah (budak perempuan).Mungkin ia meninggalkan (menyebutnya) dalam hadis itu disebabkan perselisihanpara perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab asSunan pada bab adz Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibnHakam dalam redaksi hadis.” [2]
Dari komentar al-Baihaqi dapat dipahami beberapa poin berikut :– Redaksi dalam Sahih Muslim menurut versi imam al-Baihaqi tidak menyebutkan kisah jariyah, artinya Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini.
Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi. Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha`riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorangyang beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”.
Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayattentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan(dhabth) dalam periwayatan.Maka yang disahihkan oleh imam al-Bahaqi adalah hadits Muslim yang tanpa menyebutkan kisah jariyah.
– Adanya perselisihan redaksi hadits antara riwayat Mu’awiyah bin al-Hakam dan riwayat lainnya :
Riwayat pertama yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam sahihnya dengan redaksi :
فقاللها: أين الله؟ قالت: في السماء، قال: من أنا؟ قالت أنت رسول الله فقال: اعتقهافإنها مؤمنة
“Maka nabi bertanya padanya : Di mana Allah ?, budak wanita itu menjawab : Allah di langit”, “ siapa aku ? “, budak wanita itu menjawab : “ Engkau adalah utusan Allah “, maka Nabi bersabda : “ Bebaskan ia, karena ia adalah wanita yang beriman “.
Riwayat kedua yang dibawakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab a-Uluwnya halaman 3 dan sanadnya telah disebutkan oleh al-Hafiz al-Mizzidi dalam kitab Tuhfa al-Aysraf 8/427 dari jalan Sa’id bin Zaid dari Taubah al-Anbari dari Atha bin Yasar, ia berkata :
حدثنيصاحب الجارية- يشير إلى معاوية بن الحكم- وذكر الحديث وفيه
فمدّالنبيُّ يده إليها مستفهما: من في السماء؟ قالت: الله
“ Telah menceritakan padaku shaibul jariyah – ia mengisyaratkan kepada Muawiyah bin al-hakam- dan menyebutkan hadits tersebut dan di dalam hadits terdapat redaksi: kemudian Nabi Saw. menjulurkan tangannya kepadanya (budak) seraya mengisyaratkan pertanyaan, “siapa dilangit?” ia menjawab: “Allah…”
Pada riwayat ini, Rasul Saw. tidak mengatakan “dimana Allah?” dan juga tidak mengatakan “siapa yang ada di langit?”, namun Rasul Saw. hanya menggunakan bahasa isyarat! Perkataan Rasul Saw dan budakwanita pada kedua riwayat merupakan pengungkapan dan redaksi dari periwayathadits dan pemahamannya, bukan dari Rasul Saw.
Perhatikan hadits senada yang diriwayatkan oleh imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal yang tanpa menyebutkan lafadz “ Di mana Allah “ :
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ جَاءَ بِأَمَةٍسَوْدَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً , فَإِنْ كُنْتَ تَرَىهَذِهِ مُؤْمِنَةً , فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ, قَالَ : ” أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ , قَالَ : ” أَتُؤْمِنِينَبِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ ” , قَالَتْ : نَعَمْ , قَالَ : “أَعْتِقْهَا
“ Telah member kabar padaku Ma’mar dariaz-Zuhri dari Ubaidillah bin Abdillah bim Utbah dari seorang sahabat Asnhar yang datang dengan budak wanita hitam kepada Nabi Saw dan berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya aku punya kewajiban memerdekakan budak wanita mukminah,jika engkau melihat bahwa budak ini mukminah, maka Nabi bertanya kepada budaktersebut : “ apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ? Budak itu menjawab : “ Ya “, “ Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah ? “,budak itu menjawab : “ ya “.[3]
Adapaun redaksi yang diriwayatkan imam Ahmad bin Hanbal adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ،عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ ،أَنَّهُ جَاءَ بِأَمَةٍ سَوْدَاءَ ، وَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّعَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كُنْتَ تَرَى هَذِهِ مُؤْمِنَةًأَعْتَقْتُهَا ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ ” ، قَالَتْ :نَعَمْ ، قَالَ : ” أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ؟ ” قَالَتْ :نَعَمْ ، قَالَ : ” أَتُؤْمِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ ؟ ” ،قَالَتْ : نَعَمْ ، قَالَ : ” أَعْتِقْهَا “
Sesungguhnya ia (sahabat Anshor) dating dengan membawa seorang budak wanita hitam dan berkata : “ Wahai Rasul, aku punya hutang untuk memerdekakan budak permpuan yang mukminah, jika engkau melihatnya seorang mukminah, maka aku akan memerdekakannya “, maka Rasul bertanya pada budak wanita itu : “ apakah kamubersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ? Budak itu menjawab : “ Ya “, “ Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah ? “, budak itu menjawab : “ ya “.”Apakah kamu beriman dengan hari kebangkitan setelah kematian ?, budak itu menjawab : “ Ya “. Maka Rasul bersabda “ Merdekakan dia “.[4]
Hadits-hadits semisal itu yakni tanpa menyebutkan lafadz “ Di manaAllah “, juga telah diriwayatkan oleh imam Ibn al-Jarud, Ibnu Hibban dalam sahihnya, imam An-Nasai dalam kitab ash-Shugra dan al-Kubranya, imam Ahmad dalam musnadnya, ath-Thabrani dan imam al-Baihaqi juga diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Tauhidnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits jariyah yang menyebutkan lafadz “ Di mana Allah “ bertentangan dengan hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 15 sahabat, yaitu hadits :
أمرت أن أقاتل الناسحتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga menyaksikan bahwa tiada Tuhanselain Allah dan aku adalah utusan Allah “. (HR. Bukhari danMuslim)
Dalam hadits ini menjelaskan bahwasanya Nabi tidak menghukumi seseorang itu telah masuk Islam kecualiterlebih dahulu mengucapkan dua syahadat.
Karena termasuk pondasi Syare’at Islam adalah tidak menghukumi sesorang itu telah masuk Islam dengan ucapan “Allah di langit “, sebab ucapan itu juga diyakini oleh kaum Yahudi, Nashoro dan selainnya dari kaum kafir.
Jika sesorang hendak masuk agama Islam, maka iaharus mengucapkan dua syahadat. Dan hadits riwayat imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal telah sesuai dengan pokok dan pondasi Syare’at ini.
Poin kedua : Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pertanyaan Nabi “ Dimana Allah “, sama sekali bukan dalam kontek menetapkan keberadaan Allah, akantetapi pertanyaan untuk menyesuaikan dengan tingkat pemahaman budak tersebut. Apa sebabnya ?
sebagaimana dinyatakan oleh imam Syafi’i bahwa karena pada saat itu kaum musyrikin berkeyakinan pada berhala-berhala yang disembahnya di bumi.
Seandainya budak itu menjawab “ Tuhanku di bumi “, maka berarti budak itu bukan beriman. Dan lawan dari bumi jelas adalah langit, maka jika budak itu menjawab Allah di langit, sudah tentu menunjukkan dia tidak menyembah berhala-berhala itu di bumi, akan tetapi dia menyembah kepada Allah karena tuhannya yang ia sembah bukan berhala-berhala di bumi. Penilaian ini pun jika hadits itu dianggap sahih.
Pemahaman konteks semacam ini telah dijelaskan oleh mayoritas ulama Islam. Imam asy-Syathibi pun mengakui hal ini :
مسألة لا بد من معرفتهالمن أراد علم القرآن ..
ومن ذلك معرفة عادات العرب في أقوالها وأفعالها ومجاري أحوالها حالة التنزيل .. وإلا وقع في الإشكالات والشبه المتعذر الخروج منها إلا بهذه المعرفة .
ومنها :- قوله تعالى :- ( أأمنتم من في السماء )وأشباهها ، إنما جرت على معتادهم في اتخاذ الآلهة في الأرض وإن كانوا مقرين بإلهيةالواحد الأحد ، فجاءت هذه الآيات بتعيين الفوق وتخصيصه تنبيها على نفي ما ادعوه فيالأرض ، فلا يكون فيها دليل على إثبات الجهة البتة
“Masalah (bab) : Sebuah keharusan untuk mengetahui masalah ini bagi orang yang hendak belajar ilmu al-Quran ….:
Di antaranya adalah, mengetahui tradisi kaum Arab di dalam ucapan dan perbuatan mereka serta mengetahui pemberlakuan keadaanya ketika diterapkan, jika tidak demikian, ia akan jatuh pada kerumitan dan syubhat yang sulit untuk keluar darinya kecuali dengan mengetahui perkara (ilmu) ini.
Di antara contohnya adalah firman Allah Ta’aala : “ Apakah kamu beriman dengan yang ada di langit “ dan ayat-ayat semisalnya. Ayat tersebut berlaku pada tradisi mereka yang menjadikan tuhan-tuhan di bumi, maka ayat itu bukanlah dalil untuk menetapkan arah (bagi Allah) sama sekali “.(Al-Muwaafaqaat, asy-Syathibi : 4/154)
Maka kaum wahabi-salafi yang menjadikan hadits jariyah dan ayat-ayat tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan arah dan keberadaan Allah di langit, sangatlah tidak sesuai dengan konteks pemahaman yang benar dan bertentangan dengan pemahaman ulama salaf shaleh seperti imam Syafi’i.
Poin ketiga : Imam Syafi’i menduga hadits tersebut berupa bahasa isyarat dari Nabi dan jawaban isyarat dari budak wanita. Dugaan imamSyafi’i ini semakin kuat jika kita melihat hadits yang ditakhrij oleh imamal-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubranya di dalam Bab zhihar pada sub bab “ Membebaskan budak yang bisu ketika mengisyaratkan bahwadirinya telah beriman”.
Berikut redaksinya :
عَنْعَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِىهُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- بِجَارِيَةٍسَوْدَاءَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَىَّ عِتْقَ رَقَبَةٍمُؤْمِنَةٍ فَقَالَ لَهَا :« أَيْنَ اللَّهُ؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِبِإِصْبَعِهَا فَقَالَ لَهَا :« فَمَنْ أَنَا؟ ». فَأَشَارَتْ إِلَى النَّبِىِّ-صلى الله عليه وسلم- وَإِلَى السَّمَاءِ تَعْنِى : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِفَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَامُؤْمِنَةٌ
“ Dari Aun bin Abdillah dari Abdillah bin Utbah dari Abi Hurairah Ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Sawdengan seorang budak wanita yang berkulit hitam dan ia berkata kepada Nabi Saw:Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya saya memiliki kewajiban untuk membebaskanseorang budak beriman. Kemudian Rasul Saw. berkata kepadanya (budak wanita):“dimana Allah?” kemudian ia (budak wanita) memberi isyarat ke arah langit dengan jarinya. Rasul Saw. kemudian bertanya lagi kepadanya “dan saya siapa?”Ia kembali mengisyaratkan kepada Nabi Saw. dan selanjutnya menunjuk ke arah langit, maksudnya “engkau adalah seorang utusan Allah”. Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada laki-laki tadi: “ Bebaskanlah ia, karena ia adalah seorang yang beriman”.[5]
Hadits ini jika dikomparasikan dengan hadits yang diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Zaid dari Taubah al-Anbaridari Atha bin Yasar di atas yang menyebutkan redaksi :
فمدّالنبيُّ يده إليها مستفهما: من في السماء؟ قالت: الله
“ Lalu Nabi Saw menjulurkan tangannya kepadanya (budak) serayamengisyaratkan pertanyaan, “siapa di langit?” ia menjawab: “Allah…”
Maka dapat kita pahami bahwa dialog terjadi dengan bahasa isyarat dari kedua bela pihak (Nabi dan budak wanita) disebabkan budak wanita itu seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Sempurna kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk ke arah langit.
2. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar :
وأخبرني محمد بن عليقال ثنا أبو بكر الأثرم إنه قال لأبي عبدالله في الحديث الذي يروى أعتقها فإنهامؤمنة، قال: (ليس كل أحد يقول فيه إنها مؤمنة) يقولون: (أعتقها) قال: (ومالك سمعهمن هذا الشيخ هلال بن علي لا يقول فإنها مؤمنة) قال: (وقد قال بعضهم: فإنها مؤمنة،فهي حين تقر بذلك فحكمها حكم المؤمنة) هذا معناه
“Telah mengabarkan padaku Muhammad bin Ali, ia berkata : Telah menceritakan padaku Abu Bakar al-Atsram, sesungguhnya ia bertanya kepada Abu Abdillah (imamAhmad) tentang hadits jariyah yang ada riwayat dengan redaksi “ Sesungguhnya iaberiman “, maka imam Ahmad menjawab : “ Tidak seorang pun mengatakan dalamhadits itu bahwa ia beriman, mereka mengatakan “ Maka bebaskanlah ia “, beliauberkata “ Dan ima Malik mendengarkannya dari syaikh Hilal bin Ali ini bahwa iatidak mengatakan bahwa budak itu beriman “, memang sebagian mengatakan bahwabudak itu beriman, ketika budak itu mengakui demikian, maka hukumnya sepertihokum beriman “, inilah maknanya “. [6]
Penjelasan:
Tidak seorang pun dari kalangan ulama salaf shaleh yang beristidlal dengan hadits jariyah dalam masalah akidah. Dan tidak satu pun dari para ulama salaf atau pun para imam yang menjadi panutan dan para imam penulis kitab dan ahli hadits semisal imam Bukhari, imam Muslim serta para ulama ahli hadits di awal-awal yang membicarakan “ Di mana Allah “, dantak ada satu pun dari mereka yang menjadikan bab khusus tentang masalah iniatau menjadikannya sebagai hujjah, padahal sekte Jahmiyyah saat itu sudahbanyak dan berkembang. Bahkan imam Muslim sendiri yang meriwayatkan hadits jariyah, tidak meletakkannya di dalam bab aqidah melain kan dalam bab “Tahrimul kalam fish sholah “ (keharaman bicara di dalam sholat).
Yang pertama kali menjadikan hadits jariyah sebagai hujah dalam masalah khilaf adalah kaum Murjiah. Mereka meyakini bahwa dengan pengakuan saja (iqrar) sudah cukup menjadi orang yang beriman tanpa adanya amal dan I’tiqad dan kaum Murjiah punmenemukan hujjah dalam hadits jariyah tersebut karena menurut pemahaman mereka, Nabi telah mengakui keimanan budak tersebut dengan semata-mata jawabannya “Allah di langit “ dan ini ucapan yang tidak disertai amal, akan tetapi Nabi telah mengakuinya dan mensifatinya dengan iman, maka hal itu bagi kaum Murjiahmenunjukkan bahwa iman itu adalah semata-mata dengan pengakuan dengan lisan tidak ada tambahan lainnya dan amal itu tidak masuk ke dalam makna iman.
Imam Ahmad bin Hanbal mendengar hujjah kaum Murjiah tersebut dan menolak pemahaman kaum Murjiah dan mengatakan bahwa tak ada satu pun ulama yang mengatakan dengan ucapan itu ia telah beriman. Adapun jika ada yang mengatakan ia beriman, maka memang ia sebelumnya telah beriman maka ucapan itu dihukumi sebagaimana orang yang beriman, itulah maknanya menurut beliau. Dalam kata lain imam Ahmad mempermasalahkan hadits jariyah dengan redaksi “ Di mana Allah “ dan jawaban budak wanita “ Allah dilangit “, sebab beliau tidak sepakat bahwa budak wanita itu dikatakan beriman hanya dengan iqrar saja.
Maka jika wahabi berhujjah dengan hadits jariyah untuk menetapkan keberadaan Allah di langit, sama sajawahabi telah sepakat dengan pemahaman kaum Murjiah yang meyakini iman itu cukup dengan pengakuan saja tanpa amal dan i’tiqad.
3. Imam Nawawi (w 676 H) berkomentar :
هذا الحديثمن أحاديث الصفات , وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الإيمان . أحدهما :الإيمان به من غير خوض في معناه , مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيههعن سمات المخلوقات . والثاني تأويله بما يليق به فمن قال بهذا قال : كان المرادامتحانها , هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده , وهو الذي إذادعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة ؟ وليس ذلك ; لأنهمنحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة , بل ذلك لأن السماء قبلةالداعين , كما أن الكعبة قبلة المصلين , أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثانالتي بين أيديهم , فلما قالت : في السماء , علم أنها موحدة وليست عابدة للأوثان
“ Hadits ini termasuk hadits shifat, ada dua madzhab (metode) dalam menyikapi hadits iniyang telah aku sebutkan seblumnya berkali-kali di kitab al-iman. Yang pertama :Mengimani hadits ini tanpa memperdalam maknanya disertai keyakinan bahwa Allahtidaklah serupa dengan sesuatu pun dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk.Yang kedua : Mentakwilnya dengan yang layak bagi keagungan Allah, barangsiapayang mengatakan atas dasar ini, maka yang dimaksud hadits itu adalah mengyjikeimanan budak wanita tersebut apakah dia seorang wanita yang bertauhid yangmengakui bahwa yang mencipta, mengatur dan maha melakukan adalah Allahsemata-mata, yang jika seorang berdoa padanya menghadap ke langit sebagaimanajika orang sholat menghadap ke Ka’bah? Bukan maksudnya bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Allah tidak dibatasi di arahka’bah. Akan tetapi yang demikian itu karena sesungguhnya langit adalahkiblatnya orang-orang yang berdoa sebagaimana bahwa ka’bah adalah kiblatnya orang-orang yang shalat. Ujian ini untuk mengetahui atau apakah budak wanita tersebut termasuk penyembah berhala. Yakni menyembah berhala yang ada di tengah-tengahmereka. Ketika budak wanita tersebut menjawab di langit, Tahulah Rasulullah bahwa sesungguhnya budak wanita ini seorang yang bertauhid dan bukanlah seorang penyembah berhala “.[7]
4. Imam Abu Hayyan al-Andalusi (w 754 H) berkomentar :
حديثالأمة التي قال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أين ربك، فأشارت إلى السماء، فقالإنها مؤمنة، لأنه فهم منها أن مرادها نفي الآلهة الأرضية التي هي الأصنام لا إثباتالسماء مكانا لله تعالى
“ Hadits budak yang Rasul Saw bertanyapadanya : “ Di mana Tuhanmu” lalu ia mengisyaratkan ke langit, kemudian Nabibersabda : “ Dia wanita yang beriman”, maka hadits ini dipahami bahwa yangdimaksud adalah menafikan tuhan-tuhan yang ada disembah bumi yaitu berhala-berhala, bukan menetapkan langit sebagai tempat Allah Ta’alaa “.[8]
5. Imam as-Sanadi (w 1138 H) berkomentar :
Dalam Hasyiahnya atas Syarh Sunan an-Nasai lil hafidz as-Suyuthi, imam as-Sanadi mengomentari hadits jariyah sebagai berikut :
قولالنبي عليه الصلاة والسلام : أين الله، قيل معناه في أي جهة يتوجه المتوجهون إلىالله تعالى، وقولها : في السماء، أي في جهة السماء يتوجهون، والمطلوب معرفة أنتعترف بوجوده تعالى لا إثبات الجهة لله
“Ucapan Nabi Saw “ Dimana Allah ?”, ada yang mengatakan maknanya adalah di arah mana ketika orang-orang yang bertawajjuh menghadap kepada Allah ? dan ucapan budak wanita “ Di langit “, artinya “ di arah langit mereka bertawajjuh, yang dituntut adalah mengetahui wujud Allah Ta’alaa bukan menetapkan arah bagi Allah “.[9]
Dan komentar para ulama hadits lainnya yang senanda dengan komentar-komentar di atas…
Ayat-ayat dan hadits-hadist yang mensucikan Allah dari tempat dan arah sangatlah banyak. Jika kaum wahabi mengambil maknanya secara dhahir, maka akan membenturkan pada ayat atau hadits lainnya, dan tidak mungkin ayat al-Quran saling bertentangan demikian pula hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagaimana wahabi mensikapi hadits imam Muslim berikut :
أقربُ ما يكون العبدُ من ربّه وهو ساجدٌ فأكثروا الدعاء
“ Paling dekatnya seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa didalamnya “ (HR. Muslim, Nasai, Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi)
Wahabi akan kebingungan memahaminya jika memegang hadits jariyah “ Di mana Allah “ dengan hadits tersebut secara tekstual.
Imam Bukhari meriwayatkan:
“لماقضى الله الخلق كتب في كتابه فهو عنده فوق العرش إن رحمتي غلبت غضبي”،
“ Ketika Allah menentukan makhluk-Nya,maka Allah menulis kitab-Nya, dan kitab-Nya di sisi-Nya berada di atas Arsy tertulis : Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku “. (HR. Bukhari)
Jika menuruti pemahaman tekstual kaum wahabi, maka Allah berdempetan dengan kitab tersebut, maha suci Allah dari pemahaman sakit seperti itu. Imam al-Hafidz Ibnu Hajar memaknai hadits tersebut bahwasanya “ di sisiNya “ itu bermakna sisi maknawi bukan sisi tempat.
Foot-note:
[1]Manaqib imam Syafi’I, al-Baihaqi : 1/396-39
[2] as Sunan al Kubrâ : 7/388
[3] Al Muwatha’, Imam Malik, `, hadits no.: 1469
[4] Musnad imam Ahmad, 3/452
[1] Imam Baihaqi, Sunan Kubra, hadits no. : 15045
[1] as-Sunnah, al-Khallal : 3/374
[1] Syarh shahih muslim, imam Nawawi jilid 5 hal. 24-25
[8] Tafsir al-Bahr al-Muhith, Abu Hayyan al-Andalusi, jilid 6 hal. 282
[9] Syarh Sunan an-Nasai, juz 3 hal. 18, terbitan Dar Ihya at-Trats al-Arabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar